Friday 2 August 2013

ESENSI SUFISTIK PUASA

ESENSI SUFISTIK PUASA Oleh: Hurnawijaya Al-Khairy (Pengasuh Majelis Taklim Hidayatussalam dan Ketua Persatuan Alumni Fak. Syari’ah IAI Hamzanwadi NW Lombok Timur) Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak ada yang ia dapatkan dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga semata. Begitulah Rasulullah suatu ketika mensinyalir dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Hal tersebut karena banyak orang yang berpuasa hanya secara lahir saja tanpa mengerti akan makna dan hakikat puasanya. Puasa hanya diartikan sebagai kewajiban beragama untuk menahan diri dari makan dan minum dari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Padahal hakikat puasa tidaklah sesederhana itu. Puasa haruslah dimaknai tidak hanya secara lahir saja melainkan juga dari sisi tasawufnya. Tasawuf adalah dimensi batin dari agama. Dimensi lahirnya biasanya disebut syari'ah, yang terutama berisi hukum-hukum keagamaan formal, mengenai apa yang seorang beragama harus lakukan, dan apa yang dilarang. Tasawuf di samping memberi segi batin dari aspek formal keagamaan itu, juga memberi visi mengenai arti hidup beragama. Karena itu setiap aktifitas dalam syariat agama mengandung nilai tasawuf. Ibarat satu tubuh, syariat adalah jasad sedang nilai tasawuf adalah ruhnya. Jika nilai ini hilang maka syariat itu hanya akan kehilangan ruh sehingga menjadi sesuatu yang kosong tanpa makna. Ibn al-Arabi seorang filsuf mistik paling terkemuka dalam kitab Futuhat al-Makkiyyah, membagi empat tingkat praktek dalam memahami tasawuf, yaitu syari'ah yang dikenal sebagai segi esoterik hukum-hukum agama, thariqah sebagai jalan mistik dalam beragama, haqiqah mengenai hakikat kebenaran yang dikandung oleh suatu ajaran agama, dan ma'rifah (gnosis), yang oleh beliau didefinisikan sebagai pengalaman kesatuan dengan Yang Ilahi ketika seseorang telah mencapai derajat tertinggi dalam pengamalan dan pengalaman beragama. Keempat tingkat itu dirumuskan: pada tingkat hukum formal (syari'ah) ada kesadaran "milikmu dan milikku", di mana hukum-hukum agama akan mengatur hak dan kewajiban antarpribadi, seperti penataan hubungan di antara orang-orang. Dalam tingkat jalan Mistik Sufistik (thariqah), rumusannya adalah kesadaran "milikku adalah milikmu, milikmu adalah milikku", karena itu para Sufi diajarkan mengenal sesama manusia sebagai saudara, untuk membuka diri masing-masing, membuka hati, termasuk derma untuk sesama dan perkembangan dalam realitas kehidupan dan kemanusiaan. Pada tingkat kebenaran hakiki (haqiqah), ada pengalaman baru dengan kesadaran "tidak ada milikku, dan tidak ada milikmu". Pada tingkat ini ada minimalisasi atas super ego dan egosentrisme, dan mereka "dari luar masuk ke dalam mencari pengalaman batiniah yang paling asli (fitrah, primordial). Dan, yang keempat adalah pada tingkat tertinggi gnosis (ma'rifah) di mana muncul kesadaran "tak ada saya, dan tak ada Anda", yang ada hanya Allah. Seorang Sufi akan merealisasi pengalaman bahwa yang ada seluruhnya adalah Allah, dan tidak ada satu pun yang terpisah dari Allah: Sebuah pengalaman mistik yang sekarang sering disebut "pantheisme," yang populer dalam tasawuf dengan wahdat al-wujud (kesatuan keberadaan) dalam epistemology Ibn al-Arabi, Ana al-Haqq dalam konsep al-Hallaj atau manunggaling kawulo-gusti dalam pemikiran syekh lemah abang atau syekh siti jenar. Keempat tingkat ini adalah perjalanan, dan menjadi tujuan Sufisme, di mana pengalaman sebelumnya mendasari pengalaman selanjutnya. Maka tidak heran dalam keberagamaan tasawuf ini, pemahaman yang mendalam mengenai "jalan kepada cinta (the path to love)” mendapat perhatian, sehingga segi-segi psikologi-spiritual menjadi begitu penting dalam jalan ini, khususnya dalam mencapai tingkat kedirian (nafs) yang betul-betul suci (fitrah). Dari jiwa yang bersih inilah kemudian kita bisa sampai pada pengalaman kesatuan dengan yang Ilahi. Pengalaman inilah kemudian yang melahirkan kesadaran yang disebut ihsan, yaitu "an ta’budallaha ka annaka taraahu, fa inlam takun taraahu fa innahu yaraaka” (seolah-olah kita melihat Tuhan, kalaupun tidak bisa melihatnya, kita sadar betul bahwa Tuhan melihat kita). Tujuan jalan hati dan cinta adalah untuk mencapai "langit tertinggi dari cahaya gnosis dalam hati yang terdalam". Cahaya gnosis itu ada dalam hati manusia, yang hanya bisa didapat lewat perjalanan hati dan cinta. Lewat jalan hati dan cinta ini manusia pun menemukan kembali ‘Diri’ nya yang Sejati diri yang akan abadi dan tidak hilang dengan berakhirnya jatah hidup di dunia yang fana. Kerinduan pada Diri yang sejati ini yaitu jiwa yang penuh ketenangan (al-Nafs al-Muthmainnah) yang seharusnya menjadi cita-cita akhir setiap manusia. Dalam konteks puasa, ibadah ini sebenarnya didesain oleh Allah untuk menjadi salah satu oase dalam kehidupan umat islam. Oase itu seharusnya menjadi tempat pemberhentian sejenak bagi para musafir dalam perjalanan hati dan cinta untuk mengambil air minum dan mengisi perbekalan untuk menjadi bekal dalam perjalanan selama setahun ke depan. Secara lahir syariat puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala yang membatalkan puasa, yang bermakna bahwa seorang muslim harus melatih diri untuk tidak terus menerus menurutkan kehendak hawa nafsunya. Nafsu untuk makan, nafsu untuk minum, nafsu untuk melampiaskan hasrat seksual, nafsu untuk berkata-kata kotor dan dusta, dan nafsu untuk melakukan tindakan maksiat. Secara mistis, puasa mengajarkan untuk peka terhadap penderitaan sesama. Dengan merasakan secara langsung bagaimana rasaya lapar dan dahaga maka akan timbul empati kepada orang-orang yang kurang beruntung dalam kehidupan. Kesadaran bahwa ternyata masih banyak umat islam yang terkadang untuk makan sekali sehari saja teramat susah. Dari rasa empati itu akan timbul keinginan untuk berbagi dengan sesama, konsep “milikku adalah milikmu, dan milikmu adalah milikku” akan menemukan momentumnya sehingga rasa persaudaraan sebagai satu kesatuan akan membuka hati untuk saling memberi dan berderma. Secara hakikat, puasa mengajarkan untuk dengan tulus ikhlas beribadah. Konsep “tidak ada milikku, dan tidak ada milikmu” akan mengantarkan pada kesadaran akan totalitas ibadah. Aktifitas selama ramadhan sejak sebelum terbitnya fajar, banyak membaca al-Qur’an, sholat dhuha, sholat berjamaah, berbuka bersama, shalat tarawih, shalat witir, tadarrus al-Qur’an, I’tikap di masjid sedikit tidak akan menanamkan jiwa pasrah dan berserah diri hanya kepada Allah. Sebab kalau tidak ikhlas semuanya akan bernilai sia-sia. Paling esensi dari ibadah puasa adalah pengalaman kesatuan dengan Ilahi (Muaraqabah) yaitu perasaan senantiasa diawasi oleh Allah swt. Ibadah puasa adalah ibadah sirriyyah (rahasia), hanyalah orang yang berpuasa dan Allah yang tahu. Jika ibadah yang lain seperti sholat, orang lain bisa langsung mengetahui bahwa kita sedang sholat. Dengan demikian kita akan menjaga sholat tersebut dengan sebaik mungkin supaya kelihatan khusyu’ minimal dihadapan manusia. Tetapi puasa, bisa-bisa saja seseorang yang tidak berpuasa mengaku bahwa ia sedang berpuasa. Dengan demikian hanyalah orang-orang dengan keimanan yang teballah yang akan melaksanakan puasa dengan sempurna. Keimanan dengan keyakinan ihsan. Nilai sufistik ini akan berimplikasi pada pribadi sesorang akan terlihat selama bulan puasa dan perlahan membentuk karakter dengan jiwa fitrah. Ketika idul fitri menjelang ia sudah menjadi manusia paripurna. Karena puasa tujuannya adalah membentuk pribadi-pribadi muslim yang bertakwa. Wallahu ta’ala a’la wa a’lam.