Saturday 9 November 2013

AWAL PERKEMBANGAN TRADISI KAJIAN HUKUM ISLAM AHLUL HADITS DAN AHLI RA’YI Oleh: HURNAWIJAYA, S.HI 1. Prolog Periode tabi’in merupakan priode kedua setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Pada priode ini, kondisi wilayah kekuasaan Islam semakin luas, sehingga para generasi pasca sahabat mulai tersebar ke beberapa wilayah di luar kota madinah. Pada priode ini juga dinamika umat islam kian beragam dalam segala aspek kehidupan mereka. Dinamika ummat islam sebenarnya dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW. Banyak factor yang mengakibatkan munculnya beberapa faksi ditubuh ummat islam ketika itu. Kondisi perpolitikan dimana terjadi konflik internal, khususnya periode kekhalifaan Usman bin Affan RA, karena dianggap terjadi nepotisme dengan banyak melibatkan keluarga Bani Umaiyah dalam pemerintahannya dianggap oleh sebagian ulama’ sebagai pemicu awal perbedaan pandangan di antara para sahabat. Konflik tersebut mengakibatkan terbunuhnya Usman, kemudian selanjutnya Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai penggantinya. Pengangkatan Ali sebagai Khalifah banyak diperotes oleh kalangan sahabat termasuk isteri Nabi “Aisyah”. Sehingga kondisi politik pada saat sangat memanas sampai terjadi “Mauqi’atul Jamal (Perang Unta)” dan “Mauqi’atu Shiffin” (Perang Shiffin). Konflik ini melahirkan sekte-sekte yang dikenal dengan golongan Khawarij dan Syi’ah. Golongan Khawarij adalah mereka yang keluar dari kelompoknya Ali, karena menganggap gencatan senjata yang dilakukan dengan tentara Muawiyah adalah perbuatan dosa besar. Kelompok ini juga memunculkan masalah-masalah fiqh (di antaranya fiqh politik; hukum pidana, seperti syarat seorang untuk menjadi kahlifah; sanksi perzinahan; peencurian dsb). Golongan Syi’ah adalah pengikut setia Ali Bin Abi Thalib, mereka mengagungkan Ali, termasuk dalam posisinya sebagai khalifah bahkan cenderung mengkultuskan Ali. Pada priode ini muncul pula dua kecenderungan dalam metode pelegislasian hukum Islam, pertama adalah aliran yang cenderung memberikan kelonggaran ketika menetapkan hukum suatu masalah dan metode ijtihadnya banyak berorientasi kepada penalaran (ra’yi), qiyas serta kajian terhadap maksud dan tujuan diturunkannya syari’at Islam. Kedua adalah aliran yang cenderung bersifat ketat ketika menetapkan hukum suatu masalah sebab lebih mengedepankan Hadits ketimbang penalaran. Kedua kelompok yang berbeda ini dikenal dengan ahlul ra’yi dan ahlul Hadits. 2. Ahli Ra’yi a. Pengertian Ahlu Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber Ra’yi atau ijtihad ketimbang Hadits. Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah. Menurut bahasa Ar-Ra’yi artinya pemahaman dan akal budi. Manusia dikaruniai oleh Allah dengan diberikan akal budi, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang mempunyai akal. Dengan akal itulah manusia wajib berpikir tentang segala sesuatu, termasuk berpikir tentang persoalan hukum yang tidak terdapat dalam nash Al Qur’an dan As Sunnah. Madzhab ahlur ra’yi ialah golongan yang berpendapat bahwa hukum hukum syari’at dapat difahamkan maknanya dan mempunyai beberapa dasar yang harus menjadi pegangan . Golongan ini dapat menetapkan hukum berdasarkan ra’yu (qiyas) apabila dalam suatu masalah yang dihadapi tidak didapati nash-nash Al-Qur’an atau Hadits. Mereka menfatwakan hukum menurut ijtihadnya dikala tidak terdapat baginya dalil yang terang dan tegas. Juga mereka menyelidiki ‘illat hukum dan makna-makna yang maksudkan dari padanya. Golongan