Monday 16 September 2013

MENATA PENDIDIKAN INDONESIA

Menata Kembali Pendidikan Indonesia : Aktualisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Tentang Konsep Pendidikan Ideal. Prolog Bayangkan jika seandainya Bapak pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara berkirim surat kepada kita pada zaman ini, apakah kira-kira yang akan ditulisnya? Apakah kebanggaan bahwa kita telah merdeka enam setengah dasa warsa lebih dan telah mengalami beberapa fase dari orde lama, orde baru, sampai orde reformasi sekarang ini, Apakah decak kagum pada putra dan putri negeri ini yang meraih juara pada olympiade sains tingkat dunia, Apakah tentang pendidikan gratis yang dicanangkan pemerintah, ataukah tentang tingginya standar nilai Ujian Nasional untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain? Rasanya tidak. Ki Hadjar Dewantara barangkali akan menyampaikan kesedihan dan keperihatinan beliau pada pendidikan yang carut-marut, sistem ujian naional (UN) yang amburadul, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rata-rata kelas lima Sekolah Dasar. Beliau barangkali akan menyalahkan kita tentang sistem Ujian Nasional yang melahirkan dehumanisasi atau tentang peringatan Hari Pendidikan Nasional yang dirayakan dengan upacara bendera dan even-even lainnya setiap tahun namun tidak memberikan perubahan menuju kemajuan pendidikan itu sendiri. Bahkan barangkali beliau akan menulis kritik sambil tersenyum sinis menyaksikan generasi penerusnya yang terlalu sibuk mengurus suksesi kepemimpinan sampai tidak sempat untuk menyisihkan waktu dengan serius untuk mengurus negara dalam ’mencerdaskan kehidupan berbangsa’. Paragraf awal surat beliau mungkin akan diawali dengan pertanyaan ”Dimana tanggung jawab kalian memajukan dunia pendidikan negeri yang telah menjamin warganya untuk mendapat pendidikan yang layak? Lalu kira-kira paragrap terakhir beliau akan berisi himbauan ” kembalikan ruh pendidikan sesuai dengan esensi budaya negeri ini ”. Jika surat itu datang ke rumah kita, masihkah kita akan menganggap bahwa anak yang cerdas adalah yang selalu rangking dikelasnya, atau menganggap bahwa kualitas sekolah ditentukan oleh juara-juara yang diraih dalam lomba-lomba antar sekolah, atau mengasumsikan bahwa pendidikan ditentukan oleh tingkat kecerdasan intelektual? Atau jika surat itu datang di meja kerja para pengambil kebijakan negeri ini, masihkah mereka akan mengatakan bahwa kemajuan bangsa ini terindikator dari 100% kelulusan dengan standar nilai Ujian Nasional yang begitu tinggi? Potret Buram Wajah Pendidikan Indonesia Indonesia menangis! Negeri yang pernah di juluki the sleeping giant from Asia, kini tengah terpuruk di segala bidang. Di bidang pendidikan Indonesia jauh terpuruk dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia bahkan di antara negara-negara Asia Tenggara. Carut-marut dunia pendidikan di Indonesia terindikasi dari mandulnya out put yang dihasilkan. Semakin banyak sarjana semakin menambah daftar panjang pengangguran intelektual negeri ini. Pendidikan yang semulanya dihajatkan sebagai sesuatu yang akan mempertinggi harkat kemanusiaan gagal mencapai visinya. Ditambah lagi dengan kian meluasnya perdagangan pendidikan demi kepentingan segelintir orang yang mengakibatkan rakyat kecil menjadi korban keserakahan dari komersialisasi pendidikan. Jaminan akan pendidikan yang layak bagi masyarakat kecil sesuai dengan amanat undang-undang hanyalah isapan jempol semata. Belum lagi jika berbicara hilangnya tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan negeri ini. Pasca lahirnya otonomi dan desentralisasi pendidikan yang memberikan hak sepenuhnya kepada setiap lembaga pendidikan dari tingkat bawah sampai perguruan tinggi untuk mencari dana sendiri, menyebabkan banyak anak negeri termaginalkan dan kehilangan kesempatan untuk menikmati bangku pendidikan. Liberalisasi pendidikan yang dicanangkan sebagai langkah awal untuk memandirikan dunia pendidikan malah menjelma menjadi semacam legitimasi untuk melegalisasi setiap tindakan lembaga pendidikan untuk menperdagangkan pendidikan. Lahirlah istilah Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang berfungsi mengatur jalannya lembaga pendidikan sesuai dengan prinsip ekonomi Adam Smith untuk mengeruk keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Akibatnya lahirlah gap dan ketimpangan sosial, bagi yang kaya, cerdas dan berpendidikan akan dengan mudahnya melejit ketampuk kekuasaan, hidup sejahtera dan menjadi penguasa yang dengan mudahnya melakukan ekploitasi besar-besaran terhadap kelompok lain yang lemah, sedang yang miskin dan tak berdaya akan tersingkir dan hanya bisa menggigit jari menyaksikan setiap ketidakadilan yang menimpa mereka. Pendidikan hanyalah mimpi bagi mereka. Sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, bahkan di Era Reformasi ini dunia pendidikan seakan mengalami stagnansi yang membuat pendidikan jalan ditempat bahkan cenderung mengalami kemunduran. Bahkan berdasarkan evaluasi Djohar (2003), selama ini pendidikan kian jelas tidak berhasil melakukan pendewasaan diri terhadap anak didiknya. Lembaga pendidikan di bumi pertiwi ini gagal melakukan penataan pranata sosial yang mampu membangun karakter bangsa indonesia sesuai dengan nilai-nilai normatif kebangsaan yang ideal. Justru yang yang terbangun adalah prilaku elit negeri yang bertolak belakang dengan nilai sosial dan kehendak masyarakat. sehingga adalah wajar jika UNDP (United Nation Development Program) pada tahun 2000 mengumumkan kualitas pendidikan Indonesia dalam Indeks Pembangunan Kemanusiaan (Human Development Index) berada pada peringkat 109, sementara Singapura , Malaysia, Filifina dan Thailand berada di angka ke-24 hingga 34. (Muh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia : 2009) Indikasi lain betapa buruknya kualitas pendidikan Indonesia adalah ketertinggalan yang jauh di bawah negara-negara Asia yang lain. Pada era tahun 1970-an Malaysia menginfor tenaga guru dari indonesia dan mengadopsi model pendidikan Indonesia. Kini pendidikan Indonesia jauh berada di bawah negara tersebut. Bahkan Times mengumumkan survey bahwa Indonesia pada tahun 2008 berada pada urutan 134 dari 200 negara Asia yang diteliti, dua tingkat di atas Vietnam yang baru merdeka sedang Malaysia berada di urutan ke 69. (Ki Supriyoko, dlm.: Pelita, 18 Mei 2009) Kalau kita mengadakan introspeksi setidaknya ada tiga hal pokok yang menyebabkan pendidikan Indonesia terpuruk antara lain : 1. Pendidikan Dijadikan Komoditas Politik Realitas pendidikan di Indonesia membuktikan bahwa pendidikan selalu diarahkan untuk membenarkan kepentingan penguasa dan kroni-kroninya. Pendidikan seakan berada pada penjara kekuasaan sehingga tidak mampu meningkatkan kualitas bangsa menuju pembangunan yang konstruktif bahkan cenderung destruktif. Pada masa orde lama pendidikan sebenarnya memiliki peluang untuk berkembang dengan baik. Hal tersebut tercermin dari peran pendidikan pada masa itu untuk menyalakan semangat merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjadikan masyarakat sadar bahwa mereka sedang terjajah. Hanya saja pendidikan terintimidasi oleh hegemoni kolonial dan para penjajah sehingga tidak terekpresikan secara penuh. Kendala lainnya adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengenal dunia pendidikan dan rendahnya tingkat perekonomian sehingga boleh dikatakan bahwa pendidikan pada masa orde lama adalah fase pengenalan awal pendidikan kepada masyarakat yang telah terbelenggu rantai penjajahan selama tiga setengah abad lebih. Pada masa inilah lahir tokoh-tokoh pendidikan yang sebenarnya telah merumuskan konsep-konsep pendidikan sesuai dengan corak budaya negeri ini. Lahirlah tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’arie, Hajji Agus Salim dan lain sebagainya sebagai para Founding Father pendidikan Indonesia. Bahkan yang disebut pertama dianggap sebagai bapak pendidikan Indonesia. Sayangnya, konsep-konsep yang digagas tersebut mulai terdegradasi seiring pergantian resim pemerintahan yang mulai menjadikan pendidikan sebagai salah satu komoditas politik untuk mempertahankan kekuasaan. Contoh riil adalah lahirnya beberapa kebijakan pendidikan yang cukup elitis dan merugikan bangsa ini. Era orde Baru membawa pendidikan demi kepentingan para pemodal. Pendidikan ditujukan untuk mencetak para pekerja, buruh dan para kuli yang bisa dibayar dengan upah murah. Orientasi pendidikan tidak lagi untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa tetapi malah untuk mencetak manusia yang bermental budak yang selalu tergantung kepada orang lain. Saat orde baru pula, kebebasan dalam dunia pendidikan (khususnya dunia kampus) mengalami pemasungan yang sangat durjana sehingga bangsapun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali tunduk dengan terpaksa pada resim yang berkuasa. yang lebih ironis lagi, pasca reformasi yang diharapkan mampu membawa angin segar bagi kemajuan pendidikan pada kenyataannya tidak mampu memberi secercah harapan. Keadaan pendidikan tidak beranjak dari persoalan-persoalan yang semakin parah dan menyedihkan. Pendidikan malah dijajakan secara komersial. Adanya kebijakan otonomi pendidikan untuk memberikan hak sepenuhnya kepada penyelenggara pendidikan menjadi semacam legitimasi untuk komersialisasi pendidikan. Akibatnya pendidikan menjadi komoditas yang siap diperjual belikan dengan harga yang sangat mahal. Di satu sisi, isu pendidikan selalu menjadi isu hangat di setiap suksesi kepemimpinan, ide pendidikan gratis menjadi semacam trade mark bagi semua kandidat calon pemimpin mulai dari calon Bupati, Gubernur, Anggota Legislatif bahkan para calon Presiden. Semua menyiapkan dan menjanjikan sistem pendidikan yang lebih baik. Pada kenyataannya ketika tampuk kekuasaan telah mereka dapatkan janji-jani politik tersebut menguap begitu saja bagai embun pagi yang terkena cahaya mentari pagi. 2. Pendidikan yang Terjebak Pada Konsep Barat Salah satu penyebab kehancuran pendidikan negeri ini menurut Buana (2009) adalah pendidikan yang mengadopsi sistem pendidikan barat yang materialis kapitalis yang hanya mengandalkan akal dan logika untung rugi. Out put pendidikan hanya diukur dari tingkat kecerdasan dan hasil belajar siswa berupa catatan niali-nilai. Sistem pendidikan kita juga terlalu berorientasi pada target. Pendidikan dijadikan menjadi semacam perlombaan untuk mengejar target baik target kurikulum mapun target kelulusan dan lain sebagainya. (Buana, Rekonstruksi Pendidikan Indonesia :2009) Sebagai ilustrasi, di jenjang pendidikan dasar dan menengah (SD, SLTP, dan SMA) orientasi target itu terindikasi dari penetapan standar nilai UN sehingga pembelajaran seakan dilakukan hanya untuk mengejar target kelulusan. Terjadilah beragam fenomena yang memilukan bahkan memalukan. Mulai dari pembocoran soal, kepala sekolah yang memberikan uang kepada tim pemantau yang dikamuplase dalam bentuk uang transport, uang jajan dan lain sebagainya sampai pada membentuk ’tim sukses’ untuk meluluskan siswa dengan cara menyewa tenaga untuk menjawab soal-soal yang diujikan. Di sinilah awal gagalnya pendidikan menghasilkan generasi yang jujur dan patut dibanggakan. Di satu sisi pendidikan harus terdiri dari tiga aspek pokok yaitu psikomotorik, kognitif, apektif yang berarti bahwa pendidikan tidak hanya untuk otak dan pikiran tetapi juga untuk hati dan perasaan, namun pada praktiknya aspek yang menentukan hanyalah psikomotorik (baca:kemampuan siswa dalam menjawab soal ujian nasional) tanpa peduli jawaban tersebut darimana dan bagaimana cara memperolehnya. Dalam proses pembelajaran guru dengan lantang berteriak untuk selalu jujur dan bertanggung jawab namun ketika ujian nasional kejujuran tersebut seakan menjelma menjadi sesuatu yang teramat langka. Bahkan dengan terang-terangan para guru meberikan contoh dengan tingkah laku yang destruktif. Dalam proses pembelajaran juga guru selalu dituntut untuk menghabiskan seluruh target kurikulum sehingga guru cenderung menjejali siswa dengan materi pelajaran yang harus dikuasai. Hal ini terpaksa dilakukan oleh guru karena jika sampai akhir tahun ajaran target kurikulum belum terpenuhi maka guru dinilai tidak becus mengajar karena tidak bisa memenuhi target kurikulum. 