Saturday 9 November 2013

HUKUM KELUARGA ISLAM TENTANG PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN Di Indonesia, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk. Sampai saat ini terdapat 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW) . Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu. Padahal seharusnya sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat. Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam , maka umat islam di Indonesia tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan. Hal ini tentu saja karena dalam islam, ketentuan adat juga bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Terlebih apabila hukum adat itu tidak bertentangan secara substansi dengan hukum Islam itu sendiri. Bahkan pada beberapa sisi hukum Islam akan menjadi semakin kaya dan sesuai dengan keadaan, situasi dan kondisi. B. PEMBAHASAN TENTANG HUKUM WARIS ISLAM Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia dalam Islam memiliki implikasi hukum wajib, sunat, haram, mubah atau makruh. Di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti (clear and fix statement), sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan pasti. Padahal sudah menjadi sifat alami manusia untuk senantiasa bertanya dan menggemari hal-hal yang bisa membuat pikirannya menjadi terpuaskan termasuk dengan mengetahui hikmah dan motif hukum tersebut. Seringkali manusia mengalami kegelisahan intelektual termasuk dengan pemberontakan kepada ajaran agama . Maka sebagian ulama’ juga mencoba untuk menjelaskan hikmah-hikmah dan motif tersebut. Para mujtahid telah menerangkan kemuslihatan-kemuslihatan hukum yang merupakan ttujuan-tujuan hukum, kemudian para muhakkiki menyajikan hikmah-hikmah hukum yang terkadang tidak dijelaskan secara ekplisit oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Hal yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkemmbangan kemajuannya. Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadapi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (lelaki atu perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan juga hak bagiannya masing-masing. Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan. Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka . Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan. Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris adalah cukup banyak. Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni : 1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda; dan 2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda. Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat. Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut . Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya . Namun beliau juga menolak dengan alasan bahwa setiap tempat memiliki fatwa tersendiri terhadap permasalahan syari’at Islam. Meski demikian, beberapa Negara Islam telah mencoba merumuskan hukum keluarga secara nasional. Turki adalah Negara Islam yang dapat dipandang sebagai pelopor dalam menyusun UU Hukum Keluarga (1326 H) yang berlaku secara nasional, dan materinya kebanyakan diambil dari maznab Hanafi, yang dianut oleh kebanyakan penduduk Turki. Di Mesir, pemerintah membentuk sebuah badan resmi terdiri dari para ulama dan ahli hukum yang bertugas menyusun rancangan berbagai undang-undang yang diambil dari hukum fiqh Islam tanpa terikat suatu mazhab dengan memperhatikan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Maka dapat dikeluarkan UU Nomor 26 tahun 1920, UU Nomor 56 tahun 1923, dan UU Nomor 25 Tahun 1929, ketiga UU tersebut mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, nafkah, idah, nasab, mahar, pemeliharaan anak dan sebagainya. Hanya UU pertama yang masih diambil dari mazhab empat, sedangkan UU kedua dan ketiga sudah tidak terikat sama sekali dengan mazhab empat. Misal pasal tentang batas minimal usia kawin dan menjatuhkan talak tiga kali sekaligus hanya diputus jatuh sekali. Kemudian tahun 1926 sidang kabinet atau usul Menteri Kehakiman (Wazirul ‘Adl menurut istilah disana) membentuk sebuah badan yang bertugas menyusun rancangan UU tentang Al-Akhwal al-Syakhsiyyah, UU wakaf, waris, wasiat dan sebagainya. Maka keluarnya UU Nomor 77 Tahun 1942 tentang waris secara lengkap. Di dalam UU waris ini terdapat beberapa ketentuan yang mengubah praktek selama ini. Misalnya saudara si mati (lelaki atau permpuan) tidak terhalang oleh kakek, tetapi mereka bisa mewarisi bersama dengan kakek. Demikian pula pembunuhan yang tak sengaja menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris. Di Indonesia hingga kini belum pernah tersusun Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap tentang Al-Akhwal al-Syakhsyiyah termasuk hukum waris, yang tidak berorientasi dengan mazhab, tetapi berorientasi dengan kemaslahatan dan