Monday 11 November 2013

Thariqat Cinta (Persembahan buat hati yang terluka)

Siang yang garang dengan panas yang menyengat memaksa butiran bening keluar berjatuhan bersama cekikan rasa haus yang mendera tenggorokan. Suasana udara yang lumrah kita akan jumpai di tanah yang dijuluki dengan ‘kebun surgawi’ – Anjani – suatu Desa kecil di bagian timur Pulau Lombok. Desa yang merupakan salah satu kiblat pendidikan agama di Nusa Tenggara Barat. Karena di sini berdiri dengan megah salah satu Pondok Pesantren terbesar dengan jumlah santri hampir mencapai angka sepuluh ribuan. Suatu julukan yang kadang bertolak belakang dengan dzahirnya. Oya! Tapi mungkin yang menjuluki memandang dari sisi makna. Maklumlah kawasan ini memang selalu penuh dengan nuansa religius, dengan santri yang senantiasa bersamangat dalam menuntut ilmu sambil menenteng kitab-kitab. Santri yang bersemangat mempelajari kitab-kitab keagamaan klasik, dari kitab kecil semacam al-Jurumiyyah, matnul bina’ wal asas, sampai kitab-kitab besar semacam tafsir, hadits, fiqih, usul fiqh dan lain sebagainya. Dalam panas yang menggerutukan rasa, tiba-tiba aku terpikir akan eksistensi Tuhan yang mulai lenyap dalam alam pikiran manusia. Tak heran hati sering bertanya apa arti penciptaan makhluk di dunia ini? Apa makhluk yang semakin lupa dengan eksistensi Tuhannya. Ataukah Tuhan yang memang sengaja mengurangi eksistensi diri-Nya? Aku juga sering bertanya dalam hati “Siapakah yang menciptakan Tuhan? Apakah makhluk dengan pencipta saling menciptakan?”. Ah, pertanyaan konyol. Karenanya harus dijawab dengan kekonyolan juga. Setelah pikiran ini puas berbicara sendiri, aku putuskan mengambil air wudu lalu membaca kitab suci Al Qur’an. Alangkah kaget rasa dan pikiran ini saat mata ini harus bertemu dengan surat Al Ikhlas. Tepatnya di jus Amma (juz terakhir Al Qur’an). Kebetulan akhir-akhir ini aku memang sedang berusaha memfasihkan bacaaan surah-surah pendek. Berhubungan bulan suci Ramadhan akan segera tiba. Ayat yang mampu menceritakan dan menjawab apa yang ditanyakan pikiranku tadi. Bahwa Allah itu Esa yang tiada satupun yang menyamai-Nya. Apalagi hendak menciptakan-Nya. Maha suci Allah yang maha benar dengan segala firman-Nya. Selanjutnya setiap napas yang jatuh terasa seakan berzikir akan keagungan Tuhan yang begitu murah menghargakan nikmat. Aku berusaha mengiringi langkah kakiku memasuki masjid Darul Qur’an Wal Hadits dengan terus bersyukur dan bertasbih. Ya Allah alangkah besar anugerah yang senantiasa Engkau karuniakan. *** Arloji di tanganku menunjukkan pukul 15.00 Wita. Aku mulai berkemas untuk pergi kuliah. Kebetulan ada mata kuliah tambahan dari dosen Pengantar Ilmu Filsafat. Ilmu yang menurutku sering membodohkan akal! Kuliah yang membosankan. Dengan dosen-dosen yang aneh. Dengan gaya mereka yang sok benar dan sok pintar. Dengan intensitas subjektifitas tingkat tinggi. Bahkan lebih aneh ketika nilaiku harus anjlok ketika aku berani menyanggah pendapat dosen dan memberikan masukan. Malah bisa-bisanya aku dikatakan tidak tau etika dan sok tahu. Ditambah lagi dengan fasilitas belajar yang tak menunjang. Perpustakaan yang yang buku-bukunya bisa dihitung jari, dengan suasana yang tidak nyaman dan kotor dengan karyawan perpustakaan yang selalu cemberut. Berlanjut dengan rektor yang berkapasitas dewa yang semua ucapannya bak sabda pandita ratu. Saat kita berani angkat bicara maka kita akan dijajani dengan doktrin ta’limul muta’allim yang saya rasa merekapun sebenarnya tidak mengerti dengan konsep ta’lim yang sering mereka jadikan tempat berlindung dari kritikan mahasiswa. Dan yang terparah kita akan diancam kena Drof Out! Ternyata reformasi belum berhasil mengengkat doktrin kebebasan. Barangkali salah satu faktor penyebab kaki ini masih mau melangkah menuju kampus ini adalah seorang gadis yang mampu membuat pikiran ini menari dan bernyanyi. Telinga ini rindu, mata ini tawakkal dan mulut