3. Melupakan Jati Diri Bangsa Pendidikan yang sejatinya merupakan proses pembentukan moralitas masyarakat beradab yang tampil dengan wajah kemanusiaan yang bertanggung jawab terhadap realitas di sekitarnya. Karena itulah pendidikan harus mampu berperan sebagai wahana untuk mempersiapkan manusia-manusia yang akan mampu untuk hidup secara mandiri dengan bertumpu pada kaki sendiri sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dimana tempatnya tinggal. Artinya hasil sebuah lembaga pendidikan idealnya harus sesuai dengan apa yang akan digeluti nantinya setelah menyelesaikan jenjang pendidikan. Seharusnya kurikulum disusun sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Standar kelulusan juga seharusnya ditetapkan oleh daerah bersangkutan sehingga sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan dan kondisi tiap-tiap daerah. Seharusnya otonomi pendidikan (desentralisasi) betul-betul menjadi suatu kesempatan bagi daerah untuk mengemas pendidikian sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Di sinilah sesuatu yang paradoks terjadi, konsep desentralisasi pendidikan menjadi tidak jelas manakala daerah seolah tidak siap untuk mengatur pendidikan secara absolut. Akhirnya kita masih menyaksikan sentralisasi kebijakan, atau lebih tepatnya, resentralisasi yang kurang disadari atau memang sudah disadari, tetapi seolah sengaja tidak menyadari hal tersebut. Benny Susetyo berpendapat bahwa otonomi pendidikan merupakan desentralisasi setengah hati ketika di lapangan terjadi tarik menarik antara kewenangan pusat dan daerah. Kita merasakan adanya ketidakrelaan pusat secara penuh menyerahkan kewenangannya dan merasakan pula ketidaksiapan daerah baik kelembagaan maupun kebijakan. (Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa :2005). Contoh yang paling nyata adalah penentuan keluslusan Ujian Nasional Tingkat SD, SLTP, dan SLTA atau sederajat yang sangat rancu. Dalam konteks ini, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pemerintah menetapkan bahwa kelulusan meliputi tiga hal ; Pertama adalah evaluasi belajar siswa yang ditentukan oleh sekolah. Kedua adalah prilaku siswa, dan ketiga adalah hasil akhir yang dijalani melalui ujian nasional (UN) . Secara ideal, hal itu sangat menjadi harapan. Namun dalam konteks kenyataan, kendatipun para siswa sudah lulus baik poin pertama dan poin kedua, tetapi gagal pada poin ketiga, maka mereka dinyatakan gagal total alias tidak lulus. Akan tetapi apabila siswa lulus pada poin ketiga, sedang pada poin pertama dan kedua gagal, siswa tetap dinyatakan berhasil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah konsisten pada ketidakkonsistenan. Contoh lainnya adalah pembuatan kurikulum yang juga diarahkan kepada daerah-daerah untuk menentukan seberapa besar materi muatan lokal yang akan diakomodasi dan seberapa banyak materi yang memuat materi nasional, itupun masih sekedar teori di atas kertas yang tidak pernah teraplikasi sama sekali. Artinya pemerintah belum memberikan kewenangan secara penuh kepada daerah untuk mendesain kurikulum sesuai dengan kebutuhan maupun corak sosiokultural daerah masing-masing. Jadilah desentralisasi pendidikan sekadar simbol tanpa aplikasi secara konkret. Sehingga jati diri pendidikan sesuai dengan karakteristik bangsa hanyalah teori belaka. Ketiga hal inilah yang telah mewariskan kehancuran pada sitem pendidikan kita. Kita terlalu asyik menggunakan kacamata orang lain sampai kita melupakan kacamata kita sendiri. Belum lagi ditambah dengan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah sehingga sekolah menjadi semacam kelinci percobaan para menteri pendidikan yang setiap kali berganti diganti pula sistem pendidikan yang dipakai. Bercermin Pada Realitas : Aktualisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Ki Hajdar Dewantara pernah menyatakan pendidikan menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme guna memperjuangkan kepentingan bangsa di atas kepentingan-kepentingan politik yang kerdil dan sempit yang kemudian hanya mengorbankan bangsanya. Pendidikan itu berupaya sekuat tenaga menanamkan rasa persaudaraan, persamaan dan kesetiakawanan dan kebersamaan hidup senasib seperjuangan, membela bangsa dalam segala bentuk penindasan baik secara fisik maupun psikis. Tidak perduli apakah penindasan tersebut berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri. Pendidikanpun bermuara guna melahirkan rasa mencintai segala aset bangsa agar dijaga dengan segala cara agar dapat dimanfaatkan bagi kebesaran dan kemakmuran bangsa.(Muh. Yamin, Ibid : 2009) Secara kasat mata dapat kita simpulkan bahwa inti konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara amatlah simpel. Yaitu menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme, membela tanah air dari kolonialisasi fisik maupun psikis, dan menjaga semua aset bangsa untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama segenap elemen bangsa. Sudah saatnya para pengambil kebijakan negeri ini merenungkan kembali ciri esensial pendidikan. Gagasan yang ditelurkan oleh Ki Hadjar Dewantara sebenarnya sudah cukup untuk menjadi semacam problem solving dari carut-marutnya dunia pendidikan negeri ini. R.M. Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak pendidikan Indonesia telah merumuskan konsep yang jelas yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh Indonesia yang notabene memegang teguh norma-norma ketimuran. Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara memiliki arti dan makna mendalam sebagai pemelihara dan pengembang benih-benih persatuan dan kesatuan bangsa yang telah dirintis oleh para pendahulu bangsa Indonesia menuju negara yang besar, berdaulat, berharkat dan bermartabat. (Muharrir Alwan, Moralitas Pendidikan :2007) Menurut beliau pendidikan bertujuan menanamkan nilai-nilai hidup rukun dan damai di antara semua elemen bangsa, tanpa memandang kelas sosial apapun, baik ras, suku, agama, adat dan lain seterusnya. Sehingga menurut Ki Hadjar Dewantara konsep pendidikan yang dibangun dan dikerjakan oleh barat yang lebih menekankan pada akal semata, namun menegasikan akal budi guna mempertajam kepekaan sosial terhadap sesama anak-anak bangsa, merupakan suatu hal yang harus ditinggalkan karena konsep pendidikan seperti itu merusak kehidupan berbangsa di negeri ini. Ki Hadjar menyampaikan bahwa konsep pendidikan yang sesuai dengan budaya Indonesia adalah pendidikan yang dapat memanusiakan manusia indonesia seutuhnya. Bukan sekedar membentuk otak-otak cerdas dan berintelektual tinggi tetapi untuk membentuk insan-insan yang disamping pintar juga selalu mengutamakan kebenaran. Orientasi pendidikan seharusnya bukan pada peringkat dan juara pada berbagai kompetisi dan kejuaraan. Sehingga seharusnya kita tidak meributkan soal rendahnya nilai-nilai yang diperoleh sisiwa dalam ujian tetapi tidak pernah ribut kalau ada siswa yang suka mencontek, guru tidak mendidik dengan kasih sayang atau dosen tidak mengajar secara ikhlas dan lain sebagainya. Yang terpenting dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah memperkuat penanaman nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa sendiri secara masip dalam kehidupan anak didik yang beliau sebut sebagai sistem among, yakni suatu sistem pendidikan yang berlangsung dalam suasana kekeluargaan dengan pendidik sebagai orang tua dan peserta didik sebagai anak. Pendidikan itu dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerelly), kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual) dan suasana kekeluargaan (family atmosphere). Moral pendidik bukanlah sebagai atasan kepada bawahan atau seorang raja kepada para prajutitnya. Semestinyalah rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan dan kekeluargaan itulah yang kita ributkan karena kini telah hilang. (Ki Supriyoko, Mengembalikan Roh Pendidikan :2009) Sistem among ini mengemukakan dua prinsip dasar yaitu kemerdekaan dan kodrat alam. Kemerdekaan menjadi syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan bathin sehingga hidup selalu merasa merdeka dan lepas dari tekanan-tekanan dari siapapun. Kemerdekaan inilah yang menjadi ruh dari rasa kasih sayang dan suasana kekeluargaan dalam sistem among. Sedang kodrat alam adalah syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya tanpa meninggalkan jati diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi etika dan tata krama. Kodrat alam inilah yang menjiwai rasa keikhlasan, kejujuran, dan nilai-nilai keagamaan. Ada juga hal yang cukup menarik yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara yang merupakan sumbangsih besar beliau pada dunia pendidikan terkait Taman Siswa yang beliau dirikan sebagai bagian dari perjuangan pendidikan negeri ini, yaitu apa yang disebut sebagai Panca Dharma yang merupakan lima poin penting yang disusun pada 1947 yang kemudian lebih dikenal dengan ”Asas-Asas 1922”, yang berisi : asas kemerdekaan yang mencirikan bangsa yang memiliki keinginan kuat untuk merdeka dan mengisi kemerdekaan, asas kodrat alam yang mencirikan bangsa yang memegang teguh nilai-nilai alamiah dan fitrah alam untuk selalu dijaga dan dipelihara, asas kebudayaan yang mencirikan bangsa yang berpegang teguh pada nilai-nilai budaya untuk tetap dilestarikan tanpa terpengaruh oleh budaya-budaya bangsa asing yang dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara., asas kebangsaan yang mencirikan bangsa yang mengutamakan persatuan dan kesatuan demi tetap utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan asas kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme tanpa membedakan suku, agama, ras dan adat-istiadat. Ki Hadjar Dewantara yang memiliki latar belakang dan kelahiran Indonesia sebagaimana ditulis Muh.Yamin dalam Pendidikan di Ujung Tanduk Kekuasaan (2007), beliau sangat menginginkan bahwa pendidikan Indonesia harus mencerminkan nilai-nilai kebangsaan sendiri, jangan meniru bangsa-bangsa lain karena berbeda perspektif dan kultur budaya. Dengan kata lain, sistem dan pelaksanaan pendidikan harus bertumpu pada penguatan nalar berpikir yang bermoral, beradab dan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kepentingan bangsa di atas kepentingan individu dan golongan. Masih menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan Indonesia juga hendaknya melibatkan tiga kompenen penting pendidikan yang beliau istilahkan sebagai trilogi pendidikan yaitu keluarga (orang tua), sekolah (guru/pengelola sekolah) dan lingkungan (pemerintah/masyarakat). Ketiga unsur ini harus saling bahu membahu dalam menciptakan iklim pendidikan sesuai dengan yang diamanatkan dalam undang-undang dalam rangka mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Tidak kalah pentingnya dalam proses pendidikan adalah para guru yang harus melaksanakan sistem among tersebut. Para guru yang bisa memerankan fungsinya secara baik disebut pamong. Para pamong ini seharusnya memiliki tiga ajaran utama kepemimpinan menurut Ki Hadjar Dewantara yang populer di kalangan masyarakat dalam bahasa jawa yaitu ing ngarso sun tulodo, ing madyo ’mbangun karso, tut wuri handayani atau didepan mampu memberi suri tauladan, di tengah-tengah mampu memberikan motivasi dan semangat serta dari belakang mampu memberikan dorongan untuk maju. Secara tegas dalam pengertian ini, seorang pemimpin (guru/pamong) harus memiliki ketiga sifat tersebut agar bisa menjadi panutan bagi anak didiknya. Karena para guru memang berfungsi untuk digugu dan ditiru. Jadi, seorang pamong (guru) yang baik adalah yang tidak hanya dapat memberikan tauladan tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral agar anak didik bisa melakukan pembelajaran dan tanggung jawab sebagai siswa secara tulus dan tanpa paksaan, tanpa tekanan maupun ancaman dari siapapun. Menata Kembali Dunia Pendidikan Indonesia Pendidikan di Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa seiring perjalanan waktu dan pergantian resim yang berkuasa di negeri ini. Pada masa Orde Lama pendidikan di arahkan ke arah sistem sosialis, yang memberikan prinsip dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial baik kelas atas, menengah maupun kelas bawah. Di masa Orde Baru pendidikan di arahkan sebagai alat pembenaran terhadap segala kebijakan penguasa tanpa memberikan sedikitpun ruang untuk berpendapat dan mengekpresikan diri dengan kebebasan. Dan pada Era Reformasi ini pendidikan belum beranjak dari keterpurukan. Pendidikan diletakkan dalam paradigma kapitalis yang menganggap pendidikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan dengan harga yang sangat mahal yang pada akhirnya akan melahirkan komersialisasi pendidikan. Sehingga hanya akan dapat dikenyam oleh sebagian kecil orang dan golongan tertentu saja. Maka sudah saatnya dunia pendidikan melakukan pembenahan secara menyeluruh untuk kembali memajukan pendidikan. Bukankah konsep-konsep pendidikan sudah jelas. Bapak pendidikan Negeri ini telah memberikan satu konsep yang sangat cukup untuk memajukan pendidikan pertanyaannya hanya satu ; ”maukah kita untuk berubah ?”. Jika jawabannya ”iya” maka sudah selayaknya kita mulai sedikit-demi sedikit, mulai dari hal-hal yang kecil dan muali saat ini juga. Epilog ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya”, maka jika masih tersisa hati nurani sudah saatnya penghargaan kepada pahlawan pendidikan negeri ini kita persembahkan dengan menelisik kembali kearifan yang di wariskan menuju kehidupan berbangsa yang lebih baik pada hari esok. Penghargaan tersebut kita lakukan dengan menyampaikan cita-cita pendidikan yang beliau tinggalkan. Cita-cita untuk memajukan pendidikan sesuai dengan budaya dan karakter penduduk negeri ini yaitu pendidikan yang tidak hanya mengutamakan kecerdasan intelektualisme tetapi juga moral dan tata krama. Mengadopsi sistem pendidikan orang lain yang sesuai kiranya penting, namun kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan rasa kekeluargaan dalam pendidikan kiranya jauh lebih penting. Sudah saatnya kita kembali ke pendidikan indonesia!.

