Friday 8 November 2013

REFLEKSI KULIAH STUDY HADITS: MEMBANGUN PERSPEKTIF BARU TENTANG AS-SUNNAH OLEH: HURNAWIJAYA 1. PENGANTAR Hadits Rasulullah adalah sebagai pedoman hidup yang utama setelah al-Quran. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk dalil yang masih mutlak dalam al-Quran, hendaklah dicari penyelesaiannya dalam al-Hadits. Suatu problema, saat hadits tersebut diketemukan banyak sekali yang tidak shohih, bahkan banyak hadits palsu. Banyak kaum muslim pula ragu tentang hadits yang mereka jadikan pedoman. Bahkan mereka yang sudah meyakini suatu hadits, hanya karena hal kecil mereka meninggalkan hadits tersebut dikarenakan tidak menemukan kebenaran hadits. Setiap zaman senantiasa muncul para pemikir yang tertarik untuk meneliti hadits. Ini dapat di lihat dari buku-buku ilmu hadits yang banyak berkembang dewasa ini. Kajian hadits dalam karya-karya tersebut pada umumnya bersifat filosofis. Para penulis lebih banyak membicarakan apa yang seharusnya disebut hadits, bukan apa senyatanya dari hadits tersebut. Sementara kajian yang didasarkan pada pendekatan murni ilmiah, baru terjadi pada abad 19, yang dilakukan oleh para orientalis. Hingga ukiran pena mereka sampai sekarang digunakan umat Islam sebagai jalan meneliti suatu hadits. Banyak juga kemudian mengadopsi cara-cara para orientalis dalam menelaah dan menyikapi hadits Rasulullah SAW. Problematika hadits menjadi semakin kompleks manakala sebagian kaum muslimin kemudian banyak yang mulai meninggalkannya karena terpengaruh oleh pemikiran kaum orientalis tersebut. Di sisi lain masih terdapat beberapa golongan kaum muslimin yang terlalu fanatic dengan apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang bersumber pada hadits Rasulullah. Banyak juga di antara mereka yang terjebak pada pemahaman bahwa isi kandungan dan hukum yang terdapat dalam hadits telah bersifat final dan tidak boleh diutak atik. Pemahaman semacam ini menganggap bahwa hadits adalah sesuatu yang sacral dan bersifat mengikat dalam segala aspek. Berbagai macam persepektif ummat Islam dalam memahami hadits ini mengakibatkan sering terjadi pertentangan sesame kaum muslimin itu sendiri. Sehingga harus ada jalan tengah yang bersifat moderat yang dapat menjembatani dua kutub pemahaman tersebut. IAIN sebagai lembaga perguruan tinggi Islam telah memberikan sedikit jawaban dengan menjadikan Ulumul Hadits sebagai salah satu mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa. Terlebih pada tataran pasca sarjana yang berkaitan dengan pendalaman ilmu-ilmu keIslaman. 2. REFLEKSI PERKULIAHAN Program Pascasarjana IAIN Mataram pada konsentrasi Ahwal Asysyakhshiyyah pada tahun akademik 2012/2013 diprogramkan mata kuliah study hadits. Mata kuliah ini diampu oleh salah seorang dosen pasca sarjana yaitu Dr. Abdul Haris, M.Ag yang memang membidangi Ilmu Hadits (ushuluddin). Beliau adalah alumnus program doctoral fakultas ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan disertasi berjudul: “Hermeneutika Hadis (studi atas teori pemahaman hadis menurut fazlur rahman dan muhammad syahrur)”. Perkuliahan Study Hadits diarahkan dengan metode diskusi (seminar kelas) dan sedikit ceramah di akhir tatap muka setiap kali perkuliahan. Pada dua pertemuan awal Dr. Abdul Haris, M.Ag memulai perkuliahan setelah memberikan course outline dengan memberikan gambaran awal tentang study hadits dan relevansinya dengan program asca sarjana. Terlebih jurusan ahwal asyakhsiyyah (hukum Islam) senantiasa bersentuhan langsung dengan hadits-hadits Rasulullah SAW sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Metode ini menurut hemat penulis cukup bagus dan menarik. Di samping memberikan gambaran awal tentang study hadits, pemberian pengantar di awal perkuliahan sedikit tidak memberikan semacam brain storming bagi mahasiswa peserta program. Gambaran sekilas itu juga dapat