ini akan senantiasa bertasbih bila bertemu dengannya. Dialah yang seakan selalu membuat bebanku selama ini pudar dengan kehadirannya di antara hayal dan mimpi malam dalam lelap tidurku. Baiq Musliha Nuri Qomara Hayati Binti TGH. Lalu Amin Nurullah yang akrab dipanggil “Mara”. Seorang bije (anak, red.) Tuan Guru terkemuka sekaligus seorang putri bangsawan asli sasak. Mara begitu ayu dan anggun dengan wajah lugu yang nyaris tidak pernah tersentuh make up. Wajah alami yang senantiasa diiringi segala sikap kesederhanaanya. Mara merupakan salah satu juniorku di Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Aku mengenalnya pertama kali ketika dia mendaftar ikut LDK. Kami semakin akrab seiring dengan intensitas pertemuan kami dalam halaqah mingguan ataupun dalam liqa’ rutin yang diadakan LDK. Alangkah mata ini tidak berhenti kagum akan kekuasaan Allah yang telah menciptakan wanita yang begitu ayu dan mampu membuat jiwa manusia bermimpi dan bertasbih jika melihatnya. Tidak mengherankan jika ia dijuluki kembang kampus sehingga mungkin setiap pria di kampus ini berhayal untuk menanam bunga jiwa dalam hatinya dan bermimpi memilikinya. Tak terkecuali aku........ subhanallah. Mara merupakan gadis yang memegang pprinsip dan taat dalam beribadah. Kalau kita pernah melihat bidadari dunia mungkin Mara merupakan salah satu jelmaan diantara bidadari dunia. Pujianku bagaikan Sang Amir yang memuji Zaida dalam cerita “Rembulan Di Langit Hatiku”. Karena dia memang seindah purnama. Matanya bening laksana kaca. Dan wajahnya bersih bercahaya – mungkin karena air wudu yang menyiraminya. Akhlaknya baik, tutur katanya sopan, tegas dan tertata. Maklumlah keturunan Tuan Guru dan bangsawan. Jilbabnya rapi, dan dia selalu menjaga diri dari bersentuhan dengan laki-laki bukan mahram. Dia jarang keluar malam hari. Keluarganya benar-benar, menjaganya bagaikan menyimpan mutiara di dalam kerang. Kemudian kerang itu diletakkan jauh di kedalaman samudera. Seandainya kita berharap memiliki istri yang anggun dan sholihah, maka Mara yang memiliki keanggunan dan sifat itu. Bila kita berharap memiliki seorang istri yang akan menjadi pelita dalam rumah tangga maka Mara-lah yang memiliki cahaya yang berpendar di dirinya. Bila kita merindukan bunga yang jelita, yang akan menebarkan harum di setiap sudut taman hati setelah menikah kelak, Mara-lah sekuntum bunga yang pantas untuk dirindu dan dipuja. Bila kita mengharapkan keteduhan mewarnai perjalanan di masa depan. Mara merupakan telaga berair jernih yang tak pernah kering, yang akan melepaskan dahaga jiwa. Bila kita berharap istri pemalu dan sederhana bagaikan Fatimah Az Zahra putri Baginda Nabi, Kita akan menemukan sikap mulia itu bersemayam dalam diri Mara. Bila berharap istri yang cerdas, mampu mengurai dan memaknai hari laksana Aisyah istri Baginda Nabi kitapun akan menemukan kecerdasan itu menjadi bagian dari keseharian Mara. Pujian ini pantas akan tersenandungkan kepada sosoknya yang akan menghabiskan setiap kata puitis untuk menggambarkan kelebihannya. Dan saya seperti seorang melayu yang tengah rindu bersyair ketika melihat suka. Melihat keindahan mara, aku selalu jadi teringat dengan ungkapan seorang yang dianggap akrab dengan dunia Eksak, yang seringkali memiliki bakat sastra yang menakjubkan, seorang Albert Einstein sang penemu teori relativitas pun – ketika kesadaran tentang Tuhan bersemayam di hatinya – pernah berkata dengan indah “Tuhan tidak pernah bermain dadu dalam penciptaan semesta raya ini”. Hari-hari semakin penuh dengan harapan akan mimpi sang pecundang untuk mendapat gadis raja membuat sudut jiwaku selalu berbisik ‘hari ini aku sadari aku telah jatuh cinta – dari hatiku terdalam sungguh aku cinta padamu – cintaku bukanlah cinta biasa,- jika kau yang memiliki dan kamu yang telah menemaniku seumur hidupku”. Mungkin potongan syair ini adalah salah satu dari kata penyair yang mampu mewakili rasaku