Saturday 9 November 2013

SUNNAH GHOIRU TASYRI'IYYAH: ANTARA ADAT DAN IBADAT Oleh: Hurnawijaya, S.HI I. PENDAHULUAN Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang membawa risalah dari Allah SWT Sebagai Nabi dan Rasul. Sebagai nabi beliau merupakan Uswatun Hasanah dan sebagai Rasul beliau juga wajib untuk ditaati sehingga apa yang datang dari beliau hendaklah diterima dengan ketaatan sepenuh hati sebagai bukti seseorang dianggap beriman dan apa yang beliau larang hendaklah dihindari. Sebagai salah satu bukti bahwa seseorang benar-benar mencintai Allah adalah dengan cara mentaati dan mengkuti Rasulullah SAW. Apa yang datang dari Nabi dalam masalah-masalah agama adalah mutlak dan apa yang bukan dari Nabi dalam masalah agama adalah tertolak. Dalam kata lain konsep mengikuti beliau dalam segala aspek kehidupan adalah suatu keharusan tanpa ada tawar-menawar terlebih dalam urusan agama yang memang merupakan misi utama beliau sebagai Nabi/Rasul. Namun selain sebagai seorang Nabi dan Rasul beliau juga adalah manusia biasa sebagaimana manusia yang lain sebagaimana banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskannya. Beliau juga memiliki kebutuhan jasmani dan ruhani, memiliki keinginan dan selera dan memiliki kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari beliau. Ketetapan beliau dalam kapasitas beliau sebagai Rasul merupakan sumber syariat yang tidak diperdebatkan, karena memang otoritas beliau sebagai Syari’ atau pembuat hukum syariat telah disepakati secara konsensus (ijma’) oleh semua ummat Islam. Ketetapan-ketetapan beliau yang tertuang dalam hadits-hadits beliau memiliki otoritas sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an . Namun apakah segala yang datang dari beliau sebagai manusia biasa dalam konteks bahwa sebagian perbuatan dan perkataan beliau yang muncul dari sifat kemanusiannya (Jibillatul Basyariyah) juga merupakan sumber syari'at yang mengikat? Pertanyaan diataslah yang memunculkan perdebataan di kalangan para Ulama (Terlebih para ulama’ kontemporer). Sebagian ulama’ kemudian ada yang berpendapat bahwa sebagian perbuatan dan perkataan beliau yang muncul dari sifat kemanusiaan ttersebut tidak tergolong ke dalam sunnah yang wajib diikuti, sehingga memunculkan istilah Sunnah Ghoiru Tasyri’iyyah (Sunnah Non Tasyri’iyyah). Para ulama’ ini berpendapat bahwa setiap hadits Rasulullah SAW hendaklah diketahui dalam kapasitas apa sunnah atau hadits itu muncul. Apabila dalam kapasitas Muhammad sebagai Nabi/Rasul maka sunnah tersebut tasyri’iyyah, sedang dalam kapasitas sebagai ‘manusia biasa’ maka itu sunnah non tasyri’iyyah. Sikap umum ummat Islam memandang bahwa hadits yang terumuskan dari sunnah yang hidup saat itu mempunyai harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dan sebagian ulamapun kurang memiliki perhatian khusus dalam kajian tentang sunnah Tasri’iyyah dan Ghairu Tasyri’iyyah . Sehingga di antara mereka ada yang cenderung memandang semua sunnah sebagai syari’at yang mengikat (Al Sunnah Kulluha Tasyri’iyyah), artinya mereka memiliki kecenderungan menggeneralisasi sunnah sebagai syari’at atau kebenaran mutlak (taken for granted) atau sebagai produk jadi. Sehingga pada gilirannya sulit membedakan mana hadits yang bersifat mutlak (terutama yang berkaitan dengan akidah dan ibadah) yang terbebas dari ikatan ruang dan waktu, dan mana pula hadits yang bersifat nisbi (menyangkut muamalat, pergaulan hidup, adat kebiasaan, yang lebih mencerminkan suatu tradisi atau sunnah yang hidup pada suatu fase penggalan sejarah tertentu) yang terikat oleh ruang dan waktu. Sebagian lagi menganggap bahwa hadits-hadits atau sunnah Rasulullah SAW tesebut adalah sekedar sebagai fragmen sejarah biasa yang tidak memiliki otoritas apapun terhadap kehidupan masa sekarang. Sehingga mereka cenderung berpendapat mendekati pendapat kelompok sekuler, yang ingin memisahkan semua urusan dunia dari campur tangan wahyu melalui perantaraan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah yang berfungsi menjelaskan dan memberikan batasan bagi syari’at agama. Dalam rangka mencari pemahaman yang benar dari kedua golongan tersebut, sebagian ulama’ yang konsen pada masalah-masalah keberagamaan kaum muslimin kemudian mencari rumusan yang bisa dijadikan landasan dalam memandang sunnah secara benar dan menempatkannya pada posisi yang layak sebagai salah satu sumber hukum islam. Lahirlah kemudian pemikiran yang membagi sunnah tersebut menjadi sunnah tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah. Sunnah tasyri’iyyah adalah sunnah yang berkaitan dengan masalah keagamaan secara pasti sehingga memiliki otoritas yang mengikat sebagai sumber syariat. Sedang sunnah non tasyri’iyyah adalah sunnah Rasul yang merupakan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek keagamaan melainkan berkaitan dengan beberapa masalah tertentu dalam hal urusan keduniawian sehingga tidak memiliki otoritas yang mengikat