ini tidak keberatan menolak Hadits yang disampaikan orang kepadanya, bila menurut mereka Hadits itu berlawanan dengan dasar-dasar syari’at, ataupun apabila berlawanan dengan Hadits-Hadits lain. Aliran Ra’yi adalah mereka para fuqaha’ Irak dan sekitarnya yang dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode berfikir sahabat Umar bin Khattab RA dan Abdullah bin Mas’ud RA, yang keduanya terkenal sebagai sahabat yang banyak menggunakan Ra’yi sebagai dasar penentuan hukum syariat. Di kuffah muncullah pemuka hukum dari golongan tabi’in yang terkenal ialah Alqamah Ibnu qais dan alQadhi Suraih beserta murid-murid mereka yang termasyhur adalah an-Nakha’i . b. Latar Belakang Sosio Historis Ahlur Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber Ra’yi atau ijtihad ketimbang Hadits . Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah. Menurut Muhammad Ali as-Sayis bahwa munculnya aliran sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni : 1) Keterikatan yang sangat kuat terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud RA yang dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab RA yang sering menggunakan Ra’yi. 2) Minimnya mereka menerima Hadits nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya memadakan Hadits yang disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Iraq seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga meinim menggunakan Hadits sehingga mendorong mereka untuk menggunakan Ra’yi juga dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap Hadits dengan cara memberikan kriteria-kriteria yang sangat sulit. Seleksi yang sungguh ketat yang mereka terapkan berpengaruh terhadap minimnya Hadits yang dapat diterima sebagai dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka lakukan ini termotivasi oleh munculnya pemalsu-pemalsu Hadits yang kala itu jumlahnya yang tidak sedikit. 3) Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi hukum. Masalah-masalah ini muncul dikarenakan pesatnya perkembangan budaya yang terjadi di Iraq kala itu, terutama yang berasal dari Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan ketika budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus dicari solusi hukumnya. Minimnya Hadits yang mereka peroleh menggiring mereka untuk menggunakan Ra’yi. Dalam beberapa referensi lain, munculnya dua fakultas atau aliran tersebut (Ahlu Hadits dan Ahlu Ra`yi) lebih disebabkan adanya desakan-desakan warisan struktural dan kultural sekaligus. Dimensi struktural yang mengakibatkan lahirnya dua aliran itu menurut Muhammad bin Hasan As-Saibany dan Muhammad Az-Zuhri yaitu: 1) Pengaruh metodologi para sahabat Metodologi yang dipakai oleh Ahlu Hadits adalah sikap mereka yang mempertahankan ketentuan nash yang dhohiriyah sekalipun, tidak mau melakuakan intervensi terhadap Hadits atau nash kecuali dalam keadaaan terdesak. Mereka tidak menghendaki rasionalisasi hukum. 2) Irak notabene wilayahnya merupakan wilayah yang sering terjadi konflik, banyak munculnya penyelewengan Hadits dan kebohongan periwayatannya, sedangkan di Hijaz dan Madinah masih banyak Hadits dan fatwa sahabat, sehingga mereka tidak perlu melakukan ijtihad dan menggunakan rasio. c. Tokoh-Tokoh Tokoh-tokoh ahlur ra’yi adalah para pengikut pola pikir sahabat Umar dan Abdullah bin Mas’ud . Tokoh dari kalangan Sahabat: 1. Umar bin Khatthab; 2. Zaed bin Tsabit; 3. Abdullah bin Mas’ud; dan 4. Aisya RA. Tokoh dari kalangan Tabi’in: 1. Sa’ed bin Al-Musayab; 2. Sulaiman bin Yasar; 3. Al-Qasim Bin Muhammad bin Abu