saat ini. Akupun kian gundah karena aku harus terkultus menjadi seorang pengecut yang tidak berani menerima kenyataan. Kalau cintanya tidak bersambut. “Alangkah bodoh diri ini Tuhan” yang selalu mengharapkan imbalan dari sesuatu di dunia ini. Apakah rasa ikhlas untuk mencintai sudah tidak ada lagi di dunia ini? Bukankah cinta yang tulus adalah ketika meneteskan air mata karena telah disakiti tapi kita masih peduli terhadapnya. Cinta yang tulus adalah ketika orang yang kita cintai tidak memperdulikan kita namun kita masih menunggu dengan setia. Cinta yang tulus bukan berarti cinta yang sesaat dan terus sirna!. Cinta yang tulus adalah ketika orang yang kita sayang mencintai orang lain namun kita masih sempat tersenyum. Ketika kita mampu berkata untuk orang yang kita cintai ‘aku bahagia untukmu’, walau itu sangat menyakitkan. Setelah merenung berhari-hari, kepercayaan dihatiku mulai tumbuh untuk berjuang kembali. Cinta ini seakan tangisan sang Qais. Seakan seperti kerinduan karang. Cinta yang seakan harapan fata... Akupun semakin meyakini keimananku tentang cinta ini sambil aku tetap mempertanyakan keinginan Tuhan. Moga apa yang kurasakan bukan teguran dari Tuhan. Akhirnya kesempatan yang kunantikan sekaligus kutakutkan datang juga. Ahad 6 Juli 2012 merupakan hari yang sangat bersejarah dalam cerita hidupku. Hari ini ada acara halaqah mingguan Lembaga Dakwah Kampus. Dan ini artinya kesempatan untuk bertemu dengan Mara dan mengatakan rasa yang tersembunyikan hati sejak lama. Rasa yang membuat banyak waktu dalam hidupku terisi dengan mimpi-mimpi dan harapan. Rasa yang selama ini membuatku seakan seperti sang Qais yang tertusuk asmaraloka. Seperti Amir yang merindukan Zaida. Setelah selesai diskusi aku langsung menyapa dan mengajaknya bicara sebentar. Dengan nada yang berat dia menerima ajakanku. “Ada apa kak, kok kedengarannya penting sekali ?” “Eeeeeeeeeeeeee...aaaaaaaaaaaaanu!! bagaimana cara ngomongnya ya ?” “Emang ada apa sich kak ???” “Dik...!” suaraku seakan tersedak. “Ya..!” “Kakak sebenarnya ingin jujur sama adek.” “Emang kakak sudah bohong ma adek?” tanya Mara. “Ndak sich. Cuma kakak ingin memberikan pengakuan sama adik?” “Pengakuan???” Mira mengerutkan kening penuh tanya. “Iya pengakuan kalau kakak saat ini lagi merasakan sesuatu yang selama ini jarang terasakan hati. Rasa yang selama ini menjadi keimanan tersendiri dalam relung hati kakak. Rasa yang menjadi naluri seorang lelaki.” Aku mulai menjelaskan. “Maksud kakak?” kulihat wajah Mara serius. “Kakak lagi merasakan rasa yang dirasakan Adam ketika bertemu dengan Hawa. Rasa kerinduan yang dirasakan Adam ketika berpisah dengan Hawa. Rasa kehilangan ketika ketiadaannya.” Jelasku. “Ooo! Jadi...” “Iya, kakak lagi suka sama seorang Muslimah. Tapi...” kalimatku menggantung. “Siapa sih yang beruntung sekali dicintai ma kakak....?” “”Jadi adik belum mengerti...?” “Mengerti apa?” Mara malah balik bertanya. “Maksud kakak....?” “Bagaimana kalau gadis itu adalah adik...?” kataku menegaskan. “Apa kak?” Mara tampak terkejut. “Iya, memang adiklah yang kakak maksud.” Tegasku lebih meyakinkan. “Assalamualaikum...” Mara langsung berlalu dari hadapanku dengan muka yang bersemu merah. Aku bagaikan terdakwa di ruang sidang yang diponis hukuman penjara seumur hidup. Hatiku terasa remuk redam dengan segala macam pertanyaan. Apakah ini tanda titik atau tanda koma dari apa yang kurasakan selama ini? Rasa yang tertata terporak-porandakan oleh rasa bersalah. Jiwaku makin terpuruk dengan keimanan akan cintaku yang kian memburuk. Rasa bersalahku kian sempurna ketika aku harus diberi tahu bahwa Mara sudah satu minggu tidak masuk kuliah. Hal yang sangat menyakitkan sekali ketika kita harus mencintai seseorang yang pada hakikatnya kita ingin melihatnya bahagia justru harus tergoreskan warna lain. Ketika kita ingin mencintai setulus hati namun harus terkandaskan. Astagfirullahalazhim!! *** Dua minggu sudah