dalam pembentukan hukum islam . Dalam pada itu, tampillah beberapa ulama’ dan cendekiawan muslim untuk mencoba merumuskan dua macam sunnah tersebut. Sebut saja misalnya Syaikh Mahmud Muhammad Salthut, At-Tahir Ibnu Assyur, al-Qarafi, Syah Waliyullah ad-Dahlawi, Rasyid Ridho dan lain sebagainya. Terutama yang langsung menggunakan istilah ghairu tasyri’iyyah ini seperti Yusuf Al-Qaradlawi dalam kitabnya Assunnah Mashdaran Lil Ma’rifah wal Hadarah. Namun sejauh apakan keabsahan klaim pembagian sunnah tersebut dan implikasinya terhadap otoritas hadits sebagai sumber ajaran islam banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan para ulama’ dan cendekiawan muslim. II. OTORITAS SUNNAH SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM Sebelum lebih jauh membahas otoritas sunnah perlu diketahui pengertian istilah hadits dengan sunnah. Saat ini terdapat dua istilah yang berkembang untuk menunjuk apa yang bersumber dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam; Hadits dan Sunnah. Para ahli Hadits tidak membedakan antara Hadits dan Sunnah, yang dalam term mereka, keduanya berarti segala hal yang bersumber dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat beliau, dan sifat-sifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral, maupun perilaku, dan hal tesebut berlaku baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya . Sementara itu para pakar ushul fiqh membedakan antara Hadits dan Sunnah. Menurut mereka, Sunnah adalah perkataan, perbuatan, penetapan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan Hadits adalah perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi mereka tidak menganggap sifat-sifat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Sunnah, melainkan sebagai Hadits. inilah yang membedakan mereka dengan para ahli Hadits yang menganggap sifat-sifat Nabi juga sebagai Sunnah. Imam al-Syafi'i sebagaimana diriwayatkan oleh Muhammad al-Hasan al-Fasi dalam al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami berpendapat lain. Menurut beliau apabila sebuah Hadits memiliki sanad (transmisi periwayatan) yang muttashil (bersambung) kepada Nabi, dan sanad itu shahih (otentik), maka Hadits itu disebut Sunnah. Dari keterangan Imam al-Syafi'i ini, dapat disimpulkan bahwa semua Sunnah pasti shahih, dan tidak semua Hadits itu shahih. Dan tampaknya, pendapat beliau ini relevan dengan istilah yang berkembang sampai sekarang, di mana tidak ada orang yang mengatakan, "Sunnah Mu'dhalah, Sunnah Dha'ifah, Sunnah Munkarah, Sunnah Maudhu'ah", dan seterusnya. Tetapi yang ada, adalah orang mengatakan "Hadits Mu'dhal, Hadits Dha'if, Hadits Munkar, Hadits Maudhu'. Dalam tulisan ini sekedar untuk menjelaskan pembagiannya menjadi tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah penulis lebih sepakat untuk menyamakan istilah hadits dengan sunnah sehingga penggunaannya bisa saling menggantikan. Seluruh umat islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran islam. Keharusan mengikuti hadits bagi umat islam (baik berupa perintah maupun larangan) sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an . Hal ini karena hadits merupakan mubayyin (penjelas) terhadap Al-Qur’an, karena itu siapa pun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat. Dengan demikian, antara hadits dengan Al-Qur’an memiliki kaitan sangat erat, untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri. Dalil otoritas hadits sebagai salah satu sumber hukum islam terdapat dalam Al-Qur’an, dalam hadits-hadits Rasulullah sendiri, juga menjadi konsensus (ijma’) para ulama’. Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tetang kewajiban seseorang untuk tetap teguh beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul SAW sebagai utusan Allah SWT, merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap individu. Dengan demikian, Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan mereka. Selain itu Allah memerintahkan umat islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga meyerukan agar mentaati segala bentuk perundang-undagan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul SAW ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Qur’an yang berkenan dengan masalah ini. Firman Allah: ومااتىكم الرسول فخذوه وما نهيتكم عنه فا نتهوا ان الله شديد العقاب (الحشر:7 ) “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya-Nya”. (QS. Al-Hasyr: 7) Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an di atas, kedudukan hadits juga dapat dilihat melalui hadits-hadits Rasul sendiri. Banyaknya hadits yang menggambarkan hal ini dan menujukkan perlunya ketaatan kepada perintahnya. Dalam salah satu pesannya, berkenan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an. Rasul SAW bersabda sebagai berikut: تركت فيكمم امرين لن تضلوا ابدا ما ان تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله (رواه مالك) Diriwayatkan oleh Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda: Saya tinggalkan dua perkara yang kamu tidak akan tersesat apabila berpegang pada keduanya: Yakni Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya (hadits). (HR. Malik). Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda: عليكم بسنتي وسنة خلفاء الراشدين المهديين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ (رواه ابوداود) “Kalian Wajib berpegang teguh dengan sunah-ku dan sunah khulafa’ rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya…”. (HR. Abu Daud). Di samping itu, umat Islam kecuali mereka para peyimpang dan pembuat kebohongan, telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum dalam beramal. Penerimaan mereka terhadap hadits seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum islam. Kesepakatan umat islam dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang tekandung di dalam hadits berlaku sepanjang zaman, sejak Rasulullah masih hidup dan sepeninggalnya, masa khulafa’ rasyidin, tabi’in, tabi’-tabi’in, atba’u tabi’-tabi’in serta masa-masa selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya sampai sekarang. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi mereka menghafal, mentadwin, dan meyebarluaskan dengan segala upaya kepada generasi-generasi selanjutnya. Di antara para sahabat misalnya, banyak peristiwa yang menujukan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa dibawah ini. Pertama,ketika Abu Bakar dibai’at menjadi khalifah, ia pernah berkata: Saya tidak meninggalkan sedikit pun sesuatu yang diamalkan atau dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat apabila meningglkan perintahnya. Kedua, pada saat Umar berada di depan hajar Aswat, ia berkata: Saya tahu bahwa anda adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu. Ketiga, pertama ditanyakan kepada Abdullah ibn Umar tentangketentuan shalat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab: Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana Rasulullah SAW berbuat. Sikap para sahabat di atas, seutuhnya diwarisi oleh generasi berikutnya secara berkesinambungan. Segala yang diterima dari para generasi sebelumnya, kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya, baik semangat, sikap, maupun aktifitas mereka terhadap hadits Rasul SAW. Berdasarkan beberapa argumentasi di atas, apabila sebuah Hadits telah memenuhi syarat-syarat keshahihan sesuai dengan yang ditetapkan oleh para ulama’ hadits serta telah dinyatakan shahih, maka para ulama sepakat bahwa ia memiliki otoritas sebagai sumber syariat Islam, baik dalam masalah akidah, syariah, maupun akhlak. Sedang suatu hadits, apabila ia telah dinyatakan dha'if, maka para ulama juga sepakat bahwa ia tidak memiliki otoritas sebagai hujjah dalam akidah dan syariah, namun demikian, Hadits dha'if tersebut masih dapat dipergunakan motivator untuk melakukan amal kebajikan (fadhail almal) dengan syarat-syarat tertentu . Dan dalam hal ini, para ulama sepakat dan tidak ada yang 'berseberangan' kecuali sebuah pendapat yang disebut-sebut bersumber dari golongan Mu'tazilah. Untuk masalah akidah dan syariat yang bersifat umum (al-Tasyri' al-Am), hanya Hadits mutawatir yang memiliki otoritas sebagai hujjah, yaitu Hadits yang jumlah perawi pada tiap jenjangnya berjumlah lebih dari sepuluh orang. Adapun Hadits Ahad, yaitu Hadits yang jumlah perawi pada tiap jenjangnya, berjumlah kurang dari sepuluh orang. Abu Ishak Ibrahim bin Sayyar, atau yang lebih dikenal sebagai al-Nadhdham (m. + 221-223 H.), adalah orang yang disebut-sebut mengeluarkan pendapat ini. Namun penolakan al-Nadhdham ini, tidak dapat dikatakan sebagai penolakan kaum mu'tazilah secara kolektivitas terhadap otoritas Hadits, melainkan hanya merupakan penolakan dirinya pribadi. Karena mayoritas ulama Mu'tazilah justeru menerima otoritas Hadits sebagai sumber syraiat, misalnya Abu al-Hasan al-Bashri dalam kitabnya al-Mu'tamad. Beberapa ulama pembesar Mu'tazilah bahkan memvonis al-Nadhdham sebagai orang yang telah keluar dari Islam, seperti Abu al-Hudzail al-'Allaf (m. 226 H.) dan Muhammad bin Abd al-Wahhab al-Jubba'I (m. 303 H.) Dari sini kita ketahui, bahwa mayoritas—kalau tidak mau dikatakan bahwa umat Islam secara keseluruhan—menerima Hadits sebagai sumber syariat dalam Islam. Dan kalaupun ada beberapa golongan atau individu yang mengkritik dan menolak beberapa Hadits yang bertentangan dengan pemikiran mereka, maka hal itu tidak berarti mereka menolak Hadits secara keseluruhan. Patut untuk penulis sebutkan di sini, bahwa apabila Hadits yang telah disepakati kualitas keshahihannya oleh para ulama, kemudian ia tidak diterima sebagai sumber syariat hanya karena jumlah perawinya kurang dari sepuluh orang pada tiap jenjangnya (Hadits Ahad) seperti yang dinyatakan oleh al-Nadhdham, maka akan ada banyak ajaran Islam yang 'dibredel'. Tidak mengherankan jika kemudian salah seorang ulama Saudi Arabia, Syaikh Abd al-Aziz bin Rasyid al-Najdi, pernah mengemukakan pendapat yang sangat mendasar dalam