Saturday 9 November 2013

PENDEKATAN TEKSTUAL (LITERAL) DALAM PEMAHAMAN TEKS-TEKS KEISLAMAN OLEH: HURNAWIJAYA I. PENDAHULUAN Terdapat beberapa pendekatan dalam mengistinbat dan memahami suatu hukum dan ketetapan dalam Islam, baik yang berkaitan dengan dimensi aqidah, dimensi mu’amalah maupun dengan dimensi akhlak (moralitas) . Diantaranya adalah pendekatan tekstual, pendekatan kontekstual, pendekatan pilsafat, pendekatan sejarah, pendekatan hermeneutika dan lain sebagainya. Salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan adalah pendekata tekstual yang berdasarkan pada teks-teks syari’at secara langsung. Pada dasarnya penggunaan pendekatan tekstual (literal) dalam memahami hukum Islam adalah suatu hal yang memang harus dikedepankan . Hal ini berarti pendekatan tekstual dalam memahami dan mengamalkan hukum Islam adalah tuntutan syari’at Islam. Hanya saja, berkembangnya fenomena dan masalah manusia dengan dinamika social yang terus berkembang seringkali mendesak untuk diselesaikan. Masalahnya timbul manakala teks-teks keagamaan terbatas dalam mengakomodir masalah-masalah baru tersebut. Hal tersebut dikarenakan, bagaimanapun juga rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun yang lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi social polotik dan kebudayaan telah berbeda. Sementara hukum islam sendiri harus senantiasa berputar dan berdialektika sesuai dengan ruang dan waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks, bagaimana jika suatu masalah tidak ditemukan jawabannya pada teks fiqih? Apakah harus mauwquf dan membiarkannya saja? Padahal suatu masalah tidak boleh didiamkan tanpa ada jalan penyelesaian. Maka disinilah kemudian diperlukan metodologi yang berbeda yang tidak hanya mengandalkan teks-teks fiqhiyyah dalam menyelesaikan suatu persolan hukum. Sebagian ulama’ kemudian terkadang berbeda dalam memvonis hukum suatu amalan. Hal tersebut tentu saja karena berbeda penafsiran dan sudut pandang. Hanya saja terkadang sebagian orang atau kelompok dalam islam merasa bahwa hanya dirinyalah yang benar dan sesuai dengan manhaj Rasulullah SAW. Biasanya pemahaman seperti itu karena mereka terlalu sempit dalam menafsirkan dan membaca teks-teks syariat atau dalam bahasa lain mereka hanya melihat kebenaran hanya ada pada teks-teks secara gramatikal tanpa perlu ada pendekatan lain dalam mengambil hukum dari teks-teks tersebut. Dalam makalah ini kami tampilkan beberapa contoh hukum dalam sudut pandang tekstual oleh sebagian ulama’ atau golongan yang berkaitan dengan Aqidah sebagai dasar agama dan yang berkaitan dengan hukum fiqih dan etika. II. CORAK PEMAHAMAN NORMATIF LITERAL Pendekatan ini menekankan pada makna harfiyah dari teks-teks (nash) syari’at. Cirri-cirinya: 1. Dibakukan melalui pendekatan doctrinal-teologis artinya semua teks syari’at dianggap sebagai sesuatu yang sakral dari Allah dan Rasul-Nya sehingga telah baku dan tidak memiliki makna lain selain apa yang ditegaskan oleh makna zhahirnya. 2. Bercorak literalis, tekstualis, dan skripturalis artinya keputusan dalam menetapkan suatu hukum dan ketentuan hanya berdasar pada makna teks secara harfiyah. 3. Berdasarkan hanya pada analisis tekstual artinya analisis terhadap kandungan teks tidak boleh diqiyas/ditakwil, hanya berdasar pada analisis lteral. 4. Cenderung bersifat absolutis artinya kebenaran hukum, ketentuan serta kesimpulan dianggap sebegai kebenaran mutlak yang berimplikasi pada tunggalnya kebenaran. 5. Cenderung bersifat kaku, sangat rigit, karena bergerak pada aspek legal formal artinya pendekatan literal bersifat kaku dan tidak menerima tawaran lain karena kebenaran bersifat tunggal yaitu apa yang terkandung dalam teks semata. 6. Bergerak pada wilayah yang disebut dengan high tradition 7. Pendekatan literal bergerak pada wilayah yang disebut oleh Kuntowijoyo dengan istilah realitas subyektif karena hanya menganggap diri sendiri yang benar dan apa yang disipulkan orang lain adalah sesuatu yang salah dan keliru. 