memancing semangat mengikuti perkuliahan dan ikut aktif dan terlibat dalam setiap ide yang hendak disampaikan. Berikutnya perkuliahan berlangsung sebagaimana mata kuliah yang lain seperti study Al-Qur’an, Filsafat Ilmu. Bedanya dalam mata kuliah study hadits materi diskusi disusun dalam course outline untuk dipilih. Setiap tofik harus berdasarkan referensi yang telah ditentukan. Pada awal perkuliahan penulis sempat berpikir bahwa pemberian tugas menyusun makalah dengan mewajibkan satu model buku hanya akan membentuk pola pikir dan pemahaman hadits yang tidak berkembang. Ternyata anggapan itu hilang setelah dua kali diskusi (seminar kelas) berlangsung. Karena semua peserta program ternyata menjadikan buku yang telah ditentukan hanya sebagai referensi utama selebihnya adalah referensi pengayaan yang tak terbatas. Hal tersebut terbukti dengan penulisan makalah oleeh setiap peserta program sangat beragam. Bagi penulis sendiri, dengan membaca makalah yang disusun oleh rekan-rekan peserta program penulis mendapatkan banyak sekali pemahaman baru dalam mengkaji dan memahami hadits-hadits Rasulullah SAW. Pemahaman baru tersebut sedikit tidak menjadikan penulis menemukan perspektif baru dalam mengkaji dan memahami hadits-hadits Rasulullah SAW. Penerapan metode semacam ini menurut hemat penulis sangatlah berarti. Dengan sistem sharing tentang apa yang telah didapatkan dalam buku referensi wajib masing-masing menjadikan peserta program semakin kaya akan perspektif para pemikir dan cendekiawan. Terlebih lagi pemikiran-pemikiran tersebut tidak hanya berkisar pada ulama’-ulama’ Islam klasik melainkan juga para pemikir kontemporer bahkan para pemikir barat yang notabenenya adalah orientalis. Course outline yang disusun oleh dosen pengampu menurut penulis juga disusun berdasarkan pertimbangan yang cukup matang. Hal ini karena outline tersebut menurut penulis adalah membentuk satu bangunan yang utuh tentang urutan pembacaan dan penghayatan yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang cinta pada pembahasan seputar hadits. Outline yang disusun dengan memulai dari definisi hadits/sunnah, kedudukan sunnah, klsifikasi sunnah, pandangan para ulama’ tentang sunnah, para pengingkar sunnah, pandanangan para orientalis tentang sunnah, dan bantahan-bantahan yang diberikan oleh pemikir islam tentang pandangan para orientalis tersebut, dan pandangan-pandangan para pemikir kontemporer. Selanjutnya outline ditutup dengan penerapan asunnah dalam mengambil dan menjadikan suatu hukum. Outline ini seakan menggambarkan bangunan yang utuh tentang study hadits. Walaupun tidak ada sesuatu yang sempurna didunia ini, tetapi dengan mengikuti setiap perkuliahan dan terlibat aktif dalam diskusi/seminar kelas penulis banyak menemukan hal – hal baru selama perkuliahan berlangsung. Hal ini dilengkapi dengan penjelasan langsung dari dosen pengampu. Penjelasan-penjelasan yang disampaikan seringkali menyisakan ketidakpuasan sebagian peserta program karena masih banyak hal yang harus didiskusikan dengan waktu yang teramat terbatas menjadikan mata kuliah ini semakin menarik. Pada akhirnya, penulis merasakan bahwa bangunan pola pemikiran dalam menelaah dan megkaji hadits tersebut adalah satu upaya untuk memberikan pemahaman yang benar tentang al-Hadits. Terlepas dari salah dan benar, banyak ummat islam telah melupakan banyak aspek dalam hadits tersebut. Maka seorang cendekiawan harus mampu menjadi semacam pencerah yang akan memberikan pola pikir baru yang moderal dalam menyikapi dan mengamalkan hadits-hadits dan sunnah Rasulullah SAW. 3. BEBERAPA POINT PENTING HASIL PERKULIAHAN Ada beberapa point penting yang penulis dapatkan selama perkuliahan. Point-point ini penulis anggap sebagai pengayaan pemahaman dalam study hadits antara lain: a. Pemahaman tentang otoritas hadist sebagai sumber hukum Islam, kedudukannya