Bakar As-Shidiq; 5. Abu Bakar bin Abdurrahman Al-Harits; 6. Urwah bin Zubair bin ‘Awwam; 7. Ubaid bin Abdullah bin Utbah; 8. Kharijah bin Zed bin Tsabit. Pada perkembangan selanjutnya Ibnu Mas’ud yang pada dasarnya beraliran ra’yi karena berpatokan pada Umar bin Khattab RA menjabat sebagai gubernur di Iraq. Pada masa itu Iraq sudah mengalami perkembangan dalam kebudayaan melampaui kemajuan yang terjadi di Madinah. Karena itulah Ibnu mas’ud dituntut untuk memberikan hukum terhadap banyak permasalahan yang dihadapi umat islam di Iraq pada masa itu. Secara otomatis hukum-hukum yang beliau sampaikan tidak jauh dengan pola pikir sayyidina Umar sebagai patokan beliau. Karena itulah kemudian rata-rata ulama’ di Iraq kemudian mengikuti alur pemikiran Ibnu Mas’ud. Diantara murid beliau yang terkenal adalah An-Nakha’I yang kemudian diteruskan oleh Ibnu Sulaiman dan diteruskan oleh muridnya Imam Abu Hanifah. Pada masa Imam Abu hanifah muncullah banyak perbedaan signifikan dikalangan ahlurra’yi dan ahlulhadits. Ahlul hadits di Madinah betul-betul selektif dalam memilih hadits sebagai sumber hukum islam sedangkan mujtahid Irak, yakni Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, berhujjah dengan Hadits-Hadits mutawatir dan masyhur, serta merajihkan Hadits-Hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang terpercaya dari kalangan ahli fiqih . Salah satu Konsep yang di utarakan oleh hanifah bahwa beliau tidak harus menerima rumusan hukum dari para tabi’in atau dari muridnya sahabat, dia memandang bahwa dirinya setara dengan para tabi’in dan melakukan atau menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri . 3. Ahlul Hadits a. Pengertian Banyak ulama yang telah menyebutkan definisi Ahlul Hadits. Mungkin bisa sebagaimana dikumpulkan dan disimpulkan oleh Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimisyqy sebagai berikut: “Ahlul Hadits adalah mereka yang mempunyai perhatian terhadap Hadits baik riwayat maupun dirayah, mereka bersungguh-sungguh dalam mempelajari Hadits-Hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan menyampaikannya serta mengamalkannya, mereka iltizam (komitmen) dengan As-Sunnah, menjauhi bid’ah dan ahli bid’ah serta sangat berbeda dengan para pengikut hawa nafsu yang mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan mendahulukan akal-akal mereka yang rusak yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah”. Singkatnya Ahlul Hadits adalah para fuqaha’ yang dalam mengistinbath (mengeluarkan) hukum lebih mengedepankan teks-teks hadits daripada penalaran dan qiyas. Mereka lebih mendahulukan hadits meski hadits ahad, marfu’ atau bahkan dhaif daripada penalaran semata. Sehingga mereka lebih berhati-hati dalam mengeluarkan suatu hukum. b. Latar Belakang Sosiologis Munculnya pemikiran Fiqh Madinah yang disebut sebagai “Sekolah Ahli Hadits” (Madrasah Ahl Al-Hadits) tidak lepas dari posisi Kota Madinah yang merupakan tempat turunnya al-Quran dan Hadits Nabi baik Hadits itu sebagai ucapan, perilaku dan keputusan Nabi. Madinah juga merupakan pusat penyebaran Agama Islam. Nabi Muhammad Saw mendidik dan mengajar para sahabatnya tentang keislaman, sehingga praktik-praktik keislaman secara langsung dicontohkan Rasulullah kepada para sahabatnya. Selain Nabi, Khulafa’ Ar-Rasyidin juga menjalankan pemerintahannya di kota Madinah. Kota Madinah sebagai pusat penyebaran Islam banyak didatangi dan dikunjungi oleh para ulama untuk memperdalam ilmu pengetahuannya. Di samping itu faktor-faktor penyebab kemunculan aliran Ahlu