8. Biasanya mengagungkan pola hidup masyarakat islam masa lalu sehingga setiap permasalahan selalu ingin diselesaikan dengan konsep-konsep islam terdahulu 9. Menjadikan kehidupan rasulullah sebagai cermin untuk menyelesaikan masalah Pendekatan normative literal biasanya digunakan oleh penganut islam garis keras, karena pemahaman yang kaku mereka cenderung menutup diri dari penganut-penganut faham yang lain. III. BEBERAPA CONTOH PEMAHAMAN ISLAM SECARA TEKSTUAL 1. Kesempurnaan Islam Ummat Islam telah sepakat bahwa Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu’ (cabang-cabang) agama Islam . Allah sw telah menjelaskan tentang tauhid dan segala hal yang berkaitan dengannya berikut macam-macamnya. Allah SWT telah menjelaskan masalah ibadah baik mahdlah maupun ghairu mahdlah. Allah telah menjelaskan tentang etika bergaul dengan sesama manusia, etika dalam berbicara, etika dalam rumah tangga, etika meminta izin, etika dalam pertemuan, bahkan Allah juga telah menjelaskan cara berpakaian dan lain sebagainya. Dengan demikian jelaslah bahwa agama Islam telah sempurna, mencakup segala aspek kehidupan manusia tidak perlu ditambah dan tidak boleh dikurangi. Tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia baik yang menyangkut kehidupan akhirat maupun masalah kehidupan di dunia, kecuali telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an secara tegas ataupun dengan isyarat, secara tersurat maupun secara tersirat. Sebagaimana firman Allah SWT tentang Al-Qur’an: “Dan Kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu (QS. An-Nahl : 89) Bahkan lebih tegas lagi disebutkan dalam firman Allah: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan ummat-ummat juga seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun didalam al-Kitab. Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpun (QS.Al-An’am: 38). Mungkin ada orang yang bertanya: “Adakah ayat didalam Al-Qur’an yang menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut bilangan rakaat tiap-tiap sholat tersebut. Bukankan Al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan segala sesuatu, padahal kita tidak menemukan ayat yang menjelaskan tentang bilangan rakaat tiap-tiap sholat? Jawabnya: Allah SWT telah menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwasanya kita diwajibkan mengabil dan mengikuti segala apayang telah disabdakan dan ditunjukkan oleh Rasulullah SAW , berdasarkan firman Allah SWT: “Barangsiapa yang mentaati Rasul SAW, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa’ : 80). Juga firman Allah SWT: “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7). Hal ini berarti segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh sunnah Rasulullah SAW, ietu artinya Al-Qur’an telah menunjukkannya pula. Karena sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam sunnah maka sebenarnya telah disebutkan pula dalam Al-Qur’an. Berdasarkan uraian di atas, maka segala sesuatu hal tentang ajaran Islam ttelah final dan bersipat mengikat sehingga tidak menerima penambahan ataupun pengurangan. Nabi SAW telah menerangkan segala sesuatu yang berkenaan dengan ajaran Islam, baik melalui perkataan, perbuatan atau persetujuan beliau. Beliau telah menerangkan langsung dari inisiatif belaiau atau sebagai jawaban atas pertanyaan, ataupun pengakuan beliau terhadap sesuatu masalah yang terjadi. Maka jelaslah bahwa ajaran Islam (syariat) telah lengkap dan sempurna sehingga tidak memerlukan tambahan maupun pengurangan. Sebagai bukti bahwa Nabi SAW telah menjelaskan segala apa yang diperlukan manusia dalam ibadah, muamalah, dan kehidupan mereka yaitu firman Allah SWT: “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah kuridhaiIslam itu sebagai agamamu. (QS. Al-Maidah: 3) 2. Setiap Perkara yang Baru adalah Bid’ah dan Kesesatan Berdasarkan uraian di atas, karena sari’at Islam telah lengkap dan sempurna maka siapapun yang berbuat suatu bid’ah dengan mengadakan suatu yang baru dalam sari’at Islam (bid’ah) walaupun dengan tujuan baik, maka bid’ahnya itu selain merupakan kesesatan adalah suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Allah yang menegaskan tentang kesempurnaan agama Islam. Hal tersebut karena dengan perbuatan mengadakan bid’ah dia seakan-akan mengatakan bahwa ajaran Islam itu beum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT belum tterdapat di dalamya. Diantaranya ada orang yang melakukan bid’ah berkenaan dengan tauhid yang berkenaan dengan