kitabnya Radd Syubuhat al-Ilhad 'an Ahadits al-Ahad, bahwa pembagian Hadits menjadi Ahad dan Mutawatir adalah Bid'ah yang menyesatkan. Dan memang prinsip menggunakan Hadits Shahih sebagai hujjah, baik yang mutawatir ataupun yang Ahad, merupakan prinsip yang telah digunakan para shahabat semenjak nabi Muhammad masih hidup . Dalam menerima Hadits dari Nabi, mereka tidak pernah memilah-milaha dan membeda-bedakan Hadits menjadi Ahad dan Mutawatir, untuk kemudian Hadits yang Ahad mereka tolak apabila berkaitan dengan masalah akidah. Dan Nabi Muhammad sendiri tidak pernah secara sengaja mengumpulkan mereka tiap kali beliau hendak menyampaikan ajaran Islam. Dari sini nampak jelas bahwa penolakan beberapa orang Islam, seperti al-Nadhdham, terhadap otoritas Hadits Ahad (atau penolakan beberapa orang terhadap otoritas Hadits secara keseluruhan), sama sekali tidak berpengaruh terhadap khazanah keilmuan Islam. Penolakan-penolakan tersebut dianggap sebagai pendapat-pendapat pribadi yang tidak membawa pengaruh bagi otoritas kehujjahan sebuah hadits baik mutawatir ataupun ahad. Demikian halnya dengan pengklasifikasian hadits yang dilakukan oleh beberapa ulama’ yang menggolongkan hadits menjadi hadits tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah. Hadits tasyri’iyyah dimaksudkan sebagai hadits yang menjadi sumber hukum islam. Sedang hadits ghairu tasyri’iyyah dimaksudkan sebagai hadits-hadits yang tidak mengandung hukum. Secara langsung klaim seperti ini menjadikan sebagian hadits nabi dianggap tidak memiliki otoritas mengikat dalam menentukan hukum syari’at. Pengklasifikasian hadits seperti inipun banyak mendapatkan kritikan dari ulama’-ulama’ yang kontra dengan klaim tersebut. Masalah terakhir inilah yang mencoba dianalisa dalam tulisan ini. III. PENGERTIAN SUNNAH GHAIRU TASYRI’IYYAH Istilah sunah ghairu tasyri’iyyah atau non tasyri’iyyah memang masih diperdebatkan, ada yang pro dengan memberikan beberapa definisi dan ada yang kontra yang menganggap kalau istilah sunah non Tasyri’iyyah itu tidak ada di masa salafus shalih (generasi awal Islam), itu hanya rekayasa kaum modernis dan rasionalis. Namun setelah dilakukan kajian yang mendalam ada beberapa ulama yang mendukung pemahaman tentang adanya sunah Ghairu tasyri’iyyah, namun mereka berbeda-beda dalam mendefinisikan sunnah Ghairu tasyri’iyyah ini. Ada beberpa istilah yang dipakai para ulama yang dapat di katagorikan sunnah ghairu tasriiyyah yaitu sunnah laisa fihi uswah (sunnah yang tidak untuk diikuti), laisa fihi ta’assin (tidak mengandung hukum), laa bihi Iqtida’, laisat bi qurbah, la istimsaka bih dan sunnah la hukma lahu aslan. Semua istilah-istilah tersebut mengacu pada satu usbstansi yang sama yaitu ada hadits-hadits yang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hadits-hadits inilah kemudian yang disebut sebagai sunnah non tasyri’iyyah. Hadits-hadits tersebut tidak memiliki otoritas untuk dijadikan landasan hukum halal/haram, wajib, sunnah bahkan tidak pula mubah. Kebolehan (hukum mubah) yang dikandung dalam hadits-hadits tersebut hanya sebatas jaiz secara rasional sehingga tidak berkaitan dengan pahala dan dosa. Pada tataran inilah banyak ulama’ kemudian yang pro dan kontra terhadap pembagian sunnah menjadi sunnah tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah. IV. ULAMA YANG PRO SUNAH NON TASRI’IYYAH Telah banyak para ulama’ yang telah membahas tentang terminology sunnah ghairu tasyri’iyyah, mereka itu di antaranya adalah : 1. Al Qarafi (684 H) dalam kitab al Furuq dan Al Hikam 2. As Saukani dalam Irsyadul Fuhul 3. Al Syirazi dalam al Luma’ Fi Ushulil Fiqh 4. Al Juwaini dalam Al Burhan Fi Ushulil Fiqh 5. Al Ghazali dalam Al Mankhul 6. Syah Waliyullah Ad Dahlawi (w. 1176 H) dalam Hujatul Balighah 7. Syaikh Rasyid Ridha 8. Syaikh Mahmud Salthut 9. Al Thahir Ibnu ‘Asyur 10. Syaikh Abdul Wahab Khalaf 11. DR. Muhammad Salim Al ‘Awwa 12. DR. Yusuf Al Qaradhawi Diantara penelitian yang mendalam berkenaan dengan terminology sunnah Non Tasri’iyyah adalah apa yang dilakukan oleh DR. Tarmizi M. Jakfar, MA dalam disertasinya dalam rangka program doktoralnya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “ Otoritas Sunnah Non-Tasri’iyyah Menurut Yusuf Qaradawi”. Di dalamnya beliau meneliti tentang problematika seputar sunah Non Tasyri’iyyah yang meliputi terminology dan klaim, status dan peran Muhamad SAW, sikap Ummat Islam terhadap sunnah dan kritikannya, kalsifikasi sunnah, dasar-dasarnya dan kriteria termasuk bantahan terhadap yang menentang adanya sunnah non tasyri’iyyah, termasuk menguji validitas dalil-dalil sunnah non tasyri’iyyah serta beberapa kesimpulan yang secara garis besar menggambarkan pemikiran yusuf al-Qaradlawi yang tertuang dalam bagian pertama kitab As-Sunnah Masdaran Lil Ma’rifah wal Hadarah. DR. Tarmizi M. Ja’far sampai pada kesimpulan tentang pembagian sunnah menjadi tasyri’iyyah dan non tasyri’iyyah menurut al-Qaradlawi adalah salah satu