Hadits, diantaranya komitmen para Ulama Madinah terhadap sunnah dan tidak mengambil logika (Ra’yi) yang kemudian melahirkan madrasah Ahlu Hadits disebabkan oleh beberapa factor: diantaranya sebagai berikut: 2) Banyaknya para sahabat yang menghafal Hadits Rasulullah SAW di Madinah dikarenakan yang menetap di kota ini ternyata lebih banyak daripada yang berhijrah ke negeri orang lain. Dengan demikian sangat mudah untuk mendapat Hadits Nabi SAW. Di negeri Hijaz selain di situ juga menetapnya tiga khalifah yang menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahan, fatwa dan qhada mereka sangat terkenal, mereka juga bebas dari fitnah khawarij dan syiah, serta kelompok radikal. Oleh sebab itu, tidak ada pemalsuan Hadits di kota Madinah yang kemudian di nisbatkan kepada Rasulullah SAW. Semua ini memudahkan mereka untuk menguasai Hadits sehingga tidak perlu mengambil pendapat pribadi. 3) Sedikitnya problematika yang muncul, karena syariat turun di negeri ini selama 23 tahun sehingga semua bisa diberikan corak islam yang murni. 4) Para Tabi’in yang ikut dengan gaya guru-gurunya dari kalangan sahabat seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Aisyah. Mereka ini sangat terkenal berkomitmen tinggi dengan sunnah dan tidak memakai pendapat pribadi. c. Tokoh-tokoh Adapun tokoh-tokoh yang berperan penting dari kalangan ahlul hadits adalah sebagai berikut. Dari kalangan sahabat: 1. Abullah bin Umar; 2. Sa’d bin Abi Waqash; 3. Abu Musa Al-Asy’ari; 4. Al-Mughirah bin Syu’bah, dan 5. Malik bin Anas Sedangkan dari kalangan tabi’in Tokoh dari kalangan Tabi’in: 1. Anas bin Malik 2. Al-Qamah bin Qais 3. Al-Aswad bin Yazid 4. Masruq bin Al-Ajda’ Al-Hamdani 5. Suraikh bin Al-Harits Al-Qadhi Para tokoh-tokoh ini telah mengambil peran yang sangat penting dalam pengembangan pemikiran fiqh Madinah (Ahl al-Hadits). Sedangkan Mujtahid Madinah yakni Imam Malik dan sahabat-sahabatnya merajihkan apa yang menjadi pendapat penduduk madinah dan meninggalkan semua Hadits Ahad yang berbeda dengannya sementara mujtahid yang lain berhujjah dengan segala macam Hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang adil dan terpercaya, baik dari kalangan ahli fiqih atau yang lainnya. Imam Malik adalah seorang tokoh di hijaz dalam segala hal, baik fiqh, al-Quran dan Haditst, Imam Malik tumbuh besar di kalangan ulama Ahlu Hadits . 4. Pola Pikir dan Contoh Pemikiran Masing-Masing a. Ahli Ra’yi Metodologi yang digunakan Pemikir Fiqh di Irak lebih banyak didasarkan atas pemikiran rasional, mereka jarang masuk dalam wilayah penafsiran Al-Quran selain yang berkaitan dengan masalah-masalah fiqh; sebagaimana mereka juga banyak menukil pendapat para seniornya dari kalangan sahabat; Mereka tidak banyak memiliki narasi dari koleksi Hadits dan riwayat sahabat seperti yang ada di Madinah, sehingga berdampak terhadap upaya mereka untuk memaksimal daya nalar dengan ijtihad. Sedangkan metodologi yang dipakai oleh Ahlu Ra`yu adalah rasio (pemikiran) yang dipelopori oleh Ibnu Mas`ud. Dia sangat terpengaruh oleh pemikiran Umar bin Khattab. Ibnu Mas`ud sangat menagagumi kecemerlangan pemikiran Umar, sebagaimana janji dia yang akan tetap membela Umar walaupun semua orang di bumi menentangnya. Ibnu Mas`ud berkata: “jika semua orang memilih jalan dan Umar memilih jalan yang lain niscaya saya akan memilih jalan Umar” . Kejadian-kejadian dan pristiwa-pristiwa yang terjadi di Irak lebih beragam dari Madinah Masyrakat Madinah merupakan masyarakat badawi yang jauh dari polemik dan retorika filsafat dan