aku tidak bertemu dengan Mara. Hari ini ada mata kuliah Psikologi Sastra. Kebetulan agak sorean. Jadi aku bisa Sholat Ashar dulu di kamar cost. Karena biasanya aku Sholat Ashar di aula kampus. Entah mengapa setelah sholat, rasa kangen kepada Mara seakan mengejawantah dan membuncah-buncah dengan begitu kuatnya. Tapi batin ini berusaha kuat menahannya. Setelah bersiap-siap aku segera pergi kuliah. Aku berusaha menyibukkan diri supaya rasa kangen itu tidak semakin mendalam. Tapi entah mengapa setiba di kampus, hati ini sangat berharap bisa melihat Mara kendati tanpa harus menyapanya. Aku tersentak kaget ketika pikiran ini berkelana tiba-tiba ada suara yang memanggil dari belakang yang suaranya sangat mirip dengan Mara. Dan ternyata suara itu adalah milik Farida. Teman yang sangat akrab sekali dengan Mara. Kebetulan Mara sering menceritakannya dulu. Farida merupakan sahabat sejak kecil Mara. Dan secara kebetulan mereka selalu di tempat yang sama mengenyam pendidikan sampai sekarang. Farida menghampiriku sambil melemparkan senyuman tipis dengan sket wajah dipenuhi beribu tanya. Setelah tepat berada di depanku, Farida langsung memberikan sepucuk surat dengan amplop putih polos. Setelah ku ambil dari tangannya, Farida langsung melontarkan kata-kata usil. “Ye orang yang dapat surat” “Da pa ya...kok main surat-suratan segala...? “Jadi curiga??!” “Iya ndak ada pa-pa kok!” “Oya kata Mara kalo kak Aby sudi menjawab tulisan ini tolong lewat saya! Ndak boleh lewat yang lain!” “Insya Allah. Terus kenapa Mara tidak pernah masuk kuliah?” Tanyaku “Kalau itu adek kurang tau kak! Karena adek juga tumben bertemu Mara tadi pagi. Kebetulan dia yang datang ke rumah. Dan dia tidak bilang apa-apa.” “Mang ada apa kak? Sepertinya ada yang kalian sembunyikan?” “Memang Mara tidak pernah cerita?” “Kan adek dah bilang adek dak pernah ketemu minggu-minggu ini.” “Oya dik, udahan dulu ya. Dosen kakak dah masuk. Nanti kita lanjutkan,..” Pamitku. “Iya dah, kebetulan adek juga mau ke perpustakaan ngembaliin buku yang adek pinjam minggu kemarin.” ‘Assalamualaikum” “Waalaikumussalam..” Di dalam ruangan aku kepikiran terus dengan surat yang diberikan Farida tadi. Aku mencoba mereka-reka apa gerangan isinya. Namun semakin kutebak rasa penasaranku semakin bertambah. Dalam ruangan kelas ku rasakan seperti di kemah penantian. Mata kuliah Psikologi Sastra biasanya sangat kunikmati, hari ini seakan seperti mendengarkan pidato presiden yang hilang tanpa makna dengan segala kebosanan. Alangkah aku ingin cepat pulang dan membuka surat yang ada di dalam tasku ini. Setiba di kost aku langsung masuk kamar lalu mengunci pintu dari dalam dengan terlebih dahulu membaca basmalah. Aku mulai mengeluarkan kertas yang memakai amplop warna putih.... lalu mulai membacanya kalimat demi kalimat. Atas nama sekeping hati yang rindu dengan hakikat cinta. Ku tulis sura ini bersama dengan sepenuh harapanku. semoga kecintaanku terhadap Tuhan tidak akan memudar dan berkurang. Sungguh yang ingin ku pertanyakan pertama kali dalam tulisan ini adalah kenapa hati kakak tertuju sama adik?. Dan semoga kakak tidak menjual nama Allah dalam menggapai sebuah tujuan. Hingga saat adek menulis surat ini, adek belum berfikir untuk membagi cintaku terhadap Tuhanku!! Jika Tuhan menghendaki semua ini dengan apa yang kakak buktikan mungkin kerangka berfikir tentang cinta ini akan berbeda. Dan mudah-mudahan semua terjawab dengan kesungguhan kakak. Tapi adek juga tidak bisa pungkiri bahwa adek juga memiliki tabi’at dan naluri seperti perempuan biasanya. Seandainya kakak serius dengan kata-kata kakak kemarin, adek ingin melihat keseriusan itu dengan melihat kakak menghafal Al Qur’an tiga puluh juz dalam jangka enam bulan, dan ini adalah syarat yang pertama. Syarat yang kedua, kakak juga biasakan puasa senin-kamis. Terakhir, kakak harus menguasai bahasa inggris. Ketiga syarat ini adalah kata taukid dan keteguhan bagi