MENATA PENDIDIKAN INDONESIA

Menata Kembali Pendidikan Indonesia : Aktualisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Tentang Konsep Pendidikan Ideal. Prolog Bayangkan jika seandainya Bapak pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara berkirim surat kepada kita pada zaman ini, apakah kira-kira yang akan ditulisnya? Apakah kebanggaan bahwa kita telah merdeka enam setengah dasa warsa lebih dan telah mengalami beberapa fase dari orde lama, orde baru, sampai orde reformasi sekarang ini, Apakah decak kagum pada putra dan putri negeri ini yang meraih juara pada olympiade sains tingkat dunia, Apakah tentang pendidikan gratis yang dicanangkan pemerintah, ataukah tentang tingginya standar nilai Ujian Nasional untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain? Rasanya tidak. Ki Hadjar Dewantara barangkali akan menyampaikan kesedihan dan keperihatinan beliau pada pendidikan yang carut-marut, sistem ujian naional (UN) yang amburadul, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rata-rata kelas lima Sekolah Dasar. Beliau barangkali akan menyalahkan kita tentang sistem Ujian Nasional yang melahirkan dehumanisasi atau tentang peringatan Hari Pendidikan Nasional yang dirayakan dengan upacara bendera dan even-even lainnya setiap tahun namun tidak memberikan perubahan menuju kemajuan pendidikan itu sendiri. Bahkan barangkali beliau akan menulis kritik sambil tersenyum sinis menyaksikan generasi penerusnya yang terlalu sibuk mengurus suksesi kepemimpinan sampai tidak sempat untuk menyisihkan waktu dengan serius untuk mengurus negara dalam ’mencerdaskan kehidupan berbangsa’. Paragraf awal surat beliau mungkin akan diawali dengan pertanyaan ”Dimana tanggung jawab kalian memajukan dunia pendidikan negeri yang telah menjamin warganya untuk mendapat pendidikan yang layak? Lalu kira-kira paragrap terakhir beliau akan berisi himbauan ” kembalikan ruh pendidikan sesuai dengan esensi budaya negeri ini ”. Jika surat itu datang ke rumah kita, masihkah kita akan menganggap bahwa anak yang cerdas adalah yang selalu rangking dikelasnya, atau menganggap bahwa kualitas sekolah ditentukan oleh juara-juara yang diraih dalam lomba-lomba antar sekolah, atau mengasumsikan bahwa pendidikan ditentukan oleh tingkat kecerdasan intelektual? Atau jika surat itu datang di meja kerja para pengambil kebijakan negeri ini, masihkah mereka akan mengatakan bahwa kemajuan bangsa ini terindikator dari 100% kelulusan dengan standar nilai Ujian Nasional yang begitu tinggi? Potret Buram Wajah Pendidikan Indonesia Indonesia menangis! Negeri yang pernah di juluki the sleeping giant from Asia, kini tengah terpuruk di segala bidang. Di bidang pendidikan Indonesia jauh terpuruk dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia bahkan di antara negara-negara Asia Tenggara. Carut-marut dunia pendidikan di Indonesia terindikasi dari mandulnya out put yang dihasilkan. Semakin banyak sarjana semakin menambah daftar panjang pengangguran intelektual negeri ini. Pendidikan yang semulanya dihajatkan sebagai sesuatu yang akan mempertinggi harkat kemanusiaan gagal mencapai visinya. Ditambah lagi dengan kian meluasnya perdagangan pendidikan demi kepentingan segelintir orang yang mengakibatkan rakyat kecil menjadi korban keserakahan dari komersialisasi pendidikan. Jaminan akan pendidikan yang layak bagi masyarakat kecil sesuai dengan amanat undang-undang hanyalah isapan jempol semata. Belum lagi jika berbicara hilangnya tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan negeri ini. Pasca lahirnya otonomi dan desentralisasi pendidikan yang memberikan hak sepenuhnya kepada setiap lembaga pendidikan dari tingkat bawah sampai perguruan tinggi untuk mencari dana sendiri, menyebabkan banyak anak negeri termaginalkan dan kehilangan kesempatan untuk menikmati bangku pendidikan. Liberalisasi pendidikan yang dicanangkan sebagai langkah awal untuk memandirikan dunia pendidikan malah menjelma menjadi semacam legitimasi untuk melegalisasi setiap tindakan lembaga pendidikan untuk menperdagangkan pendidikan. Lahirlah istilah Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang berfungsi mengatur jalannya lembaga pendidikan sesuai dengan prinsip ekonomi Adam Smith untuk mengeruk keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Akibatnya lahirlah gap dan ketimpangan sosial, bagi yang kaya, cerdas dan berpendidikan akan dengan mudahnya melejit ketampuk kekuasaan, hidup sejahtera dan menjadi penguasa yang dengan mudahnya melakukan ekploitasi besar-besaran terhadap kelompok lain yang lemah, sedang yang miskin dan tak berdaya akan tersingkir dan hanya bisa menggigit jari menyaksikan setiap ketidakadilan yang menimpa mereka. Pendidikan hanyalah mimpi bagi mereka. Sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, bahkan di Era Reformasi ini dunia pendidikan seakan mengalami stagnansi yang membuat pendidikan jalan ditempat bahkan cenderung mengalami kemunduran. Bahkan berdasarkan evaluasi Djohar (2003), selama ini pendidikan kian jelas tidak berhasil melakukan pendewasaan diri terhadap anak didiknya. Lembaga pendidikan di bumi pertiwi ini gagal melakukan penataan pranata sosial yang mampu membangun karakter bangsa indonesia sesuai dengan nilai-nilai normatif kebangsaan yang ideal. Justru yang yang terbangun adalah prilaku elit negeri yang bertolak belakang dengan nilai sosial dan kehendak masyarakat. sehingga adalah wajar jika UNDP (United Nation Development Program) pada tahun 2000 mengumumkan kualitas pendidikan Indonesia dalam Indeks Pembangunan Kemanusiaan (Human Development Index) berada pada peringkat 109, sementara Singapura , Malaysia, Filifina dan Thailand berada di angka ke-24 hingga 34. (Muh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia : 2009) Indikasi lain betapa buruknya kualitas pendidikan Indonesia adalah ketertinggalan yang jauh di bawah negara-negara Asia yang lain. Pada era tahun 1970-an Malaysia menginfor tenaga guru dari indonesia dan mengadopsi model pendidikan Indonesia. Kini pendidikan Indonesia jauh berada di bawah negara tersebut. Bahkan Times mengumumkan survey bahwa Indonesia pada tahun 2008 berada pada urutan 134 dari 200 negara Asia yang diteliti, dua tingkat di atas Vietnam yang baru merdeka sedang Malaysia berada di urutan ke 69. (Ki Supriyoko, dlm.: Pelita, 18 Mei 2009) Kalau kita mengadakan introspeksi setidaknya ada tiga hal pokok yang menyebabkan pendidikan Indonesia terpuruk antara lain : 1. Pendidikan Dijadikan Komoditas Politik Realitas pendidikan di Indonesia membuktikan bahwa pendidikan selalu diarahkan untuk membenarkan kepentingan penguasa dan kroni-kroninya. Pendidikan seakan berada pada penjara kekuasaan sehingga tidak mampu meningkatkan kualitas bangsa menuju pembangunan yang konstruktif bahkan cenderung destruktif. Pada masa orde lama pendidikan sebenarnya memiliki peluang untuk berkembang dengan baik. Hal tersebut tercermin dari peran pendidikan pada masa itu untuk menyalakan semangat merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjadikan masyarakat sadar bahwa mereka sedang terjajah. Hanya saja pendidikan terintimidasi oleh hegemoni kolonial dan para penjajah sehingga tidak terekpresikan secara penuh. Kendala lainnya adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengenal dunia pendidikan dan rendahnya tingkat perekonomian sehingga boleh dikatakan bahwa pendidikan pada masa orde lama adalah fase pengenalan awal pendidikan kepada masyarakat yang telah terbelenggu rantai penjajahan selama tiga setengah abad lebih. Pada masa inilah lahir tokoh-tokoh pendidikan yang sebenarnya telah merumuskan konsep-konsep pendidikan sesuai dengan corak budaya negeri ini. Lahirlah tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’arie, Hajji Agus Salim dan lain sebagainya sebagai para Founding Father pendidikan Indonesia. Bahkan yang disebut pertama dianggap sebagai bapak pendidikan Indonesia. Sayangnya, konsep-konsep yang digagas tersebut mulai terdegradasi seiring pergantian resim pemerintahan yang mulai menjadikan pendidikan sebagai salah satu komoditas politik untuk mempertahankan kekuasaan. Contoh riil adalah lahirnya beberapa kebijakan pendidikan yang cukup elitis dan merugikan bangsa ini. Era orde Baru membawa pendidikan demi kepentingan para pemodal. Pendidikan ditujukan untuk mencetak para pekerja, buruh dan para kuli yang bisa dibayar dengan upah murah. Orientasi pendidikan tidak lagi untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa tetapi malah untuk mencetak manusia yang bermental budak yang selalu tergantung kepada orang lain. Saat orde baru pula, kebebasan dalam dunia pendidikan (khususnya dunia kampus) mengalami pemasungan yang sangat durjana sehingga bangsapun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali tunduk dengan terpaksa pada resim yang berkuasa. yang lebih ironis lagi, pasca reformasi yang diharapkan mampu membawa angin segar bagi kemajuan pendidikan pada kenyataannya tidak mampu memberi secercah harapan. Keadaan pendidikan tidak beranjak dari persoalan-persoalan yang semakin parah dan menyedihkan. Pendidikan malah dijajakan secara komersial. Adanya kebijakan otonomi pendidikan untuk memberikan hak sepenuhnya kepada penyelenggara pendidikan menjadi semacam legitimasi untuk komersialisasi pendidikan. Akibatnya pendidikan menjadi komoditas yang siap diperjual belikan dengan harga yang sangat mahal. Di satu sisi, isu pendidikan selalu menjadi isu hangat di setiap suksesi kepemimpinan, ide pendidikan gratis menjadi semacam trade mark bagi semua kandidat calon pemimpin mulai dari calon Bupati, Gubernur, Anggota Legislatif bahkan para calon Presiden. Semua menyiapkan dan menjanjikan sistem pendidikan yang lebih baik. Pada kenyataannya ketika tampuk kekuasaan telah mereka dapatkan janji-jani politik tersebut menguap begitu saja bagai embun pagi yang terkena cahaya mentari pagi. 2. Pendidikan yang Terjebak Pada Konsep Barat Salah satu penyebab kehancuran pendidikan negeri ini menurut Buana (2009) adalah pendidikan yang mengadopsi sistem pendidikan barat yang materialis kapitalis yang hanya mengandalkan akal dan logika untung rugi. Out put pendidikan hanya diukur dari tingkat kecerdasan dan hasil belajar siswa berupa catatan niali-nilai. Sistem pendidikan kita juga terlalu berorientasi pada target. Pendidikan dijadikan menjadi semacam perlombaan untuk mengejar target baik target kurikulum mapun target kelulusan dan lain sebagainya. (Buana, Rekonstruksi Pendidikan Indonesia :2009) Sebagai ilustrasi, di jenjang pendidikan dasar dan menengah (SD, SLTP, dan SMA) orientasi target itu terindikasi dari penetapan standar nilai UN sehingga pembelajaran seakan dilakukan hanya untuk mengejar target kelulusan. Terjadilah beragam fenomena yang memilukan bahkan memalukan. Mulai dari pembocoran soal, kepala sekolah yang memberikan uang kepada tim pemantau yang dikamuplase dalam bentuk uang transport, uang jajan dan lain sebagainya sampai pada membentuk ’tim sukses’ untuk meluluskan siswa dengan cara menyewa tenaga untuk menjawab soal-soal yang diujikan. Di sinilah awal gagalnya pendidikan menghasilkan generasi yang jujur dan patut dibanggakan. Di satu sisi pendidikan harus terdiri dari tiga aspek pokok yaitu psikomotorik, kognitif, apektif yang berarti bahwa pendidikan tidak hanya untuk otak dan pikiran tetapi juga untuk hati dan perasaan, namun pada praktiknya aspek yang menentukan hanyalah psikomotorik (baca:kemampuan siswa dalam menjawab soal ujian nasional) tanpa peduli jawaban tersebut darimana dan bagaimana cara memperolehnya. Dalam proses pembelajaran guru dengan lantang berteriak untuk selalu jujur dan bertanggung jawab namun ketika ujian nasional kejujuran tersebut seakan menjelma menjadi sesuatu yang teramat langka. Bahkan dengan terang-terangan para guru meberikan contoh dengan tingkah laku yang destruktif. Dalam proses pembelajaran juga guru selalu dituntut untuk menghabiskan seluruh target kurikulum sehingga guru cenderung menjejali siswa dengan materi pelajaran yang harus dikuasai. Hal ini terpaksa dilakukan oleh guru karena jika sampai akhir tahun ajaran target kurikulum belum terpenuhi maka guru dinilai tidak becus mengajar karena tidak bisa memenuhi target kurikulum. 