Monday 16 September 2013

MENATA PENDIDIKAN INDONESIA

Menata Kembali Pendidikan Indonesia : Aktualisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Tentang Konsep Pendidikan Ideal. Prolog Bayangkan jika seandainya Bapak pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara berkirim surat kepada kita pada zaman ini, apakah kira-kira yang akan ditulisnya? Apakah kebanggaan bahwa kita telah merdeka enam setengah dasa warsa lebih dan telah mengalami beberapa fase dari orde lama, orde baru, sampai orde reformasi sekarang ini, Apakah decak kagum pada putra dan putri negeri ini yang meraih juara pada olympiade sains tingkat dunia, Apakah tentang pendidikan gratis yang dicanangkan pemerintah, ataukah tentang tingginya standar nilai Ujian Nasional untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain? Rasanya tidak. Ki Hadjar Dewantara barangkali akan menyampaikan kesedihan dan keperihatinan beliau pada pendidikan yang carut-marut, sistem ujian naional (UN) yang amburadul, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rata-rata kelas lima Sekolah Dasar. Beliau barangkali akan menyalahkan kita tentang sistem Ujian Nasional yang melahirkan dehumanisasi atau tentang peringatan Hari Pendidikan Nasional yang dirayakan dengan upacara bendera dan even-even lainnya setiap tahun namun tidak memberikan perubahan menuju kemajuan pendidikan itu sendiri. Bahkan barangkali beliau akan menulis kritik sambil tersenyum sinis menyaksikan generasi penerusnya yang terlalu sibuk mengurus suksesi kepemimpinan sampai tidak sempat untuk menyisihkan waktu dengan serius untuk mengurus negara dalam ’mencerdaskan kehidupan berbangsa’. Paragraf awal surat beliau mungkin akan diawali dengan pertanyaan ”Dimana tanggung jawab kalian memajukan dunia pendidikan negeri yang telah menjamin warganya untuk mendapat pendidikan yang layak? Lalu kira-kira paragrap terakhir beliau akan berisi himbauan ” kembalikan ruh pendidikan sesuai dengan esensi budaya negeri ini ”. Jika surat itu datang ke rumah kita, masihkah kita akan menganggap bahwa anak yang cerdas adalah yang selalu rangking dikelasnya, atau menganggap bahwa kualitas sekolah ditentukan oleh juara-juara yang diraih dalam lomba-lomba antar sekolah, atau mengasumsikan bahwa pendidikan ditentukan oleh tingkat kecerdasan intelektual? Atau jika surat itu datang di meja kerja para pengambil kebijakan negeri ini, masihkah mereka akan mengatakan bahwa kemajuan bangsa ini terindikator dari 100% kelulusan dengan standar nilai Ujian Nasional yang begitu tinggi? Potret Buram Wajah Pendidikan Indonesia Indonesia menangis! Negeri yang pernah di juluki the sleeping giant from Asia, kini tengah terpuruk di segala bidang. Di bidang pendidikan Indonesia jauh terpuruk dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia bahkan di antara negara-negara Asia Tenggara. Carut-marut dunia pendidikan di Indonesia terindikasi dari mandulnya out put yang dihasilkan. Semakin banyak sarjana semakin menambah daftar panjang pengangguran intelektual negeri ini. Pendidikan yang semulanya dihajatkan sebagai sesuatu yang akan mempertinggi harkat kemanusiaan gagal mencapai visinya. Ditambah lagi dengan kian meluasnya perdagangan pendidikan demi kepentingan segelintir orang yang mengakibatkan rakyat kecil menjadi korban keserakahan dari komersialisasi pendidikan. Jaminan akan pendidikan yang layak bagi masyarakat kecil sesuai dengan amanat undang-undang hanyalah isapan jempol semata. Belum lagi jika berbicara hilangnya tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan negeri ini. Pasca lahirnya otonomi dan desentralisasi pendidikan yang memberikan hak sepenuhnya kepada setiap lembaga pendidikan dari tingkat bawah sampai perguruan tinggi untuk mencari dana sendiri, menyebabkan banyak anak negeri termaginalkan dan kehilangan kesempatan untuk menikmati bangku pendidikan. Liberalisasi pendidikan yang dicanangkan sebagai langkah awal untuk memandirikan dunia pendidikan malah menjelma menjadi semacam legitimasi untuk melegalisasi setiap tindakan lembaga pendidikan untuk menperdagangkan pendidikan. Lahirlah istilah Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang berfungsi mengatur