bagi al-Qur’an, klasifikasinya, tekhik kritik, sejarah wurud dan lain sebagainya b. Banyaknya pemikiran baru dalam ulumul hadts yang berkaitan dengan perspektif baru menelaah hadits, ataupun kritik hadits c. Pandangan-pandangan para ulama’, cendekiawan, pemikir terhadap sunnah. Pandanagn-pandangan ini terbagi menjadi: pandanagn para ulama’ Islam generasi awal Islam, pandangan para orientalis dan pengikut ingkarussunnah, dan pandangan pemikir Islam kontemporer yang memberikan paradigm baru memahami hadits Rasulullah SAW. d. Proses hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam mengalami tiga tahapan filosofis yaitu becoming (fase awal terkodifikasinya hadits) – progressive (berdialektika dengan situasi dan kondisi) – being (menjadi ulumul hadits sebagaimana yang kita kenal sekarang). Dalam proses-proses tersebut hadit tidak pernah terlepas dari situasi dan kondisi yang terjadi. Hal ini berdampak pada masuknya berbagai macam kepentngan baik dalam pembukuan maupun penyusunannya. e. Banyak tokoh dan pemikir Islam kontemporer telah memberikan nuansa baru dalam memahami hadits Rasulullah SAW diantaranya: Fadzlurrahman dengan konsep kembali kepada hadits yag otentik dan betul-betul di butuhkan dalam keghidupan di masa post modern, Muhammad Syahrur dengan konsep bahwa al-qur’an dan hadits adalah paying pengayom (umberella concept) bagi pembentukan peradaban Islam yang maju dan harmonis, Muhammad Amin dengan konsep pengetatan terhadap penerimaan hadits sebagai landasan untuk beramal karena hadits tidak sunyi dari pemalsuan yang diakibatkan oleh kepentingan-kepentingan, dan lain sebagainya. f. Beberapa penafsiran dapat diterapkan dalam memahami dan mengistinbath hukum dari Assunnah. Misalnya dengan memperhatikan asbabul wurud, historisitas, bahkan hermeneutika. Dengan beragam model penafsiran itu, islam akan semakin kaya dengan perspektif. g. Memahami hadits secara literal hanya akan mengantarkan kaum muslimin menjadi kaum yang jumud dan tertnggal dalam segala hal sehingga mereka harus kembali menempatkan asunnah sesuai dengan tempatnya. Dengan demikian akan tersebar pemahaman yang benar. Pemahaman yang benar akan melahirkan sikap yang benar dalam mengamalkan hadits-hadits dan sunnah tersebut. h. Di era kontemporer yang kompleks permasalahannya dan perubahan yang sangat cepat, pemahaman hadis memerlukan revolusi dan reinterpretasi yang sempurna. Metode hermeneutika bisa membantu hal ini. Melalui metode hermeneutik, hadis bisa diubah menjadi sunnah yang hidup. Namun perlu dipahami bahwa hadis perlu dibedakan antara hadis yang bersifat historis (hadis yang didukung dengan fakta-fakta sejarah) dan hadis yang bersifat biologis (hadis-hadis teknis). i. Pemahaman hadis melalui metode hermeneutik bisa ditemukan dalam pemikiran Syahrur dan Rahman. Melalui bangunan metodologis teori pemahaman hadis dari Syahrur, pemahaman terhadap sunnah Nabi dilakukan dengan pertimbangan, Nabi sebagai mujtahid pertama dalam melakukan pembatasan terhadap hal-hal yang diperbolehkan dan pemutlakan kembali terhadap hal-hal yang sudah dibatasi sebelumnya, serta melakukan kajian ulang terhadap berbagai kitab hadis dengan metodologi, klasifikasi hadis dalam kategori hadis-hadis keNabian dan hadis-hadis risalah j. Dalam memppelajari hadits perlu dibangun semangat baru dalam memahami dan mengamalkan hadits Nabi sehingga bersifat terbuka dalam menerima berbagai macam pandangan tentang hadits Rasulullah SAW. 4. PENUTUP Perkuliahan Study Hadits yang diampu oleh Dr. Abdul Haris, M.Ag cukup baik dan menarik untuk sebuah upaya membangun pemahaman yang benar dalam menyikapi dan megamalkan as-Sunnah. Sehingga kedepannya perkuliahan ini penulis rasa akan lebih mandatangkan manfaat dan sumbangsih yang besar bagi perkembangan keilmuan. Wallahu a’lamu bisshawab. Lombok Timur, 01 Januari 2013.

No comments:

Post a Comment