3. Melupakan Jati Diri Bangsa Pendidikan yang sejatinya merupakan proses pembentukan moralitas masyarakat beradab yang tampil dengan wajah kemanusiaan yang bertanggung jawab terhadap realitas di sekitarnya. Karena itulah pendidikan harus mampu berperan sebagai wahana untuk mempersiapkan manusia-manusia yang akan mampu untuk hidup secara mandiri dengan bertumpu pada kaki sendiri sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dimana tempatnya tinggal. Artinya hasil sebuah lembaga pendidikan idealnya harus sesuai dengan apa yang akan digeluti nantinya setelah menyelesaikan jenjang pendidikan. Seharusnya kurikulum disusun sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Standar kelulusan juga seharusnya ditetapkan oleh daerah bersangkutan sehingga sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan dan kondisi tiap-tiap daerah. Seharusnya otonomi pendidikan (desentralisasi) betul-betul menjadi suatu kesempatan bagi daerah untuk mengemas pendidikian sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Di sinilah sesuatu yang paradoks terjadi, konsep desentralisasi pendidikan menjadi tidak jelas manakala daerah seolah tidak siap untuk mengatur pendidikan secara absolut. Akhirnya kita masih menyaksikan sentralisasi kebijakan, atau lebih tepatnya, resentralisasi yang kurang disadari atau memang sudah disadari, tetapi seolah sengaja tidak menyadari hal tersebut. Benny Susetyo berpendapat bahwa otonomi pendidikan merupakan desentralisasi setengah hati ketika di lapangan terjadi tarik menarik antara kewenangan pusat dan daerah. Kita merasakan adanya ketidakrelaan pusat secara penuh menyerahkan kewenangannya dan merasakan pula ketidaksiapan daerah baik kelembagaan maupun kebijakan. (Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa :2005). Contoh yang paling nyata adalah penentuan keluslusan Ujian Nasional Tingkat SD, SLTP, dan SLTA atau sederajat yang sangat rancu. Dalam konteks ini, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pemerintah menetapkan bahwa kelulusan meliputi tiga hal ; Pertama adalah evaluasi belajar siswa yang ditentukan oleh sekolah. Kedua adalah prilaku siswa, dan ketiga adalah hasil akhir yang dijalani melalui ujian nasional (UN) . Secara ideal, hal itu sangat menjadi harapan. Namun dalam konteks kenyataan, kendatipun para siswa sudah lulus baik poin pertama dan poin kedua, tetapi gagal pada poin ketiga, maka mereka dinyatakan gagal total alias tidak lulus. Akan tetapi apabila siswa lulus pada poin ketiga, sedang pada poin pertama dan kedua gagal, siswa tetap dinyatakan berhasil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah konsisten pada ketidakkonsistenan. Contoh lainnya adalah pembuatan kurikulum yang juga diarahkan kepada daerah-daerah untuk menentukan seberapa besar materi muatan lokal yang akan diakomodasi dan seberapa banyak materi yang memuat materi nasional, itupun masih sekedar teori di atas kertas yang tidak pernah teraplikasi sama sekali. Artinya pemerintah belum memberikan kewenangan secara penuh kepada daerah untuk mendesain kurikulum sesuai dengan kebutuhan maupun corak sosiokultural daerah masing-masing. Jadilah desentralisasi pendidikan sekadar simbol tanpa aplikasi secara konkret. Sehingga jati diri pendidikan sesuai dengan karakteristik bangsa hanyalah teori belaka. Ketiga hal inilah yang telah mewariskan kehancuran pada sitem pendidikan kita. Kita terlalu asyik menggunakan kacamata orang lain sampai kita melupakan kacamata kita sendiri. Belum lagi ditambah dengan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah sehingga sekolah menjadi semacam kelinci percobaan para menteri pendidikan yang setiap kali berganti diganti pula sistem pendidikan yang dipakai. Bercermin Pada Realitas : Aktualisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Ki Hajdar Dewantara pernah menyatakan pendidikan menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme guna memperjuangkan kepentingan bangsa di atas kepentingan-kepentingan politik yang kerdil dan sempit yang kemudian hanya mengorbankan bangsanya. Pendidikan itu berupaya sekuat tenaga menanamkan rasa persaudaraan, persamaan dan kesetiakawanan dan kebersamaan hidup senasib seperjuangan, membela bangsa dalam segala bentuk penindasan baik secara fisik maupun psikis. Tidak perduli apakah penindasan tersebut berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri. Pendidikanpun bermuara guna melahirkan rasa mencintai segala aset bangsa agar dijaga dengan segala cara agar dapat dimanfaatkan bagi kebesaran dan kemakmuran bangsa.(Muh. Yamin, Ibid : 2009) Secara kasat mata dapat kita simpulkan bahwa inti konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara amatlah simpel. Yaitu menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme, membela tanah air dari kolonialisasi fisik maupun psikis, dan menjaga semua aset bangsa untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama segenap elemen bangsa. Sudah saatnya para pengambil kebijakan negeri ini merenungkan kembali ciri esensial pendidikan. Gagasan yang ditelurkan oleh Ki Hadjar Dewantara sebenarnya sudah cukup untuk menjadi semacam problem solving dari carut-marutnya dunia pendidikan negeri ini. R.M. Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak pendidikan Indonesia telah merumuskan konsep yang jelas yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh Indonesia yang notabene memegang teguh norma-norma ketimuran. Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara memiliki arti dan makna mendalam sebagai pemelihara dan pengembang benih-benih persatuan dan kesatuan bangsa yang telah dirintis oleh para pendahulu bangsa Indonesia menuju negara yang besar, berdaulat, berharkat dan bermartabat. (Muharrir Alwan, Moralitas Pendidikan :2007) Menurut beliau pendidikan bertujuan menanamkan nilai-nilai hidup rukun dan damai di antara semua elemen bangsa, tanpa memandang kelas sosial apapun, baik ras, suku, agama, adat dan lain seterusnya. Sehingga menurut Ki Hadjar Dewantara konsep pendidikan yang dibangun dan dikerjakan oleh barat yang lebih menekankan pada akal semata, namun menegasikan akal budi guna mempertajam kepekaan sosial terhadap sesama anak-anak bangsa, merupakan suatu hal yang harus ditinggalkan karena konsep pendidikan seperti itu merusak kehidupan berbangsa di negeri ini. Ki Hadjar menyampaikan bahwa konsep pendidikan yang sesuai dengan budaya Indonesia adalah pendidikan yang dapat memanusiakan manusia indonesia seutuhnya. Bukan sekedar membentuk otak-otak cerdas dan berintelektual tinggi tetapi untuk membentuk insan-insan yang disamping pintar juga selalu mengutamakan kebenaran. Orientasi pendidikan seharusnya bukan pada peringkat dan juara pada berbagai kompetisi dan kejuaraan. Sehingga seharusnya kita tidak meributkan soal rendahnya nilai-nilai yang diperoleh sisiwa dalam ujian tetapi tidak pernah ribut kalau ada siswa yang suka mencontek, guru tidak mendidik dengan kasih sayang atau dosen tidak mengajar secara ikhlas dan lain sebagainya. Yang terpenting dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah memperkuat penanaman nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa sendiri secara masip dalam kehidupan anak didik yang beliau sebut sebagai sistem among, yakni suatu sistem pendidikan yang berlangsung dalam suasana kekeluargaan dengan pendidik sebagai orang tua dan peserta didik sebagai anak. Pendidikan itu dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerelly), kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual) dan suasana kekeluargaan (family atmosphere). Moral pendidik bukanlah sebagai atasan kepada bawahan atau seorang raja kepada para prajutitnya. Semestinyalah rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan dan kekeluargaan itulah yang kita ributkan karena kini telah hilang. (Ki Supriyoko, Mengembalikan Roh Pendidikan :2009) Sistem among ini mengemukakan dua prinsip dasar yaitu kemerdekaan dan kodrat alam. Kemerdekaan menjadi syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan bathin sehingga hidup selalu merasa merdeka dan lepas dari tekanan-tekanan dari siapapun. Kemerdekaan inilah yang menjadi ruh dari rasa kasih sayang dan suasana kekeluargaan dalam sistem among. Sedang kodrat alam adalah syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya tanpa meninggalkan jati diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi etika dan tata krama. Kodrat alam inilah yang menjiwai rasa keikhlasan, kejujuran, dan nilai-nilai keagamaan. Ada juga hal yang cukup menarik yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara yang merupakan sumbangsih besar beliau pada dunia pendidikan terkait Taman Siswa yang beliau dirikan sebagai bagian dari perjuangan pendidikan negeri ini, yaitu apa yang disebut sebagai Panca Dharma yang merupakan lima poin penting yang disusun pada 1947 yang kemudian lebih dikenal dengan ”Asas-Asas 1922”, yang berisi : asas kemerdekaan yang mencirikan bangsa yang memiliki keinginan kuat untuk merdeka dan mengisi kemerdekaan, asas kodrat alam yang mencirikan bangsa yang memegang teguh nilai-nilai alamiah dan fitrah alam untuk selalu dijaga dan dipelihara, asas kebudayaan yang mencirikan bangsa yang berpegang teguh pada nilai-nilai budaya untuk tetap dilestarikan tanpa terpengaruh oleh budaya-budaya bangsa asing yang dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara., asas kebangsaan yang mencirikan bangsa yang mengutamakan persatuan dan kesatuan demi tetap utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan asas kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme tanpa membedakan suku, agama, ras dan adat-istiadat. Ki Hadjar Dewantara yang memiliki latar belakang dan kelahiran Indonesia sebagaimana ditulis Muh.Yamin dalam Pendidikan di Ujung Tanduk Kekuasaan (2007), beliau sangat menginginkan bahwa pendidikan Indonesia harus mencerminkan nilai-nilai kebangsaan sendiri, jangan meniru bangsa-bangsa lain karena berbeda perspektif dan kultur budaya. Dengan kata lain, sistem dan pelaksanaan pendidikan harus bertumpu pada penguatan nalar berpikir yang bermoral, beradab dan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kepentingan bangsa di atas kepentingan individu dan golongan. Masih menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan Indonesia juga hendaknya melibatkan tiga kompenen penting pendidikan yang beliau istilahkan sebagai trilogi pendidikan yaitu keluarga (orang tua), sekolah (guru/pengelola sekolah) dan lingkungan (pemerintah/masyarakat). Ketiga unsur ini harus saling bahu membahu dalam menciptakan iklim pendidikan sesuai dengan yang diamanatkan dalam undang-undang dalam rangka mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Tidak kalah pentingnya dalam proses pendidikan adalah para guru yang harus melaksanakan sistem among tersebut. Para guru yang bisa memerankan fungsinya secara baik disebut pamong. Para pamong ini seharusnya memiliki tiga ajaran utama kepemimpinan menurut Ki Hadjar Dewantara yang populer di kalangan masyarakat dalam bahasa jawa yaitu ing ngarso sun tulodo, ing madyo ’mbangun karso, tut wuri handayani atau didepan mampu memberi suri tauladan, di tengah-tengah mampu memberikan motivasi dan semangat serta dari belakang mampu memberikan dorongan untuk maju. Secara tegas dalam pengertian ini, seorang pemimpin (guru/pamong) harus memiliki ketiga sifat tersebut agar bisa menjadi panutan bagi anak didiknya. Karena para guru memang berfungsi untuk digugu dan ditiru. Jadi, seorang pamong (guru) yang baik adalah yang tidak hanya dapat memberikan tauladan tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral agar anak didik bisa melakukan pembelajaran dan tanggung jawab sebagai siswa secara tulus dan tanpa paksaan, tanpa tekanan maupun ancaman dari siapapun. Menata Kembali Dunia Pendidikan Indonesia Pendidikan di Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa seiring perjalanan waktu dan pergantian resim yang berkuasa di negeri ini. Pada masa Orde Lama pendidikan di arahkan ke arah sistem sosialis, yang memberikan prinsip dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial baik kelas atas, menengah maupun kelas bawah. Di masa Orde Baru pendidikan di arahkan sebagai alat pembenaran terhadap segala kebijakan penguasa tanpa memberikan sedikitpun ruang untuk berpendapat dan mengekpresikan diri dengan kebebasan. Dan pada Era Reformasi ini pendidikan belum beranjak dari keterpurukan. Pendidikan diletakkan dalam paradigma kapitalis yang menganggap pendidikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan dengan harga yang sangat mahal yang pada akhirnya akan melahirkan komersialisasi pendidikan. Sehingga hanya akan dapat dikenyam oleh sebagian kecil orang dan golongan tertentu saja. Maka sudah saatnya dunia pendidikan melakukan pembenahan secara menyeluruh untuk kembali memajukan pendidikan. Bukankah konsep-konsep pendidikan sudah jelas. Bapak pendidikan Negeri ini telah memberikan satu konsep yang sangat cukup untuk memajukan pendidikan pertanyaannya hanya satu ; ”maukah kita untuk berubah ?”. Jika jawabannya ”iya” maka sudah selayaknya kita mulai sedikit-demi sedikit, mulai dari hal-hal yang kecil dan muali saat ini juga. Epilog ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya”, maka jika masih tersisa hati nurani sudah saatnya penghargaan kepada pahlawan pendidikan negeri ini kita persembahkan dengan menelisik kembali kearifan yang di wariskan menuju kehidupan berbangsa yang lebih baik pada hari esok. Penghargaan tersebut kita lakukan dengan menyampaikan cita-cita pendidikan yang beliau tinggalkan. Cita-cita untuk memajukan pendidikan sesuai dengan budaya dan karakter penduduk negeri ini yaitu pendidikan yang tidak hanya mengutamakan kecerdasan intelektualisme tetapi juga moral dan tata krama. Mengadopsi sistem pendidikan orang lain yang sesuai kiranya penting, namun kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan rasa kekeluargaan dalam pendidikan kiranya jauh lebih penting. Sudah saatnya kita kembali ke pendidikan indonesia!.