jalannya lembaga pendidikan sesuai dengan prinsip ekonomi Adam Smith untuk mengeruk keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Akibatnya lahirlah gap dan ketimpangan sosial, bagi yang kaya, cerdas dan berpendidikan akan dengan mudahnya melejit ketampuk kekuasaan, hidup sejahtera dan menjadi penguasa yang dengan mudahnya melakukan ekploitasi besar-besaran terhadap kelompok lain yang lemah, sedang yang miskin dan tak berdaya akan tersingkir dan hanya bisa menggigit jari menyaksikan setiap ketidakadilan yang menimpa mereka. Pendidikan hanyalah mimpi bagi mereka. Sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, bahkan di Era Reformasi ini dunia pendidikan seakan mengalami stagnansi yang membuat pendidikan jalan ditempat bahkan cenderung mengalami kemunduran. Bahkan berdasarkan evaluasi Djohar (2003), selama ini pendidikan kian jelas tidak berhasil melakukan pendewasaan diri terhadap anak didiknya. Lembaga pendidikan di bumi pertiwi ini gagal melakukan penataan pranata sosial yang mampu membangun karakter bangsa indonesia sesuai dengan nilai-nilai normatif kebangsaan yang ideal. Justru yang yang terbangun adalah prilaku elit negeri yang bertolak belakang dengan nilai sosial dan kehendak masyarakat. sehingga adalah wajar jika UNDP (United Nation Development Program) pada tahun 2000 mengumumkan kualitas pendidikan Indonesia dalam Indeks Pembangunan Kemanusiaan (Human Development Index) berada pada peringkat 109, sementara Singapura , Malaysia, Filifina dan Thailand berada di angka ke-24 hingga 34. (Muh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia : 2009) Indikasi lain betapa buruknya kualitas pendidikan Indonesia adalah ketertinggalan yang jauh di bawah negara-negara Asia yang lain. Pada era tahun 1970-an Malaysia menginfor tenaga guru dari indonesia dan mengadopsi model pendidikan Indonesia. Kini pendidikan Indonesia jauh berada di bawah negara tersebut. Bahkan Times mengumumkan survey bahwa Indonesia pada tahun 2008 berada pada urutan 134 dari 200 negara Asia yang diteliti, dua tingkat di atas Vietnam yang baru merdeka sedang Malaysia berada di urutan ke 69. (Ki Supriyoko, dlm.: Pelita, 18 Mei 2009) Kalau kita mengadakan introspeksi setidaknya ada tiga hal pokok yang menyebabkan pendidikan Indonesia terpuruk antara lain : 1. Pendidikan Dijadikan Komoditas Politik Realitas pendidikan di Indonesia membuktikan bahwa pendidikan selalu diarahkan untuk membenarkan kepentingan penguasa dan kroni-kroninya. Pendidikan seakan berada pada penjara kekuasaan sehingga tidak mampu meningkatkan kualitas bangsa menuju pembangunan yang konstruktif bahkan cenderung destruktif. Pada masa orde lama pendidikan sebenarnya memiliki peluang untuk berkembang dengan baik. Hal tersebut tercermin dari peran pendidikan pada masa itu untuk menyalakan semangat merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjadikan masyarakat sadar bahwa mereka sedang terjajah. Hanya saja pendidikan terintimidasi oleh hegemoni kolonial dan para penjajah sehingga tidak terekpresikan secara penuh. Kendala lainnya adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengenal dunia pendidikan dan rendahnya tingkat perekonomian sehingga boleh dikatakan bahwa pendidikan pada masa orde lama adalah fase pengenalan awal pendidikan kepada masyarakat yang telah terbelenggu rantai penjajahan selama tiga setengah abad lebih. Pada masa inilah lahir tokoh-tokoh pendidikan yang sebenarnya telah merumuskan konsep-konsep pendidikan sesuai dengan corak budaya negeri ini. Lahirlah tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’arie, Hajji Agus Salim dan lain sebagainya sebagai para Founding Father pendidikan Indonesia. Bahkan yang disebut pertama dianggap sebagai bapak pendidikan Indonesia. Sayangnya, konsep-konsep yang digagas tersebut mulai terdegradasi seiring pergantian resim pemerintahan yang mulai menjadikan pendidikan sebagai salah satu komoditas politik untuk mempertahankan kekuasaan. Contoh riil adalah lahirnya beberapa kebijakan pendidikan yang cukup elitis dan merugikan bangsa ini. Era orde Baru membawa pendidikan demi kepentingan para pemodal. Pendidikan ditujukan untuk mencetak para pekerja, buruh dan