adik. Tidak ada yang tidak mungki selama kita berkeinginan. Semoga kakak mengerti dengan tujuan semua ini. Dan terakhir, syarat ini ada kalau kita mengerti akan makna sejatinya cinta. Dan adek minta kakak jangan pernah mengungkapkan rasa itu lagi kalau kakak belum memenuhi ketiga syarat yang adik ajukan. Ketahuilah kak, Kalau kita ingin mengerti dengan kata cinta, carilah apa yang harus dimengerti oleh rasa. Pikirkan apa yang dipikirkan pikiran dan maknakan apa yang harus termaknakan dari makna kehidupan dengan mencari arti dari setiap detak waktu yang berputar. Adek nanti perubahan kakak, enam bulan kedepan!!! Ttd Mara *** Kedatangan surat Mara memberikan angin baru pada harapanku yang seakan mulai layu. Perasaan ini bercampur aduk, mulai dari perasaan yang patah hingga perasaan yang tumbuh hingga bercampur menjadi kebingungan. Rasa patah karena syarat yang diajukan Mara merupakan hal yang sulit terpenuhi oleh diriku. Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran yang sangat ku benci sejak SD. Dan menghapal merupakan pekerjaan yang paling membosankan bagiku. Sedangkan kalau puasa senin-kamis merupakan hal yang biasa ku lakukan sekalipun mungkin tidak terlalu intens. Sedangkan rasa tumbuh bagi Mara akan berbalas dengan terpenuhinya syarat ini berarti aku masih punya harapan. aku teringat dengan firman Allah yang artinya “Di balik kesusahan ada kemudahan.” Di dalam firman-Nya yang lain, artinya “Bahwa Allah tidak akan menguji hamba-Nya kecuali berdasarkan kemampuannya.” Bahkan bandowoso mampu menciptakan seribu Candi Prambanan dalam jangka satu malam dengan dasar cintanya terhadap sang Roro Jonggrang. Seorang Sangkuriang mampu membendung Sungai Citarum karena kebesaran cintanya kepada Dayang Sumbi yang merupakan ibunya sendiri. Lalu atas alasan apakah aku harus mundur untuk memperjuangkan cinta ini?” Kalau mereka bisa lenapa aku tidak?!”gumamku dalam hati. *** Satu minggu pertama aku berusaha memformat ulang jadwal-jadwalku untuk enam bulan kedepan dan berusaha menyesuaikannya agar tidak ada terbengkalai dan tumbang tindih. Jadwal untuk menghafal yang paling banyak porsinya untuk tiga bulan kedepannya. Sedangkan untuk menguasai bahasa inggris saya putuskan untuk mengikuti kursus dan privat pada teman dekat costku yang kebetulan mengambil jurusan Bahasa Inggris. Malam ini aku mencoba menulis balasan surat Mara yang kemarin. Berisi kesanggupan dan janji hati untuk memenuhi semua syarat yang diajukannya. Lalu keesokan harinya aku langsung menitipkan balasannya lewat Farida lagi dalam surat itu menyampaikan bagaimana aku akan tetap memperjuangkan apa yang menjadi keyakinanku dan dengan apa yang aku katakan. *** Waktu tersa berlalu dengan cepatnya. Tanpa terasa tiga bulan telah berlalu dari sejak Mara memberikan surat itu. aku berusaha mengevaluasi pencapaianku selama empat minggu ini. Aku berusaha melihat penguasaan Bahasa Inggrisku dan menyuruh teman kostku menyimak hafalan Al-Qur’anku. Aku berusaha keras dalam jangka tiga bulan ini semua syarat itu dapat aku penuhi. Alangkah kecewanya diri ini dengan pencapaian yang kudapatkan. Semangat ini tiba-tiba mengendor secara drastis 180 derajat kemiringan. Karena dalam tiga bulan ini, aku balum mancapai satu juz pun. Secara logika matematika, kalau dalam jangka tiga bulan saja hafalanku belum sampai satu jus, bagaimana dengan yang dua puluh sembilan juz dengan sisa waktu yang tinggal tiga bulan. sedangkan untuk Bahasa Inggris kendati lidah ini masih sedikit gagu, tapi paling tidak banyak vokabulari dan struktur bahasa yang sudah kuhapal dan kukuasai. Dan waktunya masih cukup panjang. Pikiran semakin berkecamukdan pesimis melihat realitas bulan-bulan ini, di mana akhir bulan ini aku harus menghadapi semester Ma’had DQH dan berlanjut dengan semester kuliahku yang akan diadakan awal bulan depan. Alangkah sulitnya keadaan bagiku. Tapi aku berusaha menyelamatkan harapan yang mulai rapuh ini dengan berusaha menenangkannya dengan keyakinan bahwa setiap gelap pasti akan terang dan masalah yang akan mengajarkan kita makna pengharapan dan kedewasaan. *** Akhirnya hari minggu ini aku putuskan melakukan konsultasi kepada salah seorang ustadz tempat mudzakarah (mengaji) dulu. Dia adalah seorang juara tahfidz Al-Qur’an 30 juz MTQ tingkat Nasional. Pagi-pagi sekali aku berangkat kerumah beliau. Kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dari komplek pondok pesantren. Tok......tok.....tok.... “Assalamualaikum ...”