Dzat, Asma’ dan Shifat Allah SWT kemudian mengatakan bahwa tujuannya adalah mensucikan Allah SWT. Ada pula orang yang melakukan bid’ah dengan mengadakan peringatan-peringatan yang tidak pernah dilakukan ataupun dianjurkan oleh rasululah SAW seperti Maulid, Peringatan Isra’ Mi’raj, Tahun baru Islam, dan lain sebagainya dengan tujuan menampakkan cinta kepada Islam dan Rasulullah serta mendekatkan diri kepada Allah, ada pula orang yang melakukan perbuatan bid’ah dalam amalan syari’at dengan menambah-nambah amalan berupa dzikir berjama’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Ada juga orang yang melakukan bid’ah dengan menambah perlengkapan ibadah seperti memukul bedug sebelum adzan, manggunakan tasbih untuk berdzikir, padahal Rasululah SAW tidak pernah mencontohkannya. Dan banyak lagi contoh-contoh perilaku bid’ah yang dilakukan dengan alasan untuk syiar agama, menambah barakah dan lain sebagainya . Padahal mereka mengerti dan meahami akan sabda Rasulullah SAW dalam hadits yang shohih: “Jauhilah perkara-perkara baru, karena perkara baru itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu masuk ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari) Hadits di atas, terutama sabda Nabi “Setiap Bid’ah” bersifat umum dan menyeluruh, dan semua ummat Islam mengetahui hal tersebut. Rasulullah SAW yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi apa yang disampaikannya. Maka ketika beliau bersabda: “kullu bid’atin dholalatun”, beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau karena beliau benar-benar tulus terhadap ummatnya. Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu: diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan, dan dengan pemahaman yang penuh, maka pernyataan tersebut tidak memiliki konotasi lain kecuali makna yang dikandungnya. Sehingga tidak ada alasan untuk membagi-bagi bid’ah menjadi 3 macam bid’ah atau menjadi 5 macam sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. Kalaupun ada ulama’ yang mengatakan bahwa ada bid’ah dlolalah dan ada bid’ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal; Pertama: kemungkinan tidak termasuk bid’ah tapi dianggapnya sebagai bid’ah, kedua: kemungkinan termasuk bid’ah tentu saja sayyi’ah tetapi tidak mengetahui keburukannya. Jadi setiap perkara yang dianggap bid’ah hasanah maka kemungkinannya dua hal tersebut. Hal ini juga dipertegas dengan sabda Rasulullah SAW yang lain: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang baru yang tidak merupakan ajarannya maka ia tertolak.” (HR. Muttafaqun ‘alaih). 3. Siapakah Ahlussunnah Wal Jama’ah Ahlussunnah wal jama’ah adalah mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Disebut ahlussunnah karena kuatnya mereka berpegang teguh dan ber ittiba’ (mengikuti) sunnah Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya. Assunnah adalah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh pada apa yang dilaksanakan oleh Nabi SAW dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa I’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah assunnah yang sempurna. Oleh karenanya generasi salaf terdahulu tidak menamakan assunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Sedangkan jama’ah berarti generasi pertama dari kalangan sahabat Rasulullah SAW, tabi’in, tabi’ut tabiin, serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebenaran dan kebaikan sampai hari qiyamat, karena berkumpul di atas kebenaran. Disebut al-jama’ah karena mereka bersatu di atas kebenaran. Tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jamaah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah (generasi terdahulu yang berpegang pada assunnah). Sehingga dapat disimpulkan bahwa ahlussunnah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti sunnah Nabi SAW dan menjauhi perkara-perkara bid’ah dan perkara-perkara baru dalam agama. Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah telah digunakan oleh generasi salaf sebagai istilah mutlaq sebagai lawan kata ahlul bid’ah. Aqidah mereka adalah akidah yang sesuai dengan aqidah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Tidak melakukan takwil, tidak menshifati Allah dengan sifat-sifat yang dibuat-buat selain shifat-shifat yang memang sudah ada dalam Al-Qur’an, tidak membagi tauhid menjadi tauhid asma’, shifat, dan af’al, tidak melakukan tasybih (menyerupakan) Allah SWT dengan selain-Nya dan lain sebagainya. Para ulama’ ahlussunnah menulis penjelasan tentang aqidah ahlussunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan ahlul bid’ah. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi sera yang lainnya. Ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwwa istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah pertama kali digunakan oleh golongan Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah timbul pada abad ketiga dan keempat hijriyyah. Bahkan pada hakikatnya, asy’ariyyah tidak dapa dinisbahkan kepada ahlussunnah wal jama’ah, karena beberapa perbedaan prinsip yang mendasar dengan aqidah salafusshalih , di antaranya: 1. Golongan Asy’ariyah mentakwil sifat-sifat Allah SWT sedangkan ahlussunnah menetapkan sifat-sifat Allah SWT sebagaimana ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperi sifat istiwa’, wajah, tangan, Al-Qur’an kalamullah, dan lain sebagainya. 2. Golongan Asy’ariyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan ahlussunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana Imam syafi’I ketika mencela ilmu kalam. 3. Golongan Asy’ariyyah menolak kabar-kabar yang sahih tentang sifat-sifat Allah SWT, mereka menolaknya dengan akal dan qiyas (analogi) mereka . Bahkan golongan Asy’ariyyah dan golongan-golongan yang menyerupai mereka seperti mu’tazilah, qadariyah, jabariyah dan lain sebagainya adalah golongan yang telah tergelincir dari golongan yang benar yang sesuai dengan salafusshalih. Bahkan sebagian ulama’ mengenggap mereka telah melakukan perbuatan syirik karena menisbatkan sesuatu yang tidak layak kepada Allah SWT . 4. Keluarnya wanita dengan wajah terbuka dan kedua tangan (bahkan kedua kakinya adalah haram Wanita haram keluar rumah dengan wajah terbuka dan kedua tangannya bahkan kedua kakinya juga terbuka. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa Nampak daripadanya.”(QS. An-Nur: 31). Dalam firman Allah SWT di atas jelaslah bahwa kaum wanita tidak boleh keluar dari rumahnya dengan memperlihatkan auratnya. Sedang aurat wanita menurut klasifikasi yang dilakukan oleh para ulama’ adalah: 1. Aurat perempuan merdeka dalam sholat adalah seluruh anggota badannya kecuali muka dan kedua telapak tangannya. 2. Aurat perempuan merdeka diluar sholat dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya adalah seluruh anggota badannya termasuk muka dan kedua telapak tangannya. 3. Aurat perempuan budak dalam sholat dan dihadapan mahramnya adalah antara pusar dengan lutut, sedang auratnya diluar sholat dihadapan laki-laki bukan mahramnya adalah seluruh anggota badannya termasuk muka dan kedua telapak tangannya . Berdasarkan klasifikasi diatas maka aurat yang wajib ditutup oleh seorang wanita baik ia bersetatus merdeka maupun seorang budak adalah seluruh anggota badannya termasuk muka dan kedua telapak tangannya. Walaupun sebagian ulama’ menafsirkan bahwa apa yang biasa tampak daama ayat tersebut maksudnya adalah muka dan telapak tangan ttetapi melihat kondisi sekarang maka seorang perempuan tetap dihukumkan haram keluar dari rumahnya dengan tidak menutup auratnya termasuk muka dan telapak tangannya. Berikut keterangan dari kitab Al-Bajuri: Yakni pada segala sesuatu pada diri wanita yang bukan mahramnya walaupun budak termasuk wajah dan kedua ttelapak tangannya. Maka haram melihat paa semuanya itu walaupun tidak disertai syahwat ataupun kekhawatiran timbulnya fitnah sesuai pendapat yang shahih sebagaimana yang ttertera dalam kitab al-minhaj dan lainnya. Pendapat lain mengatakan tidak haram sesuai dengan firman Allah:”dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak dari padanya.” Yang ditafsirkan dengan wajah dan telapak tangan. Pendapat yang pertama (mengharamkan) lebih sahih, dan tidak perlu mengikuti pendapat yang kedua terutama pada masa kita sekarang ini dimana banyak wanita keluar di jalan-jalan, dan pasar-pasar. Keharaman ini juga mencakup rambut dan kuku . 