kemajuan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik penyusunannya itu dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta ataupun olah perorangan (seorang ulama). C. PRINSIP-PRINSIP KEWARISAN ISLAM Hukum islam telah menerangkan dan mengatur hal-hal ketentuan yang berkaitan dengan pembagian harta warisan dengan aturan yang sangat adil sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadist, dalam hukum waris ini telah ditetapkan dengan rinci bagian masing-masing ahli waris baik laki-laki ataupun perempuan mulai dari bapak, ibu, kakek , nenek, suami, istri, anak, saudara, dan seterusnya. Adapun ketetapan mawaris dijelaskan pula dalam hadist. hanya hukum warislah yang dijelaskan secara terperinci bagian-bagiannya serta kaifiyat pelaksanaannya dalam al-Quran sebab waris merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dalam islam ataupun dalam negara serta di benarkan adanya oleh Allah swt. Adapun sumber hukum ilmu mawaris adalah al-Quran dan Hadist atau Sunnah Rasul kemudian ijtihad para ulama, bukan bersumber kepada pendapat seseorang yang terlepas dari jiwa al-Quran maupun Sunah Rasul. Karena merupakan hukum yang berkaitan dengan hak seorang yang berkaitan dengan hak orang lain maka hukum waris dalam islam didasarkan pada lima asas (prinsip-prinsip) utama sebagai berikut: 1. Asas Ijbari Asas ini berarti bersifat mengikat bagi setiap umat islam. Yakni tidak memberikan kebebasan secara mutlak kepada pewaris untuk memindahkan harta peninggalannya kepada orang lain baik melalui wasiat atau hibah . 2. Asas Bilateral Asas bilateral berarti hanya mengakui pewarisan dengan sebab hubungan kerabat, zawjiyah dan al-wala’ 3. Asas Individual Asas individual berarti harta mawaris diberikan secara individual dengan ketentuan bagian masing-masing sesuai dengan ketentuan dalam ilmu faraidl . 4. Asas Keadilan Berimbang Asas keadilan berimbang maksudnya pewarisan dalam islam harus berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan yang berimbang. Bagi setiap orang mendapatkan bagiannya secara berimbang . 5. Asas Semata Akibat Kematian Asas ini berarti pewarisan dalam islam hanya bisa tterjadi setelah pewaris meninggal dunia . Yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah yang ditinggalkan meninggal dunia walau hanya beberapa saat saja. D. PELAKSANAAN HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA Sejak berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama. Di Jawa dan Madura pada tahun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf. Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas. Pada tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan. Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957 yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah, dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku. Menurut Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic Courts in Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan kekuasaanya atas perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih tetap menyelesaikan perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Hal ini terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri. Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa waris Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu. Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor Agraria. Pada tahun 1977/1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengadakan penelitian di lima daerah, yakni D.I. Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut : 1. Masyarakat Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65% 2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama 77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5% . Kemudian kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun 1978/1979 di Sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram dan sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut : 1. Masyakarat Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya 11,7% 2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%. Karena itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum faraid (hukum waris Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, patut disesalkan apabila kasus-kasus warisan keluarga Muslim seperti kasus warisan H. Subhan Z.E. diputus oleh Pengadilan Negeri menurut hukum adat pada tanggal 16 Maret 1973 (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan pertimbangan antara lain, “Walupun pewaris/almarhum H. Mas Subhan adalah seorang tokoh Islam di Indonesia tidak berarti dapat diberlakukan hukum waris Islam oleh karena almarhum/pewaris berasal dan tempat tinggal di Jawa”. Jelaslah, bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E. tersebut masih menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945 sebagai konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische Staatsregeling sebagai konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu . Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori resepsi telah ditinggalkan, ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di dalamnya terdapat beberapa pasal dan penjelasannya yang menunjukkan peranan agama untuk sahnya perkawinan dan perjanjian perkawinan dan sebagainya tanpa ada embel-embel “yang telah diterima oleh hukum adat”. E. PLURALISME HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA Hukum perdata yang berlaku di Indonesia, termasuk di dalamnya masalah pewarisan, sampai sekarang masih beraneka ragam, masih belum mempunyai kesatuan hukum yang dapat diterapkan untuk seluruh warga Indonesia. Keanekaragaman hukum waris tersebut dapat dilihat dari adanya pembagian hukum waris kepada: 1. Hukum waris yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata (KUHPt/BW), Buku I Bab XII sampai dengan XVII dari pasal 830 sampai pasal 1130. 2. Hukum waris yang terdapat dalam Hukum Adat, yaitu dalam bagian hukum waris adat. 3. Hukum waris yang terdapa dalam hukum waris Islam, yaitu ketentuan dalam hukum waris Islam yang disebut Mawarits atau Ilmu Faraidl. Hukum waris BW berlaku bagi orang-orang Tionghoa dan Eropa, hukum waris adat berlaku bagi orang-orang Indonesia asli, sedangkan hukum waris Islam berlaku bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam dan orang-orang Arab. Diambil dari pendapat Hazairin, bahwa di Indonesia terdapat tiga sistem kewarisan, yakni sebagai berikut: 1. Sistem kewarisan individual yang cirinya adalah bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan pemilikannya di antara ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa dan dalam masyarakat patrilineal di Batak. 2. Sistem kewarisan kolektif yang cirinya adalah bahwa harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang merupakan semacam badan hukum di mana harta tersebut yang disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagikan pemilikannya di antara ahli waris, dan hanya boleh di bagi-bagikan pemakaiannya kepada mereka itu, seperti dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau. 3. Sistem kewarisan mayorat dimana anak yang tertua pada saat matinya para pewaris berhak tunggal untuk mewarisi seluruh harta peninggalan, atau berhak tunggal untuk mewarisi sejumlah harta pokok dari satu keluarga, seperti dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih di Bali (hak mayorat dimiliki oleh anak laki-laki yang tertua) dan Tanah Semendo. F. HUKUM KEWARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia yang merupakan proyek Pembangunan Hukum Islam di Indonesia, dimulai sejak tahun 1985. Rancangan kompilasi tersebut disusun oleh tim yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Agama dan Mahkamah Agung. Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia untuk pertama kali diumumkan oleh Menteri Agama RI pada waktu itu yaitu Munawir Sadzali, MA pada bulan Februari 1985 dalam ceramahnya di depan para Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Semenjak itu ide ini menggelinding dan mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Hukum kewarisan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada dasarnya merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur Fuqaha’ (terutama Syafi’iyah karena merupakan aliran mayoritas di Indonesia). Beberapa ketentuan hukum kewarisan yang merupakan pengecualian dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia antara lain adalah: a. Mengenai anak dan orang tua angkat Dalam ketentuan hukum waris, menurut jumhur fuqaha, anak angkat tidak saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Sedangkan dalam KHI, perihal anak dengan orang tua angkat ini diatur bagiannya sebagaimana ahli waris lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam pasal-pasal sebagai berikut: - Pasal 171 (h): Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asala kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. - Pasal 209 (1): Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya . - Pasal 209 (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya . b. Mengenai Bagian Bapak Bagian bapak menurut jumhur adalah 1/6 bagian apabila pewaris meninggalkan far’ul warits, 1/6 ditambah sisa jika meninggalkan far’ul warits tapi tidak ada far’ul warits laki-laki dan menerima ashabah jika tidak ada far’ul warits. Sedangkan dalam KHI, bagian bapak apabila pewaris tidak meninggalkan far’ul warits adalah 1/3 bagian. Hal ini sebagaimana termaktun dalam pasala di bawah ini: - Pasal 177: Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak ayah mendapat seperenam bagian . c. Mengenai Dzawul Arham Pasal-pasal dalam KHI tidak menjelaskan tentang keberadaan dan bagian penerimaan ahli waris Dzawul Arham. Mungkin pertimbangannya karena dalam kehidupan sekarang ini keberadaannya jarang terjadi atau tidak sejalan dengan ide dasar hukum warisan. Padahal mengenai pewarisan dzawul arham ini sudah menjadi kesepakatan para fuqaha. d. Mengenai Radd Dalam masalah radd ini KHI mengikuti pendapat Usman bin Affan yang menyatakan bahwa apabila dalam pembagian terjadi kelebihan harta, maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada ahli waris, tanpa terkecuali. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam pasal berikut: - Pasal 193: Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris dzawul furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut. Sedangkan jika tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedangkkan sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka. Hal ini berbeda dengan pendapat jumhur yang berpendapat bahwa suami atau istri tidak berhak menerima radd. Hal ini karena suami/istri dianggap jalur kesamping dalam hal pewarisan. f. Mengenai Ahli Waris Pengganti Mengenai wasiat wajibah kepada ahli waris yang orangtuanya telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, pada hakikatnya diatur dalam KHI. Sebagaimana dalam pasal sebagai berikut: - Pasal 185 (1): Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173 - Pasal 185 (2): Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. G. PENUTUP Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa hukum Islam khususnya hukum keluarga, termasuk hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Namun demikian akibat politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang hendak mengikis habis pengaruh Islam dari negara jajahannya – Indonesia, maka secara sistematis step by step Belanda mencabut hukum Islam dari lingkungan tata-hukum Hindia Belanda. Dan akibat politik hukum Belanda yang sadis itu masih dirasakan oleh umat Islam Indonesia sampai sekarang. Akibatnya di Indonesia hingga kini belum ada kitab/himpunan Hukum Islam yang lengkap terutama mengenai Hukum Keluarga Islam termasuk Hukum Waris Islam Indonesia, baik yang tradisional maupun yang modern sehingga para ulama’ dan cendekiawan Muslim perlu segera menyusun Himpunan Hukum Islam tersebut tanpa terikat dengan suatu madzhab tertentu, tetapi hukum Islam tersebut harus bisa memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan kemaslahatan umat, dan kemajuan zaman. Khusus hukum waris Islam yang ternyata diterima dan dikehendaki berlakunya oleh umat Islam di semua daerah yang telah diteliti oleh BPHN dan Fakultas Hukum UI pada tahun 1977-1979, dan praktek-praktek Pengadilan Agama dalam hukum waris Islam yang sangat mengesankan; maka sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama disejajarkan dengan Pengadilan Negeri. Sehingga UU tentang Struktur dan Yurisdiksi Pengadilan Agama benar-benar menempatkan kedudukan Pengadilan Agama sejajar dengan Pengadilan Negeri. Wallahu a’lam bisshawab   DAFTAR PUSTAKA 1. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007 2. Afandi, Mansur, Peradilan Agama Strategi dan Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama, Malang: Setara Press, 2009 3. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983 4. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984 5. Ash-Shobuni, Muhammad Ali, Ilmu Al-Mawaris terjemah: Muhyiddin. Surabaya: Usaha Anda. 1990 6. Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6. Cf. Tabel 9. 7. Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983. 8. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta: Bina Aksara, 1982 9. Forum Kalimasada Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, Kearifan Syariat menguak Rasionalitas Syariat Perspektif Filosofis, Medis, dan Sosiohistoris, Kediri: Lirboyo Press. 2009 10. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadits, Jakarta: Tintamas. 1992. 11. H.F Rahadian, Imam Maliki Ulama’ Cendekia, cet. 2, Jakarta: Salam Prima Media. 1998. 12. Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980. 13. Muhammad Sallam Madkur, Al-Madkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960 14. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. 15. Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya: Bina Ilmu, 1981. 16. ___________, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No. 2 Tahun I, 1983. 17. Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan Risalah, 1984. 18. Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A’immah, Jeddah: Al-Haramain lit-Thiba’ah wa an-nasya’ wat tawzi’. Tt. 19. Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: B.P. Gadjah Mada, 1963 20. Suparman Usman dan Yusuf Somawinata. Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam. cet.2 Jakarta: Gaya. 2002 21. Syaikh Zainuddin Abdul Madjid. Tuhfatussaniyyah Fi Syarhi Nahdlatuzzainiyyah. Pancor: Toko Kita. 1987

No comments:

Post a Comment