MENATA PENDIDIKAN INDONESIA

Menata Kembali Pendidikan Indonesia : Aktualisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Tentang Konsep Pendidikan Ideal. Prolog Bayangkan jika seandainya Bapak pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara berkirim surat kepada kita pada zaman ini, apakah kira-kira yang akan ditulisnya? Apakah kebanggaan bahwa kita telah merdeka enam setengah dasa warsa lebih dan telah mengalami beberapa fase dari orde lama, orde baru, sampai orde reformasi sekarang ini, Apakah decak kagum pada putra dan putri negeri ini yang meraih juara pada olympiade sains tingkat dunia, Apakah tentang pendidikan gratis yang dicanangkan pemerintah, ataukah tentang tingginya standar nilai Ujian Nasional untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain? Rasanya tidak. Ki Hadjar Dewantara barangkali akan menyampaikan kesedihan dan keperihatinan beliau pada pendidikan yang carut-marut, sistem ujian naional (UN) yang amburadul, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rata-rata kelas lima Sekolah Dasar. Beliau barangkali akan menyalahkan kita tentang sistem Ujian Nasional yang melahirkan dehumanisasi atau tentang peringatan Hari Pendidikan Nasional yang dirayakan dengan upacara bendera dan even-even lainnya setiap tahun namun tidak memberikan perubahan menuju kemajuan pendidikan itu sendiri. Bahkan barangkali beliau akan menulis kritik sambil tersenyum sinis menyaksikan generasi penerusnya yang terlalu sibuk mengurus suksesi kepemimpinan sampai tidak sempat untuk menyisihkan waktu dengan serius untuk mengurus negara dalam ’mencerdaskan kehidupan berbangsa’. Paragraf awal surat beliau mungkin akan diawali dengan pertanyaan ”Dimana tanggung jawab kalian memajukan dunia pendidikan negeri yang telah menjamin warganya untuk mendapat pendidikan yang layak? Lalu kira-kira paragrap terakhir beliau akan berisi himbauan ” kembalikan ruh pendidikan sesuai dengan esensi budaya negeri ini ”. Jika surat itu datang ke rumah kita, masihkah kita akan menganggap bahwa anak yang cerdas adalah yang selalu rangking dikelasnya, atau menganggap bahwa kualitas sekolah ditentukan oleh juara-juara yang diraih dalam lomba-lomba antar sekolah, atau mengasumsikan bahwa pendidikan ditentukan oleh tingkat kecerdasan intelektual? Atau jika surat itu datang di meja kerja para pengambil kebijakan negeri ini, masihkah mereka akan mengatakan bahwa kemajuan bangsa ini terindikator dari 100% kelulusan dengan standar nilai Ujian Nasional yang begitu tinggi? Potret Buram Wajah Pendidikan Indonesia Indonesia menangis! Negeri yang pernah di juluki the sleeping giant from Asia, kini tengah terpuruk di segala bidang. Di bidang pendidikan Indonesia jauh terpuruk dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia bahkan di antara negara-negara Asia Tenggara. Carut-marut dunia pendidikan di Indonesia terindikasi dari mandulnya out put yang dihasilkan. Semakin banyak sarjana semakin menambah daftar panjang pengangguran intelektual negeri ini. Pendidikan yang semulanya dihajatkan sebagai sesuatu yang akan mempertinggi harkat kemanusiaan gagal mencapai visinya. Ditambah lagi dengan kian meluasnya perdagangan pendidikan demi kepentingan segelintir orang yang mengakibatkan rakyat kecil menjadi korban keserakahan dari komersialisasi pendidikan. Jaminan akan pendidikan yang layak bagi masyarakat kecil sesuai dengan amanat undang-undang hanyalah isapan jempol semata. Belum lagi jika berbicara hilangnya tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan negeri ini. Pasca lahirnya otonomi dan desentralisasi pendidikan yang memberikan hak sepenuhnya kepada setiap lembaga pendidikan dari tingkat bawah sampai perguruan tinggi untuk mencari dana sendiri, menyebabkan banyak anak negeri termaginalkan dan kehilangan kesempatan untuk menikmati bangku pendidikan. Liberalisasi pendidikan yang dicanangkan sebagai langkah awal untuk memandirikan dunia pendidikan malah menjelma menjadi semacam legitimasi untuk melegalisasi setiap tindakan lembaga pendidikan untuk menperdagangkan pendidikan. Lahirlah istilah Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang berfungsi mengatur jalannya lembaga pendidikan sesuai dengan prinsip ekonomi Adam Smith untuk mengeruk keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Akibatnya lahirlah gap dan ketimpangan sosial, bagi yang kaya, cerdas dan berpendidikan akan dengan mudahnya melejit ketampuk kekuasaan, hidup sejahtera dan menjadi penguasa yang dengan mudahnya melakukan ekploitasi besar-besaran terhadap kelompok lain yang lemah, sedang yang miskin dan tak berdaya akan tersingkir dan hanya bisa menggigit jari menyaksikan setiap ketidakadilan yang menimpa mereka. Pendidikan hanyalah mimpi bagi mereka. Sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, bahkan di Era Reformasi ini dunia pendidikan seakan mengalami stagnansi yang membuat pendidikan jalan ditempat bahkan cenderung mengalami kemunduran. Bahkan berdasarkan evaluasi Djohar (2003), selama ini pendidikan kian jelas tidak berhasil melakukan pendewasaan diri terhadap anak didiknya. Lembaga pendidikan di bumi pertiwi ini gagal melakukan penataan pranata sosial yang mampu membangun karakter bangsa indonesia sesuai dengan nilai-nilai normatif kebangsaan yang ideal. Justru yang yang terbangun adalah prilaku elit negeri yang bertolak belakang dengan nilai sosial dan kehendak masyarakat. sehingga adalah wajar jika UNDP (United Nation Development Program) pada tahun 2000 mengumumkan kualitas pendidikan Indonesia dalam Indeks Pembangunan Kemanusiaan (Human Development Index) berada pada peringkat 109, sementara Singapura , Malaysia, Filifina dan Thailand berada di angka ke-24 hingga 34. (Muh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia : 2009) Indikasi lain betapa buruknya kualitas pendidikan Indonesia adalah ketertinggalan yang jauh di bawah negara-negara Asia yang lain. Pada era tahun 1970-an Malaysia menginfor tenaga guru dari indonesia dan mengadopsi model pendidikan Indonesia. Kini pendidikan Indonesia jauh berada di bawah negara tersebut. Bahkan Times mengumumkan survey bahwa Indonesia pada tahun 2008 berada pada urutan 134 dari 200 negara Asia yang diteliti, dua tingkat di atas Vietnam yang baru merdeka sedang Malaysia berada di urutan ke 69. (Ki Supriyoko, dlm.: Pelita, 18 Mei 2009) Kalau kita mengadakan introspeksi setidaknya ada tiga hal pokok yang menyebabkan pendidikan Indonesia terpuruk antara lain : 1. Pendidikan Dijadikan Komoditas Politik Realitas pendidikan di Indonesia membuktikan bahwa pendidikan selalu diarahkan untuk membenarkan kepentingan penguasa dan kroni-kroninya. Pendidikan seakan berada pada penjara kekuasaan sehingga tidak mampu meningkatkan kualitas bangsa menuju pembangunan yang konstruktif bahkan cenderung destruktif. Pada masa orde lama pendidikan sebenarnya memiliki peluang untuk berkembang dengan baik. Hal tersebut tercermin dari peran pendidikan pada masa itu untuk menyalakan semangat merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjadikan masyarakat sadar bahwa mereka sedang terjajah. Hanya saja pendidikan terintimidasi oleh hegemoni kolonial dan para penjajah sehingga tidak terekpresikan secara penuh. Kendala lainnya adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengenal dunia pendidikan dan rendahnya tingkat perekonomian sehingga boleh dikatakan bahwa pendidikan pada masa orde lama adalah fase pengenalan awal pendidikan kepada masyarakat yang telah terbelenggu rantai penjajahan selama tiga setengah abad lebih. Pada masa inilah lahir tokoh-tokoh pendidikan yang sebenarnya telah merumuskan konsep-konsep pendidikan sesuai dengan corak budaya negeri ini. Lahirlah tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’arie, Hajji Agus Salim dan lain sebagainya sebagai para Founding Father pendidikan Indonesia. Bahkan yang disebut pertama dianggap sebagai bapak pendidikan Indonesia. Sayangnya, konsep-konsep yang digagas tersebut mulai terdegradasi seiring pergantian resim pemerintahan yang mulai menjadikan pendidikan sebagai salah satu komoditas politik untuk mempertahankan kekuasaan. Contoh riil adalah lahirnya beberapa kebijakan pendidikan yang cukup elitis dan merugikan bangsa ini. Era orde Baru membawa pendidikan demi kepentingan para pemodal. Pendidikan ditujukan untuk mencetak para pekerja, buruh dan para kuli yang bisa dibayar dengan upah murah. Orientasi pendidikan tidak lagi untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa tetapi malah untuk mencetak manusia yang bermental budak yang selalu tergantung kepada orang lain. Saat orde baru pula, kebebasan dalam dunia pendidikan (khususnya dunia kampus) mengalami pemasungan yang sangat durjana sehingga bangsapun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali tunduk dengan terpaksa pada resim yang berkuasa. yang lebih ironis lagi, pasca reformasi yang diharapkan mampu membawa angin segar bagi kemajuan pendidikan pada kenyataannya tidak mampu memberi secercah harapan. Keadaan pendidikan tidak beranjak dari persoalan-persoalan yang semakin parah dan menyedihkan. Pendidikan malah dijajakan secara komersial. Adanya kebijakan otonomi pendidikan untuk memberikan hak sepenuhnya kepada penyelenggara pendidikan menjadi semacam legitimasi untuk komersialisasi pendidikan. Akibatnya pendidikan menjadi komoditas yang siap diperjual belikan dengan harga yang sangat mahal. Di satu sisi, isu pendidikan selalu menjadi isu hangat di setiap suksesi kepemimpinan, ide pendidikan gratis menjadi semacam trade mark bagi semua kandidat calon pemimpin mulai dari calon Bupati, Gubernur, Anggota Legislatif bahkan para calon Presiden. Semua menyiapkan dan menjanjikan sistem pendidikan yang lebih baik. Pada kenyataannya ketika tampuk kekuasaan telah mereka dapatkan janji-jani politik tersebut menguap begitu saja bagai embun pagi yang terkena cahaya mentari pagi. 2. Pendidikan yang Terjebak Pada Konsep Barat Salah satu penyebab kehancuran pendidikan negeri ini menurut Buana (2009) adalah pendidikan yang mengadopsi sistem pendidikan barat yang materialis kapitalis yang hanya mengandalkan akal dan logika untung rugi. Out put pendidikan hanya diukur dari tingkat kecerdasan dan hasil belajar siswa berupa catatan niali-nilai. Sistem pendidikan kita juga terlalu berorientasi pada target. Pendidikan dijadikan menjadi semacam perlombaan untuk mengejar target baik target kurikulum mapun target kelulusan dan lain sebagainya. (Buana, Rekonstruksi Pendidikan Indonesia :2009) Sebagai ilustrasi, di jenjang pendidikan dasar dan menengah (SD, SLTP, dan SMA) orientasi target itu terindikasi dari penetapan standar nilai UN sehingga pembelajaran seakan dilakukan hanya untuk mengejar target kelulusan. Terjadilah beragam fenomena yang memilukan bahkan memalukan. Mulai dari pembocoran soal, kepala sekolah yang memberikan uang kepada tim pemantau yang dikamuplase dalam bentuk uang transport, uang jajan dan lain sebagainya sampai pada membentuk ’tim sukses’ untuk meluluskan siswa dengan cara menyewa tenaga untuk menjawab soal-soal yang diujikan. Di sinilah awal gagalnya pendidikan menghasilkan generasi yang jujur dan patut dibanggakan. Di satu sisi pendidikan harus terdiri dari tiga aspek pokok yaitu psikomotorik, kognitif, apektif yang berarti bahwa pendidikan tidak hanya untuk otak dan pikiran tetapi juga untuk hati dan perasaan, namun pada praktiknya aspek yang menentukan hanyalah psikomotorik (baca:kemampuan siswa dalam menjawab soal ujian nasional) tanpa peduli jawaban tersebut darimana dan bagaimana cara memperolehnya. Dalam proses pembelajaran guru dengan lantang berteriak untuk selalu jujur dan bertanggung jawab namun ketika ujian nasional kejujuran tersebut seakan menjelma menjadi sesuatu yang teramat langka. Bahkan dengan terang-terangan para guru meberikan contoh dengan tingkah laku yang destruktif. Dalam proses pembelajaran juga guru selalu dituntut untuk menghabiskan seluruh target kurikulum sehingga guru cenderung menjejali siswa dengan materi pelajaran yang harus dikuasai. Hal ini terpaksa dilakukan oleh guru karena jika sampai akhir tahun ajaran target kurikulum belum terpenuhi maka guru dinilai tidak becus mengajar karena tidak bisa memenuhi target kurikulum. 