bentuk pemikiran yang moderat . Al Qaradlawi tidak ingin terjebak kedalam dua kutub kelompok yang ekstrim dalam memahami sunnah. Sebagian kalangan Ummat Islam menganggap semua hadits adalah Tasri’iyyah sehingga semua hadits bersifat mutlak, segala yang disandarkan kepada Rasulullah berupa sunnah adalah bersifat final dan harus dijadikan dasar amalan tanpa nalar kritis sama sekali. Sedangkan yang satu lagi bersifat sekuler dimana semua sunnah adalah bersifat nisbi, yang kemudian melahirkan faham ingkar sunnah dan lain sebagainya. Dengan pengklasifikasian ini Al Qaradawi mencoba mengambil jalan tengah. Dalam disertasi tersebut DR. Tarmizi M Jakfar, MA memotret secara utuh pemikiran Al-Qaradlawi mengenai pembagian sunnah tasyri’iyyah dan non tasyri’iyyah ini. Mulai dari sekilas tentang riwayat hidup Al-Qaradlawi, pemikiran-pemikiran beliau, situasi politik di sekitar Al-Qaradlawi, pemikiran beliau tentang sunnah tasyri’iyah dan non tasyri’iyyah, ulama’-ulama’ yang pro terhadap klaim sunnah tasyri’iyyah dan non tasyri’iyyah baik sebelum dan sesudah al-Qaradlawi, kriteria sunnah non tasyri’iyyah menurut al-Qaradlawi, termasuk memberikan kritik terhadap pemikiran Al-Qaradlawi. Hanya saja terkadang Dr. Tarmizi seperti terlihat sangat mendukung Al-Qaradlawi dan menguatkan ide-ide beliau tentang sunnah tasyri’iyyah dan non tasyri’iyyah. Hal ini terlihat dari uraian Dr. Tarmizi M. Jakfar ketika membahas mengenai ulama’ yang tidak setuju dengan klasifikasi sunnah menjadi tasyri’iyyah dan non tasyri’iyyah beliau terkadang memberikan penjelasan lebih dari sekedar apa yang dipaparkan oleh Al-Qaradlawi sendiri yang memiliki pemikiran yang dianalisisnya. Dalam buku tersebut juga dipaparkan hadits-hadits yang terkategori sunnah non tasyri’iyyah yang disebutkan oleh Al-Qaradlawi bahkan beliau menambahkan dengan hadits-hadits lain selain dari apa yang ditulis Al-Qaradlawi dalam kitab As-Sunnah Mashdaran Lil Ma’rifah Wal Hadlarah sebagai rujukan utama. Sehingga beliau sampai pada kesimpulan bahwa hadits-hadits tersebut memang senantiasa berhubungan dengan perkara-perkara duniawi yang terkategori dalam lima hal yaitu: Perbuatan dan perkataan nabi berdasarkan pengalaman, Perbuatan dan perkataan nabi sebagai kepala Negara dan hakim, Perintah dan larangana nabi yang bersifat anjuran, Perbuatan murni (al-fi’al al-mujarrad) nabi, dan Perbuatan nabi sebagai manusia (al-fi’al al-jibilliy). Diantara hadits –hadits yang masuk kedalam katagori ini adalah hadits tentang memakai tongkat ketika berkhutbah, tangga mimbar 3 tahap, memegang pedang, berjenggot, bersorban, makan sambil lesehan, hukum bunuh bagi yang murtad, penetapan nisab zakat lembu, strategi peperangan, pengobatan Nabi dll. Sebagian ulama menganggap hadits –hadits tersebut tidak bersifat Tasri’iyyah Mutlak, namun bersifat non tasri’iyyah atau tidak mutlak tergantung kebijakan penguasa berdasarkan pertimbangan kemaslahatan Ummat. V. ULAMA’ YANG KONTRA SUNNAH NON TASYRI’IYYAH Di samping ulama’ yang pro, banyak juga yang tidak sepakat dengan pembagian sunnah Nabi menjadi sunnah tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah ini. Ulama’-ulama’ tersebut di antaranya: 1. Syaikh Sulaiman bin Salih Al-Khurasyi 2. Syaikh Muhammad Ayyub Dihlawi 3. Syaikh Muhammad Karam Syah 4. Syaikh Muhammad Said Hawwa 5. Syaikh Muhammad Assalafy, dll Secara umum penolakan mereka adalah karena sunnah tasyri’iyyah atau ghairu tasyri’iyyah itu adalah klasifikasi yang mengada-ada. Kalaupun misalnya hendak dibagi menjadi tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah batasannya haruslah jelas dengan kriteria dari hadits sendiri karena yang berhak untuk mengklaim syariat atau bukan syariat adalah pembuat syariat itu sendiri bukan otoritas para ulama . Bahkan Sulaiman Shalih al-Khurasy dalam bukunya Al-Qaradlawi Fil Mizan sampai mengatakan bahwa apa yang dilakukan Yusuf al-Qaradlawi dengan membagi sunnah menjadi tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah adalah bid’ah dlalalah . Bahkan dianggap sebagai bentuk adopsi dari pemikiran yahudi dan nasrani yang memisahkan kehidupan keberagamaan dengan kehidupan keduniawian. Syaikh Said Hawwa mengemukakan dalam kitab Al-Islam Haulal Ushul Atsalatsah bahwa islam adalah agama yang sempurna dengan adanya panutan dari pembawa risalah islam yang patut diikuti semua tingkah laku dan contoh tauladan yang diberikan semampunya. VI. OTORITAS SUNNAH NON TASYRI’IYYAH MENURUT YUSUF QARADLAWI Sebagai manusia yang hidup dan bergaul dengan anggota masyarakat, Nabi Muhammad SAW telah berbicara dan berdiskusi dengan mereka tentang berbagai persoalan, baik persoalan agama maupun dunia. Para ulama’ mempersoalkan apakah pembicaraan, pendapat, dan perbuatan nabi yang berkaitan dengan urusan duniawi memiliki otoritas yang mengikat umat islam sebagaimana pembicaraan, pendapat dan perbuatan nabi tentang masalah agama? Banyak ulama’ telah menelaah persoalan tersebut panjang lebar. Di