5. Berdalilkan darurat untuk membolehkan keluarnya wanita dengan membuka aurat hukumnya haram Haram hukumnya menggunakan alasan darurat untuk membolehkan wanita keluar dari rumahnya dengan membuka aurat, karena menutup aurat waktu keluar itu, tidak membahayakan dirinya. Karena darurat yang membolehkan menjalankan larangan itu, apabila ttidak mengerjakan larangan, dapat membahayakan diri, atau mendekati bahaya. Berikut keterangan dalam kitab Al-Asybah Wan Nazha’ir karangan Imam as-Suyuthi ra: “Keadaan darurat dapat menghalalkan segala hal yang dilarang tanpa pengurangan. Disebutkan pula, darurat itu adalah bila sudah sampai pada batas jika tidak memakan apa yang dilarang itu, maka ia akan mati atau sekarat. Dalam hal ini diperbolehkan memakan yang haram . Maka kedaruratan yang dianggap sebagai tuntutan untuk tidak mengenakan jilbab ketika keluar rumah karena tuntutan profesi dan lain sebagainya adalah tuntutan yang mengada-ada . Apalagi yang kemudian mengumbar auratnya dengan alasan bahwa jilbab dan busana muslimah yang menutup aurat sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman dan sudah tidak sesuai dengan zaman modern sekarang ini. 6. Barang Wakaf Tidak Boleh Dijual Sekalipun Sudah Rusak Barang-barang yang sudah diwakafkan sepenuhnya menjadi hak milik Allah SWT, sehingga tidak boleh diganggu gugat. Hal ini berarti tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa sabda Rasulullah SAW: “Bahwasanya Umar bin Khatab ra mewakafkan sebidang tanah yang ia dapatkan dari ghanimah perang khaibar atas perintah Rasulullah SAW. Dan ia menentukan beberapa syarat, antara lain bumi tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh diwarisi, tidak boleh dihibahkan, dan bagi orang yang mengurusinya boleh makan daripadanya secara baik-baik serta boleh member temannya makan daripadanya dengan tanpa minta imbalan hartanya. (HR. Muttafaqun ‘alaih). IV. KESIMPULAN Dari paparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Pemahaman keIslaman menjadi beragam karena berbeda sudut pandang dan pendekatan yang digunakan dalam menggali fdan memahami ajaran Islam tersebut. 2. Pemahaman tekstual adalah pemahaman yang seharusnya menjadi rujukan pertama dalam memahami nash-nash hukum sehingga tidak sembarangan dalam mengistinbat hukum. 3. Nash-nash hukum terbatas sementara permasalahan manusia tidak terbatas maka perlu ada penafsiran terhadap nash-nash tersebut tetapi tetap dalam kerangka piker yang benar sehingga penafsiran tersebut tidak menjadi penafsiran yang liar dan radikal. 4. Pendekatan literal terkadang akan mengakibatkan kesulitan dalam beragama (haraj) sehingga perlu digunakan pendekatan lain dalam memahami teks-teks atau nash syariat. 5. Pendekatan secara tekstual sering membuat sesorang merasa benar sendiri dan cenderung menyalahkan pendapat orang lain dan bahkan sampai mengkafirkan orang lain.   Daftar Pustaka 1. Ahkamul Fuqaha’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, penerjemah Prof. Dr. Jamaluddin Miri, MA. Penerbit: Khalista Surabaya, 2010. 2. Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah, Syaikh Muhammad Bin Salih Al-Utsaimin, Penerbit: Department Agama dan Wakaf KSA, 2007 3. I’anatuttholibin Syarah Fathul Mu’in, Syaikh Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha, Penerbit: Darul Ilmi Surabaya, tt 4. Syarah Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, Penerbit: Pustaka Imam Syapi’I Jakarta, 2009 5. Dinamika Baru study Islam, Masdar Hilmy, MA dkk. Penerbit: Arkola Surabaya 2005. 6. Kasyifatussaja Syarah Safinatinnaja, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Penerbit: Al-Hidayah Surabaya tt 7. At-Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Penerbit: Departemen Agama dan Wakaf KSA, 2000 8. Falsafah Hukum Islam. Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Asshiddiqie. Penerbit: Rizki Putra Semarang. 2001 9. Islam dan Modernisme, Maryam Jameelah. Penerbit : Usaha Nasional Surabaya. 1989 Makalah (Revisi) PENDEKATAN TEKSTUAL (LITERAL) DALAM PEMAHAMAN TEKS-TEKS KEISLAMAN DAN POSISINYA DALAM STUDY ISLAM Oleh: HURNAWIJAYA DISUSUN SEBAGAI BAHAN DISKUSI KELAS MATA KULIAH PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM DOSEN PENGAMPU: DR. MIFTAHUL HUDA, MA PROGRAM PASCASARJANA (S2) KONSENTRASI AL-AHWAL SYAKHSIYYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM 2012

No comments:

Post a Comment