......tok.....tok.....”Assalamualaikum..” “Wa’alaikumussalam” yang menyambut istri beliau. “Ee nak Aby,,,,,” silahkan masuk! “Gih terima kasih Ummi” “Ada apa sih nak, pasti ada yang penting kok tumben datangnya pagi –pagi sekali” “Nggih Ummi ada yang mau tiang konsultasikan sama Abah, apa beliau ada?” “Tunggu sebentar, Ummi panggilkan dulu” “Tapi kalau Abah tengah sibuk, Aby tunggu saja umm,i ndak enak mengganggu Abah” “Ndak apa-apa kok . Malah Abah akan sangat marah kalau hajat tamunya tidak segera dipenuhi”. Ummi menjawab sambil berlalu memanggil Abah. “Assalamualaikum” ”Wa’alaikumussalam” Aku segera berdidri dan mencium tangan beliau penuh ta’dzim. “Sudah lama nak” “Ndak kok Bah, baru saja”. “Nak Aby ada perlu apa kok pagi-pagi sekali?”. “Alhamdulillah nakda ingin datang silaturrahmi dan meminta nasihat dari Abah” “ Bagaimana keadaan kuliah dan dirosah nak Aby di Ma’had?” “Alhamdulillah lancar Ustadz”. Akupun diam beberapa saat untuk berfikir harus mulai darimana menceritakan masalahku. “Oya begini ustazd? nakda minta saran atau nasihat, bagaimana cara cepat untuk menghafal Al-qur’an ?”. “Alhamdulillah kalau nak Aby ingin menghafal Al-Qur’an, paling tidak niat nak Aby sudah tercatat di sisi Allah sebagai amal ibadah, apa nak Aby sudah mulai menghafal?”. “Nggih baru tiga bulan terakhir ini ustadz”. “Berapa juz sudah di hafal?”. “Baru hampir satu juz ustadz, justeru itulah nakda menghadap dan mohon saran bagaimana supaya nanda cepat menghafal?”. “Perlu nak Aby ingat bahwa Al-Qur’an merupakan sesuatu yang suci, sehingga kalau kita ingin menuju kepada suatu yang suci harus dengan kesucian, suci raga, suci jiwa, dan tentunya kita melakukannya dengan rasa ikhlas. Selanjutnya kalau mau cepat hafal, usahakan dibarengi dengan puasa dan menghafal di waktu-waktu yang ijabah, Misalnya seperti sepertiga malam atau di tempat-tempat suci, serta tentu juga dengan banyak mengulang. Oya usahakanlah momentum Ramadhan kali ini sebagai wadah nakda menghafal Al-Qur’an, apalagi di bulan Ramadhan merupakan bulan tempat di turunkannya Al-Qur’an. “Nggih Bah!! Insya Allah!”. “Oya abah mungkin hal-hal lain sebagai penantang kita?”. “Hindari dari pekerjaan maksiat,memakan barang haram, dan hindari pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan dosa, agar nak Aby selalu dekat dengan Allah, dan kalau bisa kurangi intensitas bersama wanita yang bukan muhrim”. “Ya Bah, kalau begitu nakda tunas pamit nanti telat berangkat ke Ma’had .” “Ya sudah kalau begitu, nakda rajin belajar ya?. Dan jangan sia-siakan waktu”. “Ummi, Aby mau pulang!!”. “Eee kok cepat sekali nak?” tampaknya ummi sedang menyiapkan sarapan di dapur , “Sarapan saja dulu nak baru pulang!!”. “Lain kali dah ummi, nakda harus pergi ma’had dan takut telat,”. “Oya dah hati-hati ya nak?” pesan ummi. “Assalamualaikum” “Wa’alaikumussalam” Sepulang dari rumah Ustadz, aku banyak merenungi kata-kata beliau, aku kian merasa terlalu banyak noda selama ini, banyak kealfaan dan kehilafan yang aku lakukan. Aku bertekad untuk merevarasi diri kembali dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. *** Tanpa terasa bulan Ramadhan pun telah tiba. Bulan yang sangat di nanti-nanti kaum muslimin yang beriman. bulan yang merupakan tempat penghapusan dosa, bulan yang penuh dengan kebarokahan. Di bulan Ramadhan ini aku berusaha memformat ulang waktuku dengan memperbanyak