logika (mantiq) seperti yang terjadi di Irak; Sebagai pusat kekuasan Islam pasca Madinah, mempunyai konsekwensi munculnya berbagai oersoalan dan fitnah; khususnya pertikaian antara kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib (Khawarij dan Syi’ah) Berikut adalah beberapa contoh perbedaan pendapat ahlu Hadits dan ahlu ra`yi : a. Kasus: Zakat 40 ekor kambing adalah 1 ekor kambing: o Pendapat Ahlu Hadits (fuqaha Hijaz) : harus membayar zakatnya dengan wujud 1 ekor kambing sesuai yang diterangkan Hadits dan dianggap belum menjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. o Pendapat Ahlu Ra’yi (Fuqaha Irak) : muzakki wajib membayar zakatnya itu dengan 1 ekor kambing atau dengan harga yang senilai dengan seekor kambing. b. Kasus: Zakat fitrah itu 1 sha` tamar (kurma) atau syair (gandum) o Pendapat Ahlu Hadits (fuqaha Hijaz) : harus membayar zakatnya dengan 1 sha` tamar sesuai yang diterangkan Hadits dan dianggap belum menjalankan kewajiban apabiala dibayar dengan harga yang senilai. o Pendapat Ahlu Ra`yu (fuqaha Irak) : muzakki wajib membayar zakat fitrah itu dengan 1 sha` tamar atau denagn harga senilai 1 sha` tamar tersebut. c. Mengembalikan kambing yang terlanjur diperas air susunya harus dikembalikan dengan 1 sha` tamar. o Pendapat Ahlu Hadits (fuquha Hijaz): harus menggantinya dengan membayar 1 sha` tamar sesuai yang diterangka Hadits dan dianggap belum menjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. o Pendapat Ahlu Ra`yu (fuqaha Irak) : menggantinya dengan harga yang senilai dengan ukuran air susu yang diperas berati telah menunaikan kewajiban. d. Tentang Wajibnya Wali Nikah bagi perempuan baik anak-anak maupun dewasa o Ahlul Hadits berpendapat wajib wali nikah berdasarkan beberapa hadits meski hadits-haditsnya menurut mereka marfu’ o Ahlur ra’yi berpendapat bahwa hanya hadits-hadits yang betul-betul sohih yang bisa dijadikan hujjah sehingga mereka membolehkan perempuan dewasa menikahkan dirinya. Hadits-hadits tentang wali nikah bagi perempuan dewasa dianggap dhaif e. Syarat Hadits yang dapat diterima sebagai hujjah. o Ahlul Hadits menganggap setiap hadits baik hadits ahad, marfu’ bahkan dhaif lebih uutama dijadikan hujjah daripada perkataan dan pendapat ulama’-ulama’ belakangan. o Ahlur ra’yi mensyaratkan bahwa hadits yang dijadikan hujjah haruslah mutawatir, diamalkan oleh ahli fiqh yang masyhur, dan betul-betul diriwayatkan oleh sahabat dan tidak ada sahabat lain yang menyanggahnya. Dari beberapa contoh di atas kita dapat mengetahui ahli Hadits dari nash-nash ini menurut apa yang ditunjuk oleh ibarat-ibaratnya secara lahiri, dan mereka tidak membahas illat tasyrik (sebab disyariatkan). Sedangkan ahli ra`yi memahami nas-nash tersebut menurut maknanya dan maksud disyariatkannya suatu hukum oleh sang pembuat syariat, Allah SWT dan Rasul-Nya. 5. Analisis Kritis Pada abad ke-2 hijriyah, perkembangan pemikiran hukum islam cenderung semakin liberal seiring dengan semakin liberal seiring dengan semakin pesatnya perkembangan pemikiran filsafat memasuki dunia Islam ketika itu. Kalau ditelisik lebih jauh, perkembangan pemikiran tersebut dimulai jauh sebelum abad tersebut. Perkembangan itu dimulai dengan wafatnya Rasulullah SAW. Hal itu ditandai dengan banyaknya terjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat. Bahkan diantara para sahabat senior seperti Abu Bakar dan Umar Bin Khattab. Hanya saja pada masa-masa awal tersebut perbedaan-perbedaan yang timbul masih bisa diselesaikan dengan cara konsensus oleh para