3. Melupakan Jati Diri Bangsa Pendidikan yang sejatinya merupakan proses pembentukan moralitas masyarakat beradab yang tampil dengan wajah kemanusiaan yang bertanggung jawab terhadap realitas di sekitarnya. Karena itulah pendidikan harus mampu berperan sebagai wahana untuk mempersiapkan manusia-manusia yang akan mampu untuk hidup secara mandiri dengan bertumpu pada kaki sendiri sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dimana tempatnya tinggal. Artinya hasil sebuah lembaga pendidikan idealnya harus sesuai dengan apa yang akan digeluti nantinya setelah menyelesaikan jenjang pendidikan. Seharusnya kurikulum disusun sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Standar kelulusan juga seharusnya ditetapkan oleh daerah bersangkutan sehingga sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan dan kondisi tiap-tiap daerah. Seharusnya otonomi pendidikan (desentralisasi) betul-betul menjadi suatu kesempatan bagi daerah untuk mengemas pendidikian sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Di sinilah sesuatu yang paradoks terjadi, konsep desentralisasi pendidikan menjadi tidak jelas manakala daerah seolah tidak siap untuk mengatur pendidikan secara absolut. Akhirnya kita masih menyaksikan sentralisasi kebijakan, atau lebih tepatnya, resentralisasi yang kurang disadari atau memang sudah disadari, tetapi seolah sengaja tidak menyadari hal tersebut. Benny Susetyo berpendapat bahwa otonomi pendidikan merupakan desentralisasi setengah hati ketika di lapangan terjadi tarik menarik antara kewenangan pusat dan daerah. Kita merasakan adanya ketidakrelaan pusat secara penuh menyerahkan kewenangannya dan merasakan pula ketidaksiapan daerah baik kelembagaan maupun kebijakan. (Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa :2005). Contoh yang paling nyata adalah penentuan keluslusan Ujian Nasional Tingkat SD, SLTP, dan SLTA atau sederajat yang sangat rancu. Dalam konteks ini, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pemerintah menetapkan bahwa kelulusan meliputi tiga hal ; Pertama adalah evaluasi belajar siswa yang ditentukan oleh sekolah. Kedua adalah prilaku siswa, dan ketiga adalah hasil akhir yang dijalani melalui ujian nasional (UN) . Secara ideal, hal itu sangat menjadi harapan. Namun dalam konteks kenyataan, kendatipun para siswa sudah lulus baik poin pertama dan poin kedua, tetapi gagal pada poin ketiga, maka mereka dinyatakan gagal total alias tidak lulus. Akan tetapi apabila siswa lulus pada poin ketiga, sedang pada poin pertama dan kedua gagal, siswa tetap dinyatakan berhasil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah konsisten pada ketidakkonsistenan. Contoh lainnya adalah pembuatan kurikulum yang juga diarahkan kepada daerah-daerah untuk menentukan seberapa besar materi muatan lokal yang akan diakomodasi dan seberapa banyak materi yang memuat materi nasional, itupun masih sekedar teori di atas kertas yang tidak pernah teraplikasi sama sekali. Artinya pemerintah belum memberikan kewenangan secara penuh kepada daerah untuk mendesain kurikulum sesuai dengan kebutuhan maupun corak sosiokultural daerah masing-masing. Jadilah desentralisasi pendidikan sekadar simbol tanpa aplikasi secara konkret. Sehingga jati diri pendidikan sesuai dengan karakteristik bangsa hanyalah teori belaka. Ketiga hal inilah yang telah mewariskan kehancuran pada sitem pendidikan kita. Kita terlalu asyik menggunakan kacamata orang lain sampai kita melupakan kacamata kita sendiri. Belum lagi ditambah dengan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah sehingga sekolah menjadi semacam kelinci percobaan para menteri pendidikan yang setiap kali berganti diganti pula sistem pendidikan yang dipakai. Bercermin Pada Realitas : Aktualisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Ki Hajdar Dewantara pernah menyatakan pendidikan menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme guna memperjuangkan kepentingan bangsa di atas kepentingan-kepentingan politik yang kerdil dan sempit yang kemudian hanya mengorbankan bangsanya. Pendidikan itu berupaya sekuat tenaga menanamkan rasa persaudaraan, persamaan dan kesetiakawanan dan kebersamaan hidup senasib seperjuangan, membela bangsa dalam segala bentuk penindasan baik secara fisik maupun psikis. Tidak perduli apakah penindasan tersebut berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri. Pendidikanpun bermuara guna melahirkan rasa mencintai segala aset bangsa agar dijaga dengan segala cara agar dapat dimanfaatkan bagi kebesaran dan kemakmuran bangsa.(Muh. Yamin, Ibid : 2009) Secara kasat mata dapat kita simpulkan bahwa inti konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara amatlah simpel. Yaitu menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme, membela tanah air dari kolonialisasi fisik maupun psikis, dan menjaga semua aset bangsa untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama segenap elemen bangsa. Sudah saatnya para pengambil kebijakan negeri ini merenungkan kembali ciri esensial pendidikan. Gagasan yang ditelurkan oleh Ki Hadjar Dewantara sebenarnya sudah cukup untuk menjadi semacam problem solving dari carut-marutnya dunia pendidikan negeri ini. R.M. Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak pendidikan Indonesia telah merumuskan konsep yang jelas yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh Indonesia yang notabene memegang teguh norma-norma ketimuran. Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara memiliki arti dan makna mendalam sebagai pemelihara dan pengembang benih-benih persatuan dan kesatuan bangsa yang telah dirintis oleh para pendahulu bangsa Indonesia menuju negara yang besar, berdaulat, berharkat dan bermartabat. (Muharrir Alwan, Moralitas Pendidikan :2007) Menurut beliau pendidikan bertujuan menanamkan nilai-nilai hidup rukun dan damai di antara semua elemen bangsa, tanpa memandang kelas sosial apapun, baik ras, suku, agama, adat dan lain seterusnya. Sehingga menurut Ki Hadjar Dewantara konsep pendidikan yang dibangun dan dikerjakan oleh barat yang lebih menekankan pada akal semata, namun menegasikan akal budi guna mempertajam kepekaan sosial terhadap sesama anak-anak bangsa, merupakan suatu hal yang harus ditinggalkan karena konsep pendidikan seperti itu merusak kehidupan berbangsa di negeri ini. Ki Hadjar menyampaikan bahwa konsep pendidikan yang sesuai dengan budaya Indonesia adalah pendidikan yang dapat memanusiakan manusia indonesia seutuhnya. Bukan sekedar membentuk otak-otak cerdas dan berintelektual tinggi tetapi untuk membentuk insan-insan yang disamping pintar juga selalu mengutamakan kebenaran. Orientasi pendidikan seharusnya bukan pada peringkat dan juara pada berbagai kompetisi dan kejuaraan. Sehingga seharusnya kita tidak meributkan soal rendahnya nilai-nilai yang diperoleh sisiwa dalam ujian tetapi tidak pernah ribut kalau ada siswa yang suka mencontek, guru tidak mendidik dengan kasih sayang atau dosen tidak mengajar secara ikhlas dan lain sebagainya. Yang terpenting dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah memperkuat penanaman nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa sendiri secara masip dalam kehidupan anak didik yang beliau sebut sebagai sistem among, yakni suatu sistem pendidikan yang berlangsung dalam suasana kekeluargaan dengan pendidik sebagai orang tua dan peserta didik sebagai anak. Pendidikan itu dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerelly), kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual) dan suasana kekeluargaan (family atmosphere). Moral pendidik bukanlah sebagai atasan kepada bawahan atau seorang raja kepada para prajutitnya. Semestinyalah rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan dan kekeluargaan itulah yang kita ributkan karena kini telah hilang. (Ki Supriyoko, Mengembalikan Roh Pendidikan :2009) Sistem among ini mengemukakan dua prinsip dasar yaitu kemerdekaan dan kodrat alam. Kemerdekaan menjadi syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan bathin sehingga hidup selalu merasa merdeka dan lepas dari tekanan-tekanan dari siapapun. Kemerdekaan inilah yang menjadi ruh dari rasa kasih sayang dan suasana kekeluargaan dalam sistem among. Sedang kodrat alam adalah syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya tanpa meninggalkan jati diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi etika dan tata krama. Kodrat alam inilah yang menjiwai rasa keikhlasan, kejujuran, dan nilai-nilai keagamaan. Ada juga hal yang cukup menarik yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara yang merupakan sumbangsih besar beliau pada dunia pendidikan terkait Taman Siswa yang beliau dirikan sebagai bagian dari perjuangan pendidikan negeri ini, yaitu apa yang disebut sebagai Panca Dharma yang merupakan lima poin penting yang disusun pada 1947 yang kemudian lebih dikenal dengan ”Asas-Asas 1922”, yang berisi : asas kemerdekaan yang mencirikan bangsa yang memiliki keinginan kuat untuk merdeka dan mengisi kemerdekaan, asas kodrat alam yang mencirikan bangsa yang memegang teguh nilai-nilai alamiah dan fitrah alam untuk selalu dijaga dan dipelihara, asas kebudayaan yang mencirikan bangsa yang berpegang teguh pada nilai-nilai budaya untuk tetap dilestarikan tanpa terpengaruh oleh budaya-budaya bangsa asing yang dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara., asas kebangsaan yang mencirikan bangsa yang mengutamakan persatuan dan kesatuan demi tetap utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan asas kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme tanpa membedakan suku, agama, ras dan adat-istiadat. Ki Hadjar Dewantara yang memiliki latar belakang dan kelahiran Indonesia sebagaimana ditulis Muh.Yamin dalam Pendidikan di Ujung Tanduk Kekuasaan (2007), beliau sangat menginginkan bahwa pendidikan Indonesia harus mencerminkan nilai-nilai kebangsaan sendiri, jangan meniru bangsa-bangsa lain karena berbeda perspektif dan kultur budaya. Dengan kata lain, sistem dan pelaksanaan pendidikan harus bertumpu pada penguatan nalar berpikir yang bermoral, beradab dan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kepentingan bangsa di atas kepentingan individu dan golongan. Masih menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan Indonesia juga hendaknya melibatkan tiga kompenen penting pendidikan yang beliau istilahkan sebagai trilogi pendidikan yaitu keluarga (orang tua), sekolah (guru/pengelola sekolah) dan lingkungan (pemerintah/masyarakat). Ketiga unsur ini harus saling bahu membahu dalam menciptakan iklim pendidikan sesuai dengan yang diamanatkan dalam undang-undang dalam rangka mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Tidak kalah pentingnya dalam proses pendidikan adalah para guru yang harus melaksanakan sistem among tersebut. Para guru yang bisa memerankan fungsinya secara baik disebut pamong. Para pamong ini seharusnya memiliki tiga ajaran utama kepemimpinan menurut Ki Hadjar Dewantara yang populer di kalangan masyarakat dalam bahasa jawa yaitu ing ngarso sun tulodo, ing madyo ’mbangun karso, tut wuri handayani atau didepan mampu memberi suri tauladan, di tengah-tengah mampu memberikan motivasi dan semangat serta dari belakang mampu memberikan dorongan untuk maju. Secara tegas dalam pengertian ini, seorang pemimpin (guru/pamong) harus memiliki ketiga sifat tersebut agar bisa menjadi panutan bagi anak didiknya. Karena para guru memang berfungsi untuk digugu dan ditiru. Jadi, seorang pamong (guru) yang baik adalah yang tidak hanya dapat memberikan tauladan tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral agar anak didik bisa melakukan pembelajaran dan tanggung jawab sebagai siswa secara tulus dan tanpa paksaan, tanpa tekanan maupun ancaman dari siapapun. Menata Kembali Dunia Pendidikan Indonesia Pendidikan di Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa seiring perjalanan waktu dan pergantian resim yang berkuasa di negeri ini. Pada masa Orde Lama pendidikan di arahkan ke arah sistem sosialis, yang memberikan prinsip dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial baik kelas atas, menengah maupun kelas bawah. Di masa Orde Baru pendidikan di arahkan sebagai alat pembenaran terhadap segala kebijakan penguasa tanpa memberikan sedikitpun ruang untuk berpendapat dan mengekpresikan diri dengan kebebasan. Dan pada Era Reformasi ini pendidikan belum beranjak dari keterpurukan. Pendidikan diletakkan dalam paradigma kapitalis yang menganggap pendidikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan dengan harga yang sangat mahal yang pada akhirnya akan melahirkan komersialisasi pendidikan. Sehingga hanya akan dapat dikenyam oleh sebagian kecil orang dan golongan tertentu saja. Maka sudah saatnya dunia pendidikan melakukan pembenahan secara menyeluruh untuk kembali memajukan pendidikan. Bukankah konsep-konsep pendidikan sudah jelas. Bapak pendidikan Negeri ini telah memberikan satu konsep yang sangat cukup untuk memajukan pendidikan pertanyaannya hanya satu ; ”maukah kita untuk berubah ?”. Jika jawabannya ”iya” maka sudah selayaknya kita mulai sedikit-demi sedikit, mulai dari hal-hal yang kecil dan muali saat ini juga. Epilog ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya”, maka jika masih tersisa hati nurani sudah saatnya penghargaan kepada pahlawan pendidikan negeri ini kita persembahkan dengan menelisik kembali kearifan yang di wariskan menuju kehidupan berbangsa yang lebih baik pada hari esok. Penghargaan tersebut kita lakukan dengan menyampaikan cita-cita pendidikan yang beliau tinggalkan. Cita-cita untuk memajukan pendidikan sesuai dengan budaya dan karakter penduduk negeri ini yaitu pendidikan yang tidak hanya mengutamakan kecerdasan intelektualisme tetapi juga moral dan tata krama. Mengadopsi sistem pendidikan orang lain yang sesuai kiranya penting, namun kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan rasa kekeluargaan dalam pendidikan kiranya jauh lebih penting. Sudah saatnya kita kembali ke pendidikan indonesia!.