antaranya adalah Yusuf Al-Qaradhawi yang telah melakukan telaah terhadap hadits-hadits Rasulullah SAW hingga melahirkan kesimpulan, sunnah non-tasyri’iyyah tidak mempunyai otoritas yang mengikat, baik yang bersifat berita, perintah maupun larangan. Kesimpulan demikian didapatkan Al-Qardhawi setelah ia mengamati sikap berlebihan sebagian kelompok umat Islam . Kelompok pertama, yang oleh Al-Qardhawi disebut al-Muqashshirun cendrung berpendapat mendekati pendapat kelompok sekuler, ingin memisahkan urusan dunia dari campur tangan wahyu . Kelompok ini dikritik tajam oleh Al-qardhawi, dan paham kelompok inilah yang patut dicurigai berasal dari Yahudi dan Nasrani yang anti-Islam. Seperti yang dituduhkan oleh Sulaiman Al-Khurasyi dan Busthami Muhammad Sa’id. Sementara kelompok kedua yang disebut al-Ghulat adalah golongan yang tidak berfikir rasional atau kelompok yang pendapatnya lebih merupakan anggapan ketimbang argument. Mereka terkesan menolak kenyataan bahwa nabi Muhammad adalah manusia yang mempuyai kebiasaan seperti manusia lainnya. Karena alasan itulah Al-Qardhawi terpanggil menyerukan umat Islam agar membedakan sunnah yang datang dari nabi antara tasyri’iyyah dan non tasyri’iyyah. Hanya sunnah yang berkaitan dengan agama dan berasal dari wahyu yang dikatakan tasyri’iyyah, sementara yang berkaitan dengan urusan dunia dan berasal dari sifat kemanusiaan dan pendapat pribadi adalah sunnah non-tasyri’iyyah dan sifatnya tidak mengikat ummat Islam. Al-Qaradlawi rupanya begitu berpegang dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, tenang penyerbukan kurma yang dilarang oleh Nabi. Kemudian setelah masyarakat madinah mengalami gagal panen karena tidak melakukan penyerbukan tersebut akhirnya Nabi mengatakan bahwa apa yang beliau anjurkan sebelumnya untuk tidak melakukan penyerbukan adalah pendapat beliau semata sehingga bisa benar bisa juga salah. Sehingga diakhir hadits tersebut disebutkan Rasulullah bersabda: antum a’lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian). Selengkapnya hadits tersebut berbunyi: مررت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بقوم على رؤوس النخل فقال: ما يصنع هؤلاء؟ فقالوا: يلقحونه يجعلون الذكر في الانثى فيلقح فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما اظن يغني ذالك شيئا قال: فاخبروا بذالك فتركوه فاخبر رسول الله صلى الله عليه وسلم بذالك فقال: ان كا ن ينفعهم ذالك فليصنعوه فاني انما ظننت ظنا فلا تؤاخذوني باظن ولكن اذا حدثتكم عن الله شيئا فخذوا به فاني لن اكذب على الله عزا وجل (رواه مسلم) Aku berjalan bersama Rasulullah SAW melewati suatu kelompok orang yang sedang memanjat pohon kurma. Rasulullah SAW bertanya: “apa yang mereka lakukan?”. Dijawab bahwa mereka sedang melakukan penyerbukan kurma dengan membubuhkan serbuk jantan pada putik betina sehingg” keduanya dapat dikawinkan. Rasulullah SAW bersabda: “saya kira hal itu tidak perlu.” Talhah berkata kemudian mereka diberi tahu akan hal itu, karenanya mereka tidak melakukannya lagi. Ketika Rasulullah diberi tahu bahwa hasil mereka jelek maka beliau bersabda: “Apabila penyerbukan itu bermanfaat lakukanlah karena waktu itu aku hanya mengira dan janganlah kalian menyalahkanku karena perkiraanku. Tetapi apabila aku menceritakan sesuatu dari Allah azza wa jalla maka ambillah karena saya tidak berdusta atas nama Allah azza wa jalla.”(HR. Muslim). Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh aisyah beliau SAW juga bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim) Namun sayang, Al-Qardhawi tidak memberikan penjelasan tuntas apa yang ia maksud dengan istilah non-tasyri’iyyah tersebut. Ia tidak menjelaskan istilah kontroversial ini secara definitive, kecuali menyebutkan sunnah non-tasyri’iyyah adalah sunnah yang tidak wajib diikuti dan ditaati. Pernyataan seperti ini ternyata sangat problematis dan membingungkan karena sebagaimana diketahui dari keterangan Ulama’ ushul, bahwa sunnah Nabi ada yang bersifat wajib, sunah, mubah, bahkan ada yang bersifat anjuran. Memang Al-Qardhawi pernah menyatakan bahwa sunnah non-tasyri’iyyah adalah sunnah yang menunjukkan mubah. Adapun sunnah non tasyri’iyyah yang diserukan Al-Qardhawi meliputi lima kriteria yaitu: 1. Perbuatan dan perkataan nabi berdasarkan pengalaman. 2. Perbuatan dan perkataan nabi sebagai kepala Negara dan hakim. 3. Perintah dan larangana nabi yang bersifat anjuran. 