komposisi waktu untuk menghafal. Intensitas waktu banyak ku pergunakan juga untuk mengulang hafalan. Aku berusaha memanfaatkan momentum Ramadhan kali ini dengan sebaik mungkin sesuai pesan Ustadz. Apalagi Ma’had DQH libur total selama bulan Ramadhan, sedang kan jadwal perkuliahan hanya masuk akhir bulan, dan itu pun dosennya tidak terlalu aktif, maklum puasa selalu itu yang jadi alasan meski aku sendiri tidak akan pernah sepakat kalau puasa di jadikan tameng bermalas-malasan. Ramadahan berjalan begitu indahnya, hari-hari pergi dengan begitu cepat seakan berlalu melalui batas mimpi. Badan ini semakin kurus, hari-hari berjalan mengejar mimpi yang seakan sebagai narapidana. Alhamdulillah dalam tiga minggu Ramadhan berjalan, hafalanku mencapai 17 juz, pencapain yang prestisius bagi penghapal dadakan sepertiku. Aku mulai terbiasa bangun malam dan Sholat Tahajjud, sedangkan untuk penguasaan Bahasa Inggris, aku kian lancar dan mulai terbiasa bercakap-cakap dalam Bahasa Inggris sehingga banyak teman-teman seakan-akan tidak percaya kalau aku bisa berbicara dengan Bahasa Inggris, karena biasanya aku adalah orang yang paling anti dengan bahasa tersebut, sewaktu Aliyah saja aku sering mengejek teman-teman sekelas jika ada yang berbicara memakai bahasa tersebut, aku sering mengatakannya dengan bahasa neraka, bahasa penjajah, bahasa syetan, dan lain sebagainya. Ini merupakan minggu terakhir bulan Ramadhan. Banyak sekali pelajaran yang di dapati untuk Ramadhan kali ini aku berharap dapat mengahafal dua pertiga Al-Qur’an dan bisa mengulanginya kembali dengan baik. *** Hari rayapun tiba. Hari ini merupakan puncak kemenangan bagi kaum Muslimin yang telah berperang melawan hawa nafsunya. Di hari kenangan ini kenangan tetang Mara memanggil dengan begitu kuatnya, rasa rindu yang mendera kian membara menjadi kesakitan yang luar biasa, tapi komitmen jiwa ini terpatri dengan begitu kokohnya, harapan dalam jiwa jangan sampai menawar rindu sebelum bertemu janji. Janji yang harus dilunasi bagi seorang kesatria sejati Aku sangat bersyukur sekali karena bulan Ramadhan kali ini aku sudah mampu menghafal hingga juz ke-21, sehingga menurutku untuk bulan selanjutnya akan lebih mudah bagiku. Ramadhan berganti Syawal, bulan yang menjadi ajang pembuktian bagiku, Rindu yag menggunung ingin bertumpah, rasa yang berharap ingin terasa, mimpi yang tertunda ingin terwujud, kata yang terputus ingin tersambung, segala bermuara pada bulan ini. Aku sangat bersyukur dengan nikmat Allah yang sangat luar biasa bagiku. Aku di berikan cinta yang luar biasa sekali yang mampu merubah ritme’ dalam perjalanan waktu yang selama ini harus aku jalani. Tuhan mengajarkan tentang kebermaknaan cinta yang sangat berharga. Bagaimana sang pencipta memberi sentuhan pada mimpinya untuk menjadi nyata. Tanpa terasa waktu yang ku nantikan akan segera menyapaku dengan begitu indahnya. Satu minggu lagi waktu terakhir dari batas waktu yang di tawarkan Mara akan datang. Mimpiku seakan di depan mata. Hafalanku sudah hampir rampung. Aku tinggal lebih banyak mengulangi saja, hatiku terpenuhi dengan bunga, yang di siram telaga wangi, jiwaku terhias harapan, yang mampu embelah bumi. Harapan seakan kian berbunga, hafalanku kian ku mantapkan. Kata-kata pertama yang akan aku ucapkan pertama kali nanti mulai aku persiapkan. Aku seakan bermimpi bagai Adam yang bertemu pertama kali dengan sang Hawa di padang Arafah. *** Hari ini aku sangat kagum dengan salah seoarang masyaikh (Dosen di Ma’had DQH) yang baru pulang dari Madrasah As-Shaulatiyah Makkah. Bahasa–bahasanya sangat menyejukkan hati. Beliau seorang hafidz (penghapal al-Qur’an) yang sangat tekun sekali menggali Al-Qur’an. Sifat beliau yang tawaddu’ menjadi keindahan yang melengkapi wajah tampannya. Saat mengajar beliau menceritakan bagaimana riwayat hidupnya, ternyata beliau merupakan salah satu putra masyaikh senior di Ma’had ini. Beliau banyak menceritakan