sahabat. Namun perbedaan itu mencapai awal klimaksnya pada masa tabi’in yang diperkirakan mulai sejak awal dinasti umayah. Pada masa ini islam sudah mulai tersebar ke berbagai wilayah. Dari beberapa uraian di atas, dapat ditarik beberapa poin antara lain: a. Dimensi kultural yang mengakibatkan lahirnya dua aliran adalah: 1) Irak jauh dari bumi Nabi dan Hadits, irak merupakan negara yang terbuka untuk semua kebudayaan dan peradaban lain. Dengan adanya alasan tersebut maka para fuqaha yang dihadapkan pada problematika permasalahan hukum dituntut untuk menyelesaikannya secara cepat, maka secara terpaksa mereka mengerahkan kemampuan yang mereka miliki dengan pemilahan mereka sendiri yang dasarnya bersumber pada al-Qur`an dan Hadits. Dengan selalu menggunakan rasionya fuqaha Irak mendapatkan keistimewaan sendiri, yaitu mereka bisa memprediksikan suatu peristiwa yang akan terjadi sekaliagus menetapkan hukumnya. Contohnya pada zaman itu belum ada yang namanya memindah anggota tubuh (diantaranya cangkok paru-paru atau yang lainnya) tapi mereka suadah memberikan rambu-rambu hukum tentang permasalahan tersebut. 2) Madinah dan Hijaz adalah gudang ilmu Islam, di sana banayak para ulama. Madinah dan Hijaz juga suasana wilayahnya sama seperti pada masa Nabi SAW. Jadi untuk mengatasinya permasalahan cukup permasalahan dengan mengandalkan literatur Al Qur`an dan Hadits serta ijma` sahabat. b. Perbedaan yang ada antara Ahlu Hadits dan Ahlu Ra`yu Masing-masing dari kedua madzhab fiqh tersebut mempunyai pandangan yang berbeda dalam metode penggalian hukum. Meskipun demikian kedua belah pihak sepakat bahwa sumber hukum utama adalah al-Kitab dan al-Sunah. Semua hukum yang bertentangan dengan kedua sumber tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan. Dengan adanya perbedaan faktor yang memunculkan dua alirannya tersebut diatas, maka dalam memutuskan hukumnya akan sangat berbeda. Akan tetapi pada dasarnya tidak berarti bahwa fuqaha Irak tidak manggunakan Hadits dalam pembentukan hukum, dan juga tidak berarti bahwa fuqaha hijaz tidak berijtihad dan menggunakan ra`yu karena kedua kelompok ini pada dasarnya sepakat bahwa Hadits adalah hujjah syar`iyyah yang menentukan dan ijtihad dengan Ra`yu yakni dengan Qiyas, adalah juga hujjah syar’iyyah bagi hal-hal yang tidak ada nashnya. Sebab terpenting yang membawa ikhtilaf dua pengaruh kelompok tersebut adalah realita yang dihadapi ahlu Hadits yang memiliki kekayaan atsar-atsar (Hadits dan fatwa sahabat)yang dapat digunakan dalam membentuk hukum-hukum dan dijadikan sandaran. Dalam hal ini ahlu hadits menghadapi realita masyarakat yang cenderung homogen tanpa terjadinya hal-hal yang berpengaruh pada sumber-sumber tasyrik. Begitu pula dalam hal-hal yang berkaitan dengan muamalat. Aturan, dan tata tertib yang berada di Hijaz sangat dipengaruhi oleh generasi-generasi Islam yang memang tinggal di daerah tersebut. Sedangkan Realita yang dihadapi Ahlu Ra`yu adalah mereka tidak memiliki kekayaan atsar sehingga berpegangan atas akal mereka, berijtihad memahami untuk memahami ma`kulnya nash dan sebab-sebab pembentukan hukum. Dalam hal ini mereka mengikuti guru mereka Abdullah Ibnu Mas`ud ra. Bagi ahlu Ra’yi mereka menghadapi realita terjadinya fitnah yang membawa pada pemalsuan dan pengubahan Hadits-Hadits. Karenanya mereka sangat hati-hati dalam menerima riwayat Hadits. Mereka menetapakan bahwa Hadits haruslah masyhur di kalangan fuqaha`. Disamping itu kekuasaan Persia banyak meninggalkan aneka ragam bentuk muamalat dan adat istiadat, serta aturan tata tertib, maka lapangan ijtihad menjadi demikian luas di Irak. Para ulama bisa melakukan pembahasan dan menuangkan pemikiran. Kemampuan mereka untuk bisa mengadaptasikan hukum islam dengan adat istiadat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat menjadi sangat pendting. 