4. Perbuatan murni (al-fi’l al-mujarrad) nabi. 5. Perbuatan nabi sebagai manusia (al-fi’al al-jibilliy) . Apabila pada sebuah hadits atau sunnah terdapat salah satu dari kelima kriteria tersebut maka hadits atau sunnah tersebut adalah non-tasyri’iyyah. Akan tetapi kriteria-kriteria di atas masih terbuka peluang untuk dikritisi, karena menurut Al-Maududi, memisahkan tindakan kemanusiaan dan kerasulan Muhammad bagaikan memisahkan susu dan air, karena keduanya menyatu dalam satu keperibadian Muhammad SAW. VII. SUNNAH NON TASYRI’IYYAH ANTARA ADAT DAN IBADAT Kalau diteliti secara cermat, perbedaan pendapat antara ulama’ yang pro dan kontra sunnah ghairu tasyri’iyyah terletak pada perbedaan pandangan tentang status hukum mubah yang terkandung dalam sebuah sunnah. Karena mubah dalam pandangan ulama’ yang kontra adalah mubah syari’at sedang dalam persfektif al-Qaradlawi dan ulama’ yang pro klaim sunnah non tasyri’iyyah adalah mubah rasional yang merupakan spontanitas Nabi dalam menanggapi dan merespon suatu masalah. Al-Qaradlawi mengganggap bahwa dilaksanakan atau tidak apa yang dilakukan nabi sebagai sunnah non tasyri’iyyah tidak membawa pengaruh apa-apa dari segi konsekuensi hukum. Anggapan ini kemudian berimplikasi pada kurangnya semangat untuk melakukan sunnah-sunnah tersebut. Dalam hal ini kalau dianalisa kritik terhadap Yusuf al-Qaradlawi tentang adanya pemisahan urusan duniawi mendapat sedikit pembenaran. Hal ini karena pemisahan agama dengan urusan keduniawian telah muncul terlebih dahulu pada agama samawi lainnya yaitu yahudi dan nasrani. Hal inilah yang kemudian membuat mereka yang kontra diantaranya al-Khurasy yang mengatakan bahwa pemikiran al-Qaradlawi adalah pemikiran yang mengikuti pemahaman kaum yahudi dan nashrani. Walaupun sebenarnya mungkin beliau tidak menginginkan maksud demikian dalam pembagian sunnah menjadi tasyri’iyyah dan non tasyri’iyyah. Menurut pandangan penulis, klasifikasi tersebut sah-sah saja untuk diwacanakan. Tetapi untuk kemudian disebarluaskan kepada masyarakat awam akan kurang relevan. Karena bagi mereka apa yang datang dari Rasulullah semuanya adalah sunnah yang layak untuk dijadikan ikutan termasuk dalam urusan duniawi sekalipun. Implikasi tersebut juga akan mengakibatkan kurangnya semangat peneladanan mereka kepada Rasulullah SAW. Padahal Allah SWT berfirman : قل ان كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله “Katakanlah jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (sunnahku) niscaya Allah akan mencintai kalian”. Firman Allah tersebut bersifat umum dan mutlaq untuk mengikuti Rasulullah SAW secara mutlaq dalam segala urusannya baik itu bersifat duniawi ataupun keagamaan. Hal ini disamping untuk selalu ingat kepada Rasulullah SAW juga akan menguatkan kecintaan kepada baginda Nabi. Dalam hal ini penulis sepakat dengan pendapat imam Al-Ghazali RA. Beliau secara umum juga mengakui adanya sunnah yang hanya berkaitan dengan tabiat Rasulullah SAW sebagai manusia biasa, tetapi beliau mengemukakan bahwa untuk betul-betul mencintai Rasulullah hanya bisa diperoleh dengan mengikuti segala hal yang datang dari Rasulullah SAW. Berikut pandangan Imam Al-Ghazali Rahimahullah dalam kitab Al-Arbain fi Ushuliddin: “Ketahuilah bahwa kunci kebahagiaan adalah mengikuti sunnah dan meniru Rasulullah Saw. Dalam segala tindakan, gerak diamnya, hingga cara makan, berdiri, tidur, cara duduk dan cara berbicaranya. Saya tidak mengatakan bahwa hal itu dalam urusan ibadah saja, karena tidak ada alasan untuk mengabaikan sunnah dalam aspek ini, tetapi juga dalam semua aspek persoalan adat istiadat. Karena dengan cara demikianlah baru tercapai namanya ittiba’ muthlaq. Allah swt berfirman: “jika kamu benar-benar cinta kepada Allah, ikutilah aku pasti Allah akan mencintaimu (QS Ali Imran 29). Allah swt juga berfirman: “apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr 7) dengan demikian anda harus duduk ketika mengenakan celana panjang dan berdiri ketika membelitkan surban, dahulukan kaki kanan ketika memakai sandal atau tangan kanan lengan baju ketika memakai baju, potnglah kukumu dengan diawali pada telunjuk kanan dan berakhir pada jempol (tangan kanan). Untuk kaki mulailah dari kelingking kaki kanan dan berakhir pada kelingking kaki kiri. Begitu juga dalam segala sikap dan tindak tanduk. Janganlah meremehkan masalah-masalah tersebut dengan mengatakan inikan berhubungan dengan adat, karena itu tidak ada gunanya berittiba’. Karena dengan demikian tertutup pintu kebahagiaan bagi anda” Karena itulah menurut hemat penulis bahwa walaupun sunnah tersebut adalah sunnah non tasyri’iyyah yang menurut al-Qaradlawi dan beberapa ulama’ yang pro klaim sunnah non tasyri’iyyah bahwa sunnah jenis ini tidak memiliki otoritas dalam syari’at sehingga tidak berkaitan dengan pahala dan dosa, tetapi kalau sunnah ini diamalkan semata-mata untuk taqlid kepada Rasulullah SAW dengan tidak membebani diri maka itu akan terhitung sebagai ibadah karena telah dianggap mengikuti Rasulullah SAW. Misalnya saja dalam salah satu kasus yang dianggap non tasyri’iyyah bahwa Rasululah SAW senantiasa mendahulukan kaki kanan untuk masuk ke masjid ataupun ke rumah beliau, makan dengan tangan kanan, Mendahulukan kaki kiri ketika hendak masuk ke kamar mandi, lebih senang menggunakan pakaian berwarna putih, tidak menyukai makanan yang berbau menyengat seperti bawang putih, memelihara jenggot, mengenakan jubah, dan lain sebagainya. Terkadang juga sebuah hadits yang dianggap non tayri’iyyah adalah upaya Nabi untuk membedakan ummat islam