para kuli yang bisa dibayar dengan upah murah. Orientasi pendidikan tidak lagi untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa tetapi malah untuk mencetak manusia yang bermental budak yang selalu tergantung kepada orang lain. Saat orde baru pula, kebebasan dalam dunia pendidikan (khususnya dunia kampus) mengalami pemasungan yang sangat durjana sehingga bangsapun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali tunduk dengan terpaksa pada resim yang berkuasa. yang lebih ironis lagi, pasca reformasi yang diharapkan mampu membawa angin segar bagi kemajuan pendidikan pada kenyataannya tidak mampu memberi secercah harapan. Keadaan pendidikan tidak beranjak dari persoalan-persoalan yang semakin parah dan menyedihkan. Pendidikan malah dijajakan secara komersial. Adanya kebijakan otonomi pendidikan untuk memberikan hak sepenuhnya kepada penyelenggara pendidikan menjadi semacam legitimasi untuk komersialisasi pendidikan. Akibatnya pendidikan menjadi komoditas yang siap diperjual belikan dengan harga yang sangat mahal. Di satu sisi, isu pendidikan selalu menjadi isu hangat di setiap suksesi kepemimpinan, ide pendidikan gratis menjadi semacam trade mark bagi semua kandidat calon pemimpin mulai dari calon Bupati, Gubernur, Anggota Legislatif bahkan para calon Presiden. Semua menyiapkan dan menjanjikan sistem pendidikan yang lebih baik. Pada kenyataannya ketika tampuk kekuasaan telah mereka dapatkan janji-jani politik tersebut menguap begitu saja bagai embun pagi yang terkena cahaya mentari pagi. 2. Pendidikan yang Terjebak Pada Konsep Barat Salah satu penyebab kehancuran pendidikan negeri ini menurut Buana (2009) adalah pendidikan yang mengadopsi sistem pendidikan barat yang materialis kapitalis yang hanya mengandalkan akal dan logika untung rugi. Out put pendidikan hanya diukur dari tingkat kecerdasan dan hasil belajar siswa berupa catatan niali-nilai. Sistem pendidikan kita juga terlalu berorientasi pada target. Pendidikan dijadikan menjadi semacam perlombaan untuk mengejar target baik target kurikulum mapun target kelulusan dan lain sebagainya. (Buana, Rekonstruksi Pendidikan Indonesia :2009) Sebagai ilustrasi, di jenjang pendidikan dasar dan menengah (SD, SLTP, dan SMA) orientasi target itu terindikasi dari penetapan standar nilai UN sehingga pembelajaran seakan dilakukan hanya untuk mengejar target kelulusan. Terjadilah beragam fenomena yang memilukan bahkan memalukan. Mulai dari pembocoran soal, kepala sekolah yang memberikan uang kepada tim pemantau yang dikamuplase dalam bentuk uang transport, uang jajan dan lain sebagainya sampai pada membentuk ’tim sukses’ untuk meluluskan siswa dengan cara menyewa tenaga untuk menjawab soal-soal yang diujikan. Di sinilah awal gagalnya pendidikan menghasilkan generasi yang jujur dan patut dibanggakan. Di satu sisi pendidikan harus terdiri dari tiga aspek pokok yaitu psikomotorik, kognitif, apektif yang berarti bahwa pendidikan tidak hanya untuk otak dan pikiran tetapi juga untuk hati dan perasaan, namun pada praktiknya aspek yang menentukan hanyalah psikomotorik (baca:kemampuan siswa dalam menjawab soal ujian nasional) tanpa peduli jawaban tersebut darimana dan bagaimana cara memperolehnya. Dalam proses pembelajaran guru dengan lantang berteriak untuk selalu jujur dan bertanggung jawab namun ketika ujian nasional kejujuran tersebut seakan menjelma menjadi sesuatu yang teramat langka. Bahkan dengan terang-terangan para guru meberikan contoh dengan tingkah laku yang destruktif. Dalam proses pembelajaran juga guru selalu dituntut untuk menghabiskan seluruh target kurikulum sehingga guru cenderung menjejali siswa dengan materi pelajaran yang harus dikuasai. Hal ini terpaksa dilakukan oleh guru karena jika sampai akhir tahun ajaran target kurikulum belum terpenuhi maka guru dinilai tidak becus mengajar karena tidak bisa memenuhi target kurikulum. 