6. Epilog Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW merupakan dua sumber utama dalam pemikiran hukum islam. Apabila di dalam al-Qur’an ditemukan ketentuan hukum yang jelas, maka ketentuan hukum itulah yang harus diambil. Namun bila tidak ditemukan, maka dicari dalam sunnah. Jika keduanya tidak memberikan ketentuan hukum, atau hanya disinggung secara samar, maka pencarian hukumnya melaui ijtihad atau qiyas (analogi). Pada tataran ijtihad inilah para fuqaha’ berbeda pandangan sebagian berpegang dengan sangat kuat pada teks-teks hadits dan sebagian lagi berpegang lebih kuat pada pemikiran akal sehingga cenderung melakukan qiyas. Keduanya kemudian masing disebut sebagai ahli hadits dan ahli ra’yi. Pada perkembangan selanjutnya, keduanya secara bersamaan diakui sebagai sumber hukum islam. Hanya saja bentuk qiyas selanjutnya diberi nama berbeda-beda seperti al-qiyas, al-istihsan, dan al-istishlah. Qiyas dengan beberapa bentuknya tersebut, dipraktikkan baik oleh ulama’ ahlu ra’yi di Iraq maupun ulama’ ahlul hadits di Madinah. Hanya saja intensitas penggunaannya yang berbeda. Perbedaan itu disebabkan oleh kondisi sosio-kultural yang berbeda. Kondisi sosio cultural masyarakat Madinah mendorong Imam malik bin anas dan yang sealiran dengannya lebih banyak menggunakan hadits sebagai rujukan utama. Kondisi sosio-kultural Masyarakat Iraq mendorong Imam abu Hanifah dan yang sealiran dengannya lebih banyak menggunakan ra’yi sebagai rujukan utama dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain pemikiran masing-masing ulama’ dan fuqaha’ merupakan hasil refleksi kritis masing-masing terhadap kondisi sosio cultural yang dihadapi. Sehingga produk pemikiran baik ahlur ra’yi ataupun ahli hadits harus dipahami dalam, dan tidak dapat dilepaskan dari, konteks sosio cultural masing-masing. Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam bisshawab. DAFTAR RUJUKAN: 1. Abdurrahman, 2000. Perbandingan Madzhab. Bandung: Sinar Baru Algessindo 2. Ahmad Asyurbasi, 2011. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali, Jakarta: Penerbit Amzah. 3. Harun Nasution, 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jil. II. Cet. 5. Jakarta: UIPress. 4. Huzaemah Tahido Yanggo. 1997. Pengantar Perbandingan Madzhab. Yogyakarta: Logos Wacana Ilmu 5. Jurnal Istinbath No. 1 Vol. 2 Mataram Desember 2004. Fakultas Syari’ah IAIN Mataram 6. Jurnal Qawwam Vol. 1 No. 2 tahun 2007. Mataram: Pusat Study Wanita (PSW) Institut Agama Islam Negeri Mataram. 7. Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimisyqy, 2004. Fiqih Empat Mazhab Rahmatul ummah Fikhtilafil A’immah, Bandung: Hasyimi Press 8. Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dan Muhammad Zuhri, 1996. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT. Raya Grafindo Persada 9. Muhammad Ali Sayis, t.th. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Mesir: Matba’ah Ali Shabih wa Auladuh. 10. http://sastra-indonesia.com/2011/06/hukum-islam-pada-masa-tabi%E2%80%99in/ 11. http://blogpribadisaya.wordpress.com/2011/03/30/sebab-sebab-ikhtilaf-antara-ahlul-hadits-dan-ahlul-ra%E2%80%99yi/ 12. http://www.ikpmkairo.org/artikel/menyikapi-perbedaan-dalam-perspektif-historis/

No comments:

Post a Comment