kelebihan-kelebihan orang yang banyak menghafal Al-qur’an dan bagaimana kiat-kiat hafal. Dalam hatiku aku sangat kagum dengan masyaikh ku ini. *** Mentari yang cerah yang menyinari kulit yang terbius kedinginan. mentari yang tak pernah bosan memberikan kehangatan kepada bumi. Pagi ini aku berusaha berangkat pagi-pagi sekali, ke kampus Ma’had. Aku berusaha bisa duduk di shaf paling depan di pagi ini. Aku juga ingin mengulangi hafalan sambil i’tikaf di masjid Ma’had. Udara pagi ini begitu menyejukkan hati, sepanjang perjalanan menuju kampus seakan semua tumbuhan dan benda lain berdzikir memuji zat yang Maha Kuasa. Sampai di kampus aku mengambil shaf paling depan agar fatwa-fatwa masyaikh lebih jelas terdengar, kebetulan yang mengisi pengajian kali ini adalah TGH. Mahmud Yasin QH. Sebelum pengajian pagi seperti biasanya diawali dengan do’a dan membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an dan beberapa nadzam, sebelum mulai mengaji pagi. Ketua Senat Mahasiswa Ma’had DQH mengumumkan agar kami tidak bubar dulu setelah pengajian pagi selesai, berhubung salah seorang masyaikh akan mengadakan akad nikah. Hal-hal yang sering kami jumpai di kampus yang identik dengan kampus putih tetapi yang menjadi hal yang fenomenal ketika yang melakukan prosesi tersebut adalah salah satu dari Masyaikhul Ma’had. Setelah ngaji pagi berakhir, prosesi akad nikahpun dilakukan, nampak kedua mempelai bejalan dari kejauhan. Pertama kali masuk adalah mempelai laki-laki yang berjalan tawaddu’ bertahta bahagia di altar terakhir pengujung mimpi para musafir cinta. Pria tersebut ternyata Masyaikhul Ma’had yang sangat ku kagumi karena kesalehannya dan juga beliau penghafal Al-Qur’an, “alangkah beruntungnya wanita yang disuntingnya” . Gumamku dalam hati. Selang beberapa menit, mempelai perempuan datang dengan diiringi keluarganya. Sang Dewi Cinta yang berjalan bersama alunan takdir yang sangat di rindukan para kaum hawa di muka jagad raya ini. Tuhan ,,,,!! Alangkah terkejutnya aku. Aku merasa tersambar petir menghampiri nyawaku dengan sambaran kilat ketidakpercayaan. Ketika yang kulihat adalah sosok yang selama ini menjadi dambaan hati. Alangkah diriku berada diantara sadar dan tidak ketika kutenemukan harapan yang hendak teraih namun waktu mempertemukanku dengan harapan yang berbeda. Mataku mencoba memastikan bahwa yang memakai hiasan pengantin adalah dewi yang selama ini menjadi mimpi hati. Alangkah kejam dunia ini Tuhan. Mata hati kian membanjiri pusara jiwa. Harapan yang kuat terbagun pun roboh. Mimpi yang hamper menjadi kenyataan sirna. Yang tersisa di jiwa hanya nada-nada bernada kesedihan. Prosesi akadpun berjalan dengan begitu sakralnya. Mara hanya menunduk khusu’ seakan di lembah pemujaan. Mata seakan melihat pendeta yang mengeroyoki nasib gibran, aku seakan petapa yang dipermainkan dewa. Telinga ini seakan mendengar kemunafikan dari tetesan cerita sejarah, fikiran ini seakan berada di masa Nurbaya, seakan bernafas di masa Gibran, berharap bersama Bondowoso dan merintih bersama Romeo. Cintaku menjelma sebuah pemberontakan bersama tangisan kehidupan. Hidupku bagai suatu yang tidak penting yang harus tenggelam kedalam samudera rasa. Sekuat apapun aku menolak nasib, nasib tetap berjalan seakan mengejek pemujaan diriku tentang cinta ini. Aku perlahan menyadari kesalahanku selama ini yang mendewakan rasa. Akupun menyadari bahwa kuasa hanya milik dan kita hanya bisa merencanakan sekuat apapun kita berusaha titik akhirnya hanya pada Tuhan. Hari ini Mara telah banyak mengajarkan aku tentang banyak hal: tentang muara cinta yang ada pada mulut Tuhan, tentang Tuhan yang merupakan kekasih yang pantas dicintai, tentang nikmat hidup bersama Al-Qur’an. Meskipun batin ini kecewa akupun tidak merasa kerugian yang mendalam karna aku lebih dekat lagi sama Tuhan dan semoga aku dapatkan cinta-Nya.amien. Bumi Santri Anjani, Oktober 2009

No comments:

Post a Comment