dengan kaum yahudi dan nashrani. Misalnya hadits yang memerintahkan untuk menyisir rambut menjadi belah dua. Itu adalah reaksi nabi ketika melihat bahwa kaum yahudi sering menyisir rambut mereka ke depan dan kaum nashrani menyisir rambut mereka lebih condong ke arah kanan. Kemudian beliau bersabda Khallifuhum fi umurihim (berbedalah kalian dengan mereka pada seluruh aspek kehidupan mereka). Maka andaikata sekarang kemudian kita mengamalkan hadits-hadits tersebut dengan tujuan mengikuti nabi untuk membedakan diri dengan kaum yahudi dan nashrani, apakah kita tidak dihitung melaksanakan ibadah dan mendapat pahala?. Kadang-kadang pula sebuah sunnah yang datang dari Rasulullah SAW tersebut membawa manfaat untuk kemaslahatan misalnya hadits tentang minum sambil berdiri yang beliau larang. Ternyata mengandung manfaat bagi kesehatan bahwa kalau kita minum sambil berdiri maka akan mudah terkena penyakit. Apabila kita tinggalkan hal tersebut dengan niat untuk mengikuti Rasulullah dan menjaga kesehatan apakah tidak dihitung ibadah dan membawa ganjaran pahala?. Demikian juga pengikutan terhadap keperibadian Nabi didasari oleh rasa cinta kepada beliau, misalnya seseorang tidak memakan suatu makanan karena tidak mengetahui apakah Rasulullah SAW pernah melakukannya dan itu ia niatkan semata-mata karena rasa cinta kepada rasulullah SAW, apakah ia tidak mendapatkan pahala atas I’tiqad baik dan niat baiknya tersebut?. Deskripsi di atas menurut penulis jelas mendapat pahala dan dihitung ibadah. Karena niat yang tulus dari pelakunya jelas akan mendatangkan ganjaran. Bukankah salah satu fungsi niat sebagaimana dikemukakan oleh syaikh Al-Haddad adalah tamyizul adat wal ibadat atau membedakan antara kebiasaan dan ibadah. Disinilah seharusnya titik temu antara pemikiran al-Qaradlawi dengan ulama’ ulama yang kontra dengan klaim sunnah non tasyri’iyyah yaitu semua sunnah yang datang dari Rasulullah SAW terutama sunnah tasyri’iyyah ataupun sunnah non tasyri’iyyah sekalipun kalau diamalkan semampunya yang tidak membebani diri dengan niat mengikuti Rasulullah, dan rasa cinta kepada beliau akan terhitung sebagai ibadah dalam rangka taqarrub ‘ilallah. VIII. KESIMPULAN Akhirnya, mungkin para cendekiawan muslim perlu untuk menyerukan kepada orang yang beramal dengan sunnah agar mengetahui klasifikasi sunnah menjadi sunnah tasyri’iyah dan non tasyri’iyyah ini. Terutama yang berkaitan dengan jenis sunnah non-tasyri’iyyah ini. Tanpa mengetahuiya, orang yang terlalu bersemangat mengamalkan sunnah boleh jadi akan memaksakan diri untuk melaksanakan semua yang datang dari nabi, termasuk yang murni datang dari sifat kemanusiaan beliau, bahkan yang dilakukan secara kebetulan sekalipun, padahal tidak dimaksudkan sbagai syari’at. Semangat yang berlebihan mengikuti nabi tanpa pemilahan seperti ini akan memperbanyak beban taklif yang tidak disyari’atkan oleh nabi sendiri. Dengan kata lain, memandang sunnah non-tasyri’iyyah sebagai sunnah tasyri’iyyah atau sebaliknya akan menimbulkan kesulitan bagi ummat islam sendiri. Dengan mengetahuinya, maka sunnah akan ditempatkan pada posisi yang tepat sebagai pegangan hidup yang sebisa mungkin dilakukan dengan tidak memaksakan diri untuk melaksanakannya karena menganggapnya sebagai wajib iqtida’ kepada perbuatan Nabi SAW. Dengan kata lain diperlukan sikap moderat untuk mengamalkan sunnah-sunnah tersebut secara menyeluruh tanpa harus membebani diri. Bukankah agama itu adalah jalan kemudahan bagi para pemeluknya. IX. DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahhab Khalaf. Prof. Dr. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Bandung: Penerbit Risalah Gusti, 1985. Abdurrahman. Perbandingan Madzhab. Bandung: Sinar Baru Algessindo. 2000 Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Bulugh al-Maram. Surabaya: al-Hidayah, t.th. Ali Musthofa Yakub, Prof, Dr., MA., Otentitas dan Otoritas Hadits, Bandung: Remaja Rosda Karya. 2004 Al-Ghazali Al-Imam, Al-Arbain Fi Ushuliddin. Soft copy. Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah Islamiyyah. TT Faisal Ismail, Prof. Dr. H. Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur. Surabaya: Lasfi, 2000. Hamid, Abdul Wahid. Islam Cara Hidup Alamiah. Yogyakarta: Lazuardi. 2001. Harits, A. Busyairi. Islam NU Pengwal Tradisi Sunni Indonesia. Surabaya: Khalista. 2010 Hujair AH. Sanaky, Hadits Pada Masa Nabi Kajian Hadits dan Perbedaannya dengan As-Sunnah, Al-Khabar, Atsar . Mizan. 2006 Nainggolan, Zainuddin S. Inilah Islam. Jakarta: Dea Press. 2000 Ramli, Muhammad Idrus. Madzhab Al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Surabaya: Khalista. 2009 Sa’id Hawwa, As-Syaikh. Al-Islam Haulul Ushul Ats-Tsalatsah. Mishr: Daru Ihya’ Kutubil Ilmiyyah. 2007. Tarmizi M. Jakfar, Dr. MA., Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011 Teungku Muhammad Hasbi Asshiddiqi, Prof. Dr. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 2008

No comments:

Post a Comment