BANTAHAN UNTUK BID'AH

BANTAHAN TERHADAP SYEKH MUHAMMAD BIN SHALEH AL –UTSAIMIN TENTANG “KESEMPURNAAN ISLAM DAN BAHAYA BID’AH” OLEH : HURNAWIJAYA ALKHAIRY, QH., S.H.I., S.Pd. (Pengasuh Majlis Ta’lim Daruttaqwa dan Pembina Forum Lingkar Pena Syaikh Zainuddin Anjani) Issued By : Forum Lingkar Pena Syaikh Zainuddin Anjani 2012 Muqaddimah Bismillahi Wabihamdihi Segala Puji hanyalah untuk Allah Swt yang telah menjadikan Islam agama yang sempurna. Sholawat dan salam untuk Baginda Rasulullah SAW sang suri tauladan bagi manusia untuk menuju kebahagiaan Dunia dan Akhirat. Risalah ini ditulis bukan untuk memperlebar jurang perpecahan atau berbantah - bantahan dalam memahami Islam. Karena Islam sesungguhnya telah memberikan aturan yang benar dalam berbeda pendapat dengan mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Risalah ini semata-mata ditulis sebagai penjelasan atas buku “Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah” yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Saleh Al-Utsaimin sekaligus sebagai kritik terhadap buku tersebut yang menafikan peluang bagi golongan lain selain golongannya untuk berpendapat tentang sebuah hukum dalam Islam. Penyusunan risalah ini didasarkan pada buku-buku keIslaman yang dikarang oleh para ulama’ salafussholeh tentang kesempurnaan Islam maupun tentang pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah (bid’ah yang sesuai dengan ruh syari’at) dan bid’ah dlolalah (bid’ah yang sesat yang bertentangan dengan syari’at Islam). Semoga risalah ini bisa membuka mata dan fikiran kita tetntang kesempurnaan Islam sebagai agama penyempurna bagi agama-agama sebelumnya dan merupakan agama terakhir yang diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi segenap ummat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhirnya semoga Allah senantiasa membuka jalan petunjuk bagi kita semua dan membuka jalan bagi kebahagiaan kita dunia dan akhirat. Amin. Wallahul Muwaffiqu Wal Hadi Ila Sabilirrasyad. 1. Mengenal Syekh Shaleh Al-Utsaimin Nama lengkapnya adalah Abdullah Muhammad Ibnu Shaleh Al-Utsaimin Al-Wahib At-Tamimi (1929 – 2001 M). Al-Utsaimin adalah salah seorang anggota Lajnatul Buhuts Wal Fatwa kerajaan Saudi Arabia semisal Majelis Ulama’ Indonesia di Indonesia. Termasuk tokoh ulama’ Salafi Wahabi yang terpandang setelah Syekh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Muhammad Bin Abdullah Alu Baaz (1912 – 1999). Keduanya merupakan dua sekawan tokoh salafi wahabi yang sangat terkemuka di antara tokoh-tokoh Salafi Wahabi lain setelah pendirinya, Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Syekh Al-Utsaimin banyak memberikan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah di kalangan pengikut Salafi Wahabi. Beberapa diantara fatwa-fatwanya adalah mengkafirkan ummat Islam; berakidah bahwa Allah berpenjuru, bertempat dan berarah; mengkafirkan golongan Al-Asya’irah (pengikut Imam Abu Hasan ali Al-Asy’ari); Brakidah bahwa Allah memiliki dua kaki dan dua tangan; Serta Allah berbicara seperti manusia dengan huruf dan bersuara; mengaharamkan tawassul secara mutlak; Menyamakan perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad dengan Yahudi dan Nasrani yang mengagungkan Uzair dan Isa; dan lain sebagainya. Ia juga tercatat sebagai salah seorang guru besar pada Fakultas Syari’ah Uiversitas Imam Muhammad Bin Saud di Qashim Saudi Arabia. Banyak menulis risalah-risalah dan buku-buku panduan praktis keIslaman yang sesuai dengan pemahaman salafi wahabi. Di antara tulisan-tulisannya adalah: Al-Fatawa An-Nisa’iyah, Al- Majmu’Al- Kabir Minal Fatawa, Al_Qawaidul Mutsla Fi Shifat Allah Wa Asma’ih Al-Husna, Aqidah Ahlussunah Wal-Jamaah, As’ilah Muhimmah, Izalah As-Sittar An Al-Jawab Al-Mukhtar, Majalis Ar-Ramadhan, Risalah Al-Hijab, Risalah Fi Aqsam Al-Mudayanah, Risalah Fil-Kufri Tarik Ash-shalah, Syarah Al-Aqidah Al-Washitiyah, Syarah Lum’ah Al-I’tiqad, Takhrij Ahadits Ar-Raudh Al-Murbi’, Zad Ad-Da’iyyah Ilallah Azza Wa Jalla dan lain-lain. 2. Kesempurnaan Islam Secara umum kesempurnaan Islam adalah sesuatu yang pasti karena berasal dari Allah SWT Tuhan Alam semesta yang maha sempurna. Kesempurnaan Islam dapat dilihat dalam tataran ideologis, tataran dialektis individual maupun sosial kemasyarakatan. Hal tersebut juga sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam surat Al-maidah ayat 3 yang berbunyi: “Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu, telah kusempurnakan pula nikmat-nikmatku atas kalian, serta aku meridhai agama Islam sebagai agama kalian”.(Al-Maidah: 3). Ayat ini menegaskan tentang kesempurnaan Islam sebagai agama bagi kaum muslimin dimana saja mereka berada. Kesempurnaan Islam sebagaimana dalam ayat tersebut adalah kesempurnaan dalam hal aqidah pokok (Al-ushul) bukan dalam urusan-urusan furu’iyah. Pemahaman yang keliru terhadap hal ini mengakibatkan banyaknya pertentangan di kalangan ummat Islam. Di kitab-kitab tafsir mu’tamad seperti tafsir ibnu katsir, tafsir Ash-Showi, Tafsir Al-Khozin dan lain sebagainya tidak ada penjelasan yang member kesimpulan bahwa kata sempurna dalam ayat tersebut berarti secara mutlaq Islam suda final dengan dengan wafatnya Rasulullah SAW. bahkan kebanyakan mufassir menjelaskan bahwa menyempurnakan agama yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah petunjuk Allah tentang Islam sebagai agama samawi terakhir yang sebelumnya terdapat agama samawi yaitu yahudi dan nashrani. Maka kedatangan Islam adalah penyempurna untuk kedua agama tersebut bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk Islam baik dia semula beragama yahudi, beragama nashrani ataupun agama-agama yang lain. Tidak ada seorangpun ulama’ ahli tafsir yang menafsirkan kesempurnaan agama yang dimaksudkan adalah bentuk dan performa Islam telah final karena memang Islam sangat terbuka terhadap kemajuan dan perkembangan zaman. Ibnu katsir menjelaskan bahwa kesempurnaan Islam yang dimaksudkan adalah setelah Islam diturunkan maka ummat manusia tidak lagi butuh kepada agama yang lain karena Islam adalah agama terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT kepada ummat manusia (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3 Hal : 13). Imam Al-jalalain menjelaskan bahwa ayat tersebut diawali dengan “pada hari dimana oran-orang kafirmenginginkan kemurtadan kalian setelah kalian beriman maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepadaku, pada hari ini telah ku sempurnakan bagimu agamamu… dst”. Yang berarti bahwa Allah mengemukakan Islam adalah agama yang disempurnakan bagi pemeluknya, maka ia arus kuat bertahan dengannya walaupun banyak orang kafir yang menggodanya untuk meinggalkan agamanya (Tafsir Al-Jalalain jilid 1 Hal : 35). Imam Ash-Showi selanjutnya menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut tidak ada hukum syaria’ah yang dapat diambil karena kesempurnaan Islam yang dimaksudkan adalah kesempurnaannya sebagai agama atas agama-agama lainnya dalam hal segala aspeknya ‘aqidah maupun syari’ahnya. Akan tetapi tidak menjelaskan bahwa kesempurnaan yang dimaksudkan adalah tidak adanya hukum-hukum baru yang dituntut oleh perubahan waktu dan tempat (Tafsir Ash-showi Jilid 1 hal : 305). Para ulama’ yang lain menjelaskan bahwa Islam senantiasa terbuka untuk kemajuan zaman. Syari’at Islam akan mengalami dinamisasi dalam arti menerima hal-hal baru yang pada intinya hal-hal baru tersebut sejalan dengan maqashidusyari’ah stsu tujuan pokok syari’ah yaitu sebagai penuntun jalan kehidupan ummat manusia. sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Islam itu cocok bagi segala waktu dan tempat”. Maka pemahaman bahwa kesempurnaan Islam adalah kesempurnaan segala hukum syari’ah yang harus sesuai dengan apa yang ada pada zaman rasulullah adalah pemhaman yang picik dan terlalu mengada-ada. Dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan: “Islam membuka jalan apabila sempit maka perluaslah” (Masail Qawaidul Fiqhiyyah Hal : ) 3. Tanggapan Terhadap Setiap Bid’ah Adalah Kesesatan Penjelasan tentang bid’ah sebagaimana ditulis dalam buku kesempurnaan Islam dan bahaya bid’ah oleh syaikh al-utsaimin adalah sebatas apa yang beliau tafsirkan tanpa memperhatikan penafsiran lain dari ulama’ – ulama’ di luar golongan salafi wahabi. Logika-logika yang dihadirkan masih sebatas pada logika nalar dalam tataran teks hadits Rasulullah SAW tidak secara substansial dari hadits tersebut. Padahal dalam menafsirkan sebuah hadits Rasulullah tidak cukup ditafsirkan berdasarkan tekstual hadits tersebut untuk mendapatkan makna yang utuh. Pendapat Al-Utsaimin bahwa orang – orang yang meyakini sifat-sifat Allah SWT sering mengejek orang yang berbeda pedapat dengan mereka adalah ungkapan yang mengada- ada karena biasanya para salafi wahabi lah yang suka mengkafirkan dan membid’ahkan orang-orang diluar kelompok mereka. Termasuk perkataan (tuduhan) Syekh Al-Utsaimin yang mengatakan bahwa orang yang mengadakan maulid sering mencela orang yang tidak mau mengadakan maulid sebagai orang yang tidak mencintai Rasulullah SAW adalah tuduhan yang keji, karena golongan Salafi Wahabi lah yang justru suka mengolok dan mengejek orang yang merayakan maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Bahkan mereka sering mengatakan bahwa peringatan maulid adalah perkara munkar yang lebih berdosa dari meminum khamr yang jelas-jelas dilarang oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an. Padahal dalam bukunya Syaikh Al-Utsaimin mengatakan di halaman 29 bahwa apa yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW tetapi disambut baik oleh semua ummat Islam seperti sekolah, penyusunan buku dll itu bukanlah bid’ah karena itu adalah sarana untuk melaksanakan ibadah sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai dengan tempat dan zamannya. Maka apakah kita tidak boleh menjadikan mauled yang isinya adalah membaca shalawat kepada Nabi SAW, Taushiah keagamaan, pembacaan ayat-ayat suci Al-qur’an sebagai sarana ibadah. Kalau mau jujur maka tentu saja tidak akan menyerang orang yang mauled begitu rupa hanya lantaran Ia sendiri tidak memperingatinya. Perkara bid’ah sebagai inti perbedaan sebenarnya adalah suatu khilafiyah yang seharusnya tidak perlu dipermaslahkan karena perkara tersebut tidak berkaitan dengan hukum pokok dalam Islam melainkan hanya bersiat furu’iyah. Kalaupun ada yang menganggap sesuatu perkara yang bid’ah tidak perlu dengan mencela dan mengkafirkan (membid’ahkan) sesama muslim. Bukankah sesama muslim seharusnya saling menyayangi dan menghormati dalam melaksanakan agamanya dengan jalan-jalan yang di pilih. Bukankah jalan suluk yang harus ditempuh dalam mendekatkan diri kepada Allah teramat banyak?. Imam asy-Syibli RA manyatakan : “Sesungguhnya jalan-alan menuju Allah sebanyak tarikan nafas makhluk-makhluk Allah.” Maka, kalaupun Syekh al-Utsaimin mengklaim beberapa amaliyah kaum muslimin sebagai bid’ah itu adalah keyakinan beliau sendiri dan penafsiran beliau sendiri. Tetapi klaim yang diberikan kepada kaum muslimin tanpa melihat pendapat-pendapat ulama’ yang lain tentu saja tidak dapatdibenarkan. Berikut akan penulis paparkan beberapa dalil dan argumentasi terhadap beberapa amaliyah yang dianggap bid’ah oleh syekh al-utsaimin. Supaya jelas bahwa anggapan bahwa setiap perkara baru adalah bid’ah adalah pemahaman yang picik dalam memahami nash - nash dalam hukum Islam. Penulis mencoba menguraikannya dalam meluruskan pemahaman tentang bid’ah dengan mengutip beberapa penjelasan dalam buku “Mana Dalilnya?” Karya Habib Naufal Bin Muhammad Alaydrus. 4. Meluruskan Pemahaman Tentang Bid’ah Bid’ah merupakan sebuah kata yang tidak asing bagi kita semua. Ia berhubungan dengan banyak hal di dalam Islam. Sayangnya, banyak orang yang belum memahami makna bid’ah dengan benar. Sehingga, tidak jarang mereka terjebak dalam perselisihan. Sebenarnya, para ulama telah menjelaskan permasalahan ini dengan jelas, hanya saja kita kurang mempelajarinya. Dalam bab ini akan kami sampaikan uraian singakat tentang bid’ah, dengan harapan tidak terjadi lagi salah pemahaman terhadapnya. Semoga Allah membukakan pintu hati kita untuk mengetahui kebenaran, Amin. a. Arti Bid’ah Secara Bahasa Dalam berbagai kamus bahasa Arab, kita dapat menemukan arti bid’ah secara bahasa (etimologis) dengan mudah. Dalam kamus Al-Munjid di sebutkan : “Bid’ah dalah sesuatu yang di adakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu”. Pada dasarnya, semua kamus bahasa Arab mengartikan bid’ah secara bahasa sabagai sebuahb perkara baru yang diadakan atau diciptakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu. Penciptanya disebut Mubtdi’ atau Mubdi’. Langit dan bumi dapat juga disebit bid’ah, sebab keduanya diciptakan oleh Allah SWT tanpa adanya contoh terlebih dahulu. Di dalam Al-Qur’an Allah mewahyukan : ”Allah Pencipta blangit dan bumi (tanpa contoh).” (Al-Baqarah, 2 : 117) b. Arti Bid’ah Secara Istilah Agama (Terminologis) Sebuah Hadits tidak cukup sebagai dasar untuk menetapkan arti bid’ah. Kita harus mempelajari semua hadits yang berkaitan dengannya. Tentunya tidak semua orang memiliki waktu dan pengetahuan yang cukup untuk melakukannya. Alhamdulillah, para ulama telah bekerja keras untuk merumuskan dan menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan bid’ah. Dalam bab ini, kami akan sampaikan pendapat Imam Syfi’I rhm, seorang Ulama ternama yang keilmuan dan kesalehannya diakui oleh dunia sejak ndahulu hingga saat ini. -Pendapat Imam Syafi’I rhm Imam syafi’I berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk) atau bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah Madzmumah (yang tercela). Pendapat beliau ini belaku bagi semua hal yang baru yang terjadi setelah zaman Rasulullah SAW dan zaman Khulafaur Rasyidin. Harmalah bin Yahya menyatakan bahwa beliau mendengar (Imam) Syafi’I rhm berkata : “Bid’ah itu ada dua, bid’ah mahmudah (yang terpuji) fan bid’ah madzmumah (yang tercela). Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah yang terpuji. Sedangkan yang bertentangan dengan sunnah adalah bid’ah yang tercela.” Rabi’ ra menceritakan bahwa Imam Syafi’I berkata : “Hal hal yang baru (muhdatsat) itu ada dua. Pertama, hal baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunah, Atsar maupun Ijma’. Hal baru ini merupaka bid’ah yang tidak tercela. Pembaca yangb budiman, anda mungkin bertanya, mengapa Imam Syafi’I rhm berpendapat demikian, sedangkan Rasulullah SAW telah bersabda : “Barang siapa diberi hidayah oleh Allah, maka tiada siapapun yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tiada siapa pun dapat memberinya hidayah (petunjuk). Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (hal-hal baru) dan semua muhdatsat (yang baru) adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka.” (HR Nasa’i) “Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsat (hal-hal baru), karena sesungguhnya semua muhdatsat (yang baru) itu bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat,” (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah) Hadits diatas memang benar, tetapi kita tidak boleh tergesa-gesa memutuskan bahwa semua bid’ah sesat. Untuk dapat memahaminya dengan benar, kita harus mengkaji semua Hadits yang berhubungan dengannya, sehingga kita tidak terjerumus pada penafsiran yang salah. Dibawah ini akan coba kami jelaskan makna dari hadits diatas, semoga Allah melapangkan hati kita untuk memahaminya dengan benar. Amin. Penjelasan Pertama Ketahuilah, untuk dapat memahami sebuah ayat dengan benar kita harus mempelajari sebab turunnya ayat tersebut dan juga bagaimana penafsiranpara ulama tentangnya. Begitu pula ketika hendak memahami sebuah Hadits, kita harus bertanya kepada para ulama. Sesungguhnya tidak semua ayat atau Hadits dapat diartikan secara langsung sesuai dengan makna lahiriyahnya atau teks yang tertulis. Orang bersikukuh hanya mau memahami sebuah Ayat atau Hadits sesuai dengan teks yang tertulis (makna lahiriyahnya), dan tidak mau menerima penafsiran para ulama, suatu saat ia akan menhalami kebingungan. Hadits tentang bid’ah diatas merupakan salah satu hadits yang memerlukan penafsiran, jika kata semua tidak ditafsirkan, maka apa yang terjadi ? kita semua akan masuk neraka, sebab kehidupan kita dipenuhi dengan bid’ah, cara berpakaian, berbagai jenis perabotan rumah tangga, sarana transportasi, pengers suara, permadani yang terhampar dimasjid-masjid, lantai masjid yang terbuat dari batu marmer, penggunaan sendok dan garpu, hingga berbagai kemajuan teknologi lainya, semua itu merupakan hal baru yang tidak pernah adazaman Rasul SAW dan para sahabat beliau. Semuanya adalah bid’ah dan Rasulullah SAW menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka. Ketika dihadapkan pada pertanyaan seperti ini, jawaban apa yang di berikan ole mereka yang hanya berpegang pada makna lahiriyah Hadits bid’ah. Dalam Hadits tersebut Rasulullah SAW tidak menjelaskan hal baru apa yang sesat, beliau menyataka semuanya sesat. Sehingga, jika Hadits tersebut di pahami secara langsung dan tidak ditafsirkan, semua hala baru dalam permasalah dunia maupun Agama adalah sesat dan pelakunya masuk Neraka. Ternyata, setelah dihadapkan pada pertanyaan seperti ini, mereka akan mengatakan bahwa semua yang tersebut di atas, seperti permadani yang terhampar dimasjid, pengeras suara,m berbagai sarana transportasi dan lain sebagainya adalah bid’ah dunyawiyya. Bid’ah seperti ini tidak sesat, yang sesat hanyalah bid’ah dalam b idang agama atau yang biasa disebut dengan dengan bid’ah diniyyah (keagamaan). Sungguh aneh bukan, jika sebelumnya mereka bersikukuh pada makna lahiriyah hadits yang menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat, serta menganggap pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah sebagai suatu yang dipaksakan dan bertentangan dengan Hadits Rasulullah SAW, kini mereka sendiri membagi bid’ah itu menjadi dua, bid’ah keduniaan dak bid’ah keagamaan. Saudaraku, Jika mereka boleh membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah keduniaan dan bid’ah keagamaan, padahal Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya, maka para ulama besar seperti Imam Syafi’I rhm pun boleh membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Mari kita berfikir jujur, ternyata semua ulama didunia ini telah menjelaskan arti bid’ah dan membaginya sesuai dengan hasil ijtihat mereka. Inilah salah satu alasan kami menerima pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Penjelasan Kedua Pada uraian diatas telah di jelaskan bahwa tidak semua Hadits di cerna langsung. Ada beberapa Hadits yang perlu di jelaskan dan ditafsirkan, dan salah satunya adalah Hadits tewntang bid’ah tersebut. Hadits kullu bid’atin dhalalatun merupakan Hadits yang bersifat umum. Dalam Hadits seperti ini biasanya terdapat kata atau kalimatyang tidak di sertakan, tidak diucapakan, tetapi telah dipahami oleh pembaca atau pendengarnya. Hadits kullu bid’atin dhalalatun mirip dengan beberapa Hadits di bawah ini : “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai untuk dirinya sendiri.” (HR Bukhari, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad) “Bukan dari golongan kami seorang yang tidak membaca Al-Qur’an dengan suara yang baik (merdu).” (HR Abu Dawud, Ahmad Dan Darimi) “Shalat witir itu benar, maka barang siapa tidak menunaiakan shalt witir, ia bukan dari golongan kami.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad) “Tidaklah berwudhu seseorng yang tiadak menyebut nama Allah dalam wudhunya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi) Jika kata “tidak” dan “bukan dari golongan kami” dalam beberapa Hadits diatas tidak di jelaskan, tidak ditafsirkan, lalu bagaimana nilai wudhu kita, bagaimana nilai bacaan Al_Qur’an kta, bagaimana kedudukan kita dalam Islam Nabi menyatakan, “Bukan dari golongan kami, jika tidak berada dalam golongan Nabi dan para sahabatnya, kita berda dalam golongan (kelompok) siapa ? leh karena itu, Hadits di atas dan sejenisnya, perlu dan harus di tafsirkan dengan hadits lain, sehingga kita tidak salah memahami ucapan Nabi Muhammad SAW. para ulama menyatakan bahwa kata “tidak” dalam Hadits diatas artinya adalah “tidak sempurna”. Dalam Hadoits itu ada kata “sempurna” yang tidak diucapakan oleh Nabi SAW karena sudah dipahami oleh para sahabat, sedangkan kata “bukan dari golongan kami” artnya “bukan dari golongan terbaik kami”.dalam Hadits ini ada kata “terbaik” yang juga tidak di ucapkan Nabi SAW karena telah dipahami oleh para sahabat. Para ulama menjelaskan bahwa dalam hadits kullu bid’atin dhalalatun juga terdapat kalimat yang tidak di ucapkan oleh Nabi SAW, namun telah dipahami oleh para sahabat. Kalimat itu terletak setelah kata “bid’atin”dan bunyinya adalah “Yang bertentangan dengan syari’at” Coba anda perhatikan kalimat yang terletak didalam tanda kurung berikut : “Semua bid’ah (yang bertentangan denagan syari’at) adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka.” Ini juga alasan kami mengapa pendapat Imam Syafi’i di atas kami terima. Penjelasan Ketiga Dalam hadits tersebut diatas, Raulullah SAW menyatakan “Kullu Bid’atin Dholalatun”, jika diterjemahkan secara tekstual artinya “Semua bid’ah adalah sesat”. Benarkah kata “kullu” selalu berarti semua? Dalam Ilmu Mantiq (ilmu Lughah dan Logika) kata “kullu” memiliki dua makna yaitu Kullu bimakna kulliyah dan kullu bimakna juz’iyyah (Lihat: Idhohul Mubham hal 19) Dalam al-qur’an terdapat beberapa kata kullu yang pada kenyataannya tidak berarti semua. Seperti firman Allah: “Angin yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah kami member balasan kepada kaum yang berdosa.” (Al-Ahqof: 25) Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bagaimana angin menghancurkan segala-galanya sehingga orang-orang kafir tersebut terkubur di dalam bumi. Kendati disebutkan bahwa angin tersebut menghancurkan “kulla syai’in” (segala sesuatu), ternyata rumah orang-orang kafir tersebut tidak ikut hancur. Hal ini membuktikan bahwa kata “kullu” tidak selalu berarti semua. Begitu pula dalam hadits “kullu bid’atin dholalatun”. Disana ada sesuatu yang dikecualikan sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia ditolak”. (HR.Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad). Kalimat “Yang tidak bersumber darinya” adalah kalimat yang menjelaskan bahwa tidak semua bid’ah adalah sesat. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW tadi, maka hadist “Kullu Bid’atin Dholalatun”, dapat diartikan sebagai berikut: “Semua Bid’ah itu sesat kecuali yang bersumber dari al-qur’an dan assunnah”. Penjelasan Keempat Setelah memahami keterangan diatas, mari kita pelajari arti muhdatsat (hal-hal baru) dalam Hadits sebelumnya. Para ulamak menyatakan bahwa kata muhdats (hal-hal baru) dalam Hadits tersebut artinya adalah segala hal baru yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabawi. Pernyataan ini di dukung oleh beberapa Hadits. Coba anda simak sabda Rasulullah SAW berikut: “Dan barang siapa mengadakan sebuah bid’ah dhalalah (sesat), yang tidak diridhai Allah dan RasulNya, maka dia memperoleh dosa sebanyak dosa orang yang mrngamalkannya tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka.” (HR Tirmidzi) Dalam Hadits diatas disebutkan, “Barang siapa mengadakan sebuah bid’ah dhalalah (yang sesat).”hal ini menunjukkan bahwa tidak semua bid’ah sesat, tentu beliau Saw akan langsung berkata: “barang siapa mengadakan sebuah bid’ah.” Dan tidak akan menambahdkan kata dhalalah dalam sabda tersebut. Dengan menyebut kalimat “bid’ah dhalalah ( yang sesat), “maka logikanya ada bid’ah yang tidak bid’ah (yang tidak sesat). Di samping itu, dalam sabda yang lain, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia di tolak. (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad) Coba perhatikan, dalam Hadits diatasRasulullah SAW menambahkan kalimat “yang tidak bersumber dari agama”, dan kalimat yang “tidak bersumber dari agama.”akankah sama jika kalimat tersebut dihilangkan. Coba perhatikan perbeda keduanya (yang masih utuh dengan yang sudah terpotong). “Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak.” Bandingkan dengan kalimat berikut: ”Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, maka dia tertolak”. Jika kita perhatikan dengan baik, kedua kalimat di atas sangat berbeda. Kalimaat pertama memberitahukan bahwa hanya hal baru yang tidak bersumber dari agama saja yang di tolak sedangkan kalimat kedua menyatakan bahwa semua yang buruk tertolak. Kini jelasah bahwa penambahan kalimat “yang tidak bersumberdarinya (agama),” merupakan bukti ngan bahwa tidak semua yang baru sesat. Hanya hal baru yang tidak bersumber dari agama sajalah yang sesat. Andaikata semua yang baru adalah sesat, tentu Nabi SAW tidak akan menambahkan kalimat tersebut. Beliau SAW akan langsung berkata, “barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masaah (agama) kami ini maka tertolak,” tetapi hal ini tidak beliau lakukan. Kesimpulannya, selama hal baru tersebut bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, maka dia dapat diterima oleh agama, diterima oleh Allah dan diterima oleh RasulNya SAW. Penjelasan Kelima Rasulullah SAW selalu mendorong ummatnya untuk melaksanakan perintah Allah, menjauhi semua larangan-Nya serta menghidupkan selalu sunnah-sunnah beliau. Tentunya setiap zaman memiliki cara dakwah tersendiri dan setiap masyarakat memiliki adat yang berbeda. Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk berbicara dengan manusia sesuai dengan tingkat pemikiran dan pemahamannya. Untuk menghidupkan sunnah Rasul SAW yang sering kali diabaikan oleh ummat Islam inilah para ulama kemudian memunculkan bernagai gagasan dan ide cemerlang yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat. Gagasan tersebut mereka peroleh setelah mendalami Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, jangan gegabah dan tergesa-gesa menuduh bahwa suatu hal yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai bid’ah sesat yang harus di perangi. Tetapi dengan kedewasaan berfikir, marilah kita kaji landasan dan dalil yang mereka gunkan dalam kegiatan keagamaan tersebut. Jika memang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, mari kita bersama-sama kita dakwahi dengan cara yang bijaksana dan nasihat yang baik. Dan jika memang ada sumbernya dari Al-Qur’an dan Hadits, mari kita dukung bersama sebagai sarana untuk menghidupkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Pembagian Bid’ah Menjadi Lima Secara umum bid’ah memang ada dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, akan tetapi, kita semua tahu bahwa tidak semua yang baik itu wajib dan tidak semua buruk itu haram. Ada yang bersifat sunnah ada pula yang mubah dan makruh. Begitupula dalam permasalahan bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Ada beberapa ulama membaginya menjadi lima bagian, di antaranya adalah Imam Nawawi ra. Beliau berkata: “Para ulama menyatakan bahwa bid’ah itu terbagi menjadi lima, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah haram, bid’ah makruh dan bid’ah mubah.” Bid’ah Wajib Bid’ah wajib adalah bid’ah yang harus dilakukan demi menjaga terwujudnya kewajiban yang telah di tetapkan Allah. Contohnya : mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an menjadi satu mushaf demi menjaga keaslian Al-Qur’an, karena telah banyak penghapal Al-Qur’an yang meninggal dunia, sebagaimana yang telah dilakukah oleh khalifah Abu Bakar dan Umar ra. Bid’ah Haram (Dhalalah) Bid’ah haram adalah semua bid’ah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabawi. Contohnya: menganggap seorang muslim yang berbeda aliran dengannya sebagai najis. Padahal, di dalam Al-Qur’an orang kafirpun jasadnya tidak najis, sehingga Nabi SAW mengikat seorang tawanan di dalam masjid. Bid’ah Sunnah Bid’ah sunnah adalah bid’ah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan bersifat menghidupkan Sunnah Nabi SAW. Contohnya : menyelenggarakan shalat tarawih sebulan penuh secara berjamaah di Bulan suci Ramadhan. Bid’ah Makruh Bid’ah makruh adalah semua bid’ah yang berhubungan dengan hukum makruh, di antaranya adalah membaca basmalah ketika akan merokok Bid’ah Mubah Bid’ah mubah adalah bid’ah yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, tidak pula di anjurkan oleh keduanya. Di antaranya adalah membuat makanan yang lezat-lezat, membuat rumah yang luas dan besar, menunaikan ibadah haji dengan menggunakan pesawat udara, melancong keluar Negeri dan sebagainya. ANCAMAN BAGI PEMBUAT DAN PELAKU BID’AH DHALALAH Dalam beberapa Haditsnya, Rasulullah SAW mengancam dengan keras para pembuat dan pelaku bid’ah dhalalah. Dua Hadits berikut cukup sebagai ancaman, Rasulullah SAW bersabda: “Allah tidak akan menerima puasa, shalat, sedekah (zakat), haji, umrah dan ibadah wajib maupun sunnah ahli bid’ah. Di akan keluar dari Islam seperti sehelai rambut dari adonan tepung.” (HR Ibnu Majah) “Allah enggan menerima amal ahli bid’ah sehingga ia meninggalkan bid’ahnya tersebut.” (HR Ibnu Majah). Hadanallahu Waiyyakum Ajma’in. Anjani, 12 Rabi’ul awwal 1433 H. DAFTAR RUJUKAN 1. TAFSIR IBNU KATSIR OLEH AL-HAFIDZ ABUL FIDA’ ISMA’IL IBNU KATSIR. 2. TAFSIR AL-JALALAIN OLEH SYAIKH AL-IMAM JALALUDDIN AL-MAHALLI DAN SYAIKH AL-IMAM JAJALUDDIN AS-SUYUTHI 3. TAFSIR ASH-SHOWI OLEH SYAIKH AHMAD BIN MUHAMMAD ASH-SHOWI AL-MALIKI AL-KHALWATI 4. MANA DALILNYA SEPUTAR TAWASSUL DAN ZIARAH KUBUR OLEH HABIB NAUFAL BIN MUHAMMAD ALAYDRUS 5. ULAMA’ SEJAGAD MENGGUGAT SEKTE SALAFI WAHABI OLEH SYAIKH IDAHRAM 6. HAULUL IHTIFAL BI DZIKRO MAULIDIRRASULI SAW OLEH SYAIKH AS-SAYYID ALAWY ABBAS AL-MALIKI 7. NAHDLATUZZAINIYYAH FIR RADDI ALAL WAHHABIYYAH OLEH SYAIKH SAYYID ZAINI DAHLAN AL-MAKKI