3. Melupakan Jati Diri Bangsa Pendidikan yang sejatinya merupakan proses pembentukan moralitas masyarakat beradab yang tampil dengan wajah kemanusiaan yang bertanggung jawab terhadap realitas di sekitarnya. Karena itulah pendidikan harus mampu berperan sebagai wahana untuk mempersiapkan manusia-manusia yang akan mampu untuk hidup secara mandiri dengan bertumpu pada kaki sendiri sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dimana tempatnya tinggal. Artinya hasil sebuah lembaga pendidikan idealnya harus sesuai dengan apa yang akan digeluti nantinya setelah menyelesaikan jenjang pendidikan. Seharusnya kurikulum disusun sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Standar kelulusan juga seharusnya ditetapkan oleh daerah bersangkutan sehingga sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan dan kondisi tiap-tiap daerah. Seharusnya otonomi pendidikan (desentralisasi) betul-betul menjadi suatu kesempatan bagi daerah untuk mengemas pendidikian sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Di sinilah sesuatu yang paradoks terjadi, konsep desentralisasi pendidikan menjadi tidak jelas manakala daerah seolah tidak siap untuk mengatur pendidikan secara absolut. Akhirnya kita masih menyaksikan sentralisasi kebijakan, atau lebih tepatnya, resentralisasi yang kurang disadari atau memang sudah disadari, tetapi seolah sengaja tidak menyadari hal tersebut. Benny Susetyo berpendapat bahwa otonomi pendidikan merupakan desentralisasi setengah hati ketika di lapangan terjadi tarik menarik antara kewenangan pusat dan daerah. Kita merasakan adanya ketidakrelaan pusat secara penuh menyerahkan kewenangannya dan merasakan pula ketidaksiapan daerah baik kelembagaan maupun kebijakan. (Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa :2005). Contoh yang paling nyata adalah penentuan keluslusan Ujian Nasional Tingkat SD, SLTP, dan SLTA atau sederajat yang sangat rancu. Dalam konteks ini, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pemerintah menetapkan bahwa kelulusan meliputi tiga hal ; Pertama adalah evaluasi belajar siswa yang ditentukan oleh sekolah. Kedua adalah prilaku siswa, dan ketiga adalah hasil akhir yang dijalani melalui ujian nasional (UN) . Secara ideal, hal itu sangat menjadi harapan. Namun dalam konteks kenyataan, kendatipun para siswa sudah lulus baik poin pertama dan poin kedua, tetapi gagal pada poin ketiga, maka mereka dinyatakan gagal total alias tidak lulus. Akan tetapi apabila siswa lulus pada poin ketiga, sedang pada poin pertama dan kedua gagal, siswa tetap dinyatakan berhasil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah konsisten pada ketidakkonsistenan. Contoh lainnya adalah pembuatan kurikulum yang juga diarahkan kepada daerah-daerah untuk menentukan seberapa besar materi muatan lokal yang akan diakomodasi dan seberapa banyak materi yang memuat materi nasional, itupun masih sekedar teori di atas kertas yang tidak pernah teraplikasi sama sekali. Artinya pemerintah belum memberikan kewenangan secara penuh kepada daerah untuk mendesain kurikulum sesuai dengan kebutuhan maupun corak sosiokultural daerah masing-masing. Jadilah desentralisasi pendidikan sekadar simbol tanpa aplikasi secara konkret. Sehingga jati diri pendidikan sesuai dengan karakteristik bangsa hanyalah teori belaka. Ketiga hal inilah yang telah mewariskan kehancuran pada sitem pendidikan kita. Kita terlalu asyik menggunakan kacamata orang lain sampai kita melupakan kacamata kita sendiri. Belum lagi ditambah dengan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah sehingga sekolah menjadi semacam kelinci percobaan para menteri pendidikan yang setiap kali berganti diganti pula sistem pendidikan yang dipakai. Bercermin Pada Realitas : Aktualisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Ki Hajdar Dewantara pernah menyatakan pendidikan menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme guna memperjuangkan kepentingan bangsa di atas kepentingan-kepentingan politik yang kerdil dan sempit yang kemudian hanya mengorbankan bangsanya. Pendidikan itu berupaya sekuat tenaga menanamkan rasa persaudaraan, persamaan dan kesetiakawanan dan kebersamaan hidup senasib seperjuangan, membela bangsa dalam segala bentuk penindasan baik secara fisik maupun psikis. Tidak perduli apakah penindasan tersebut berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri. Pendidikanpun bermuara guna melahirkan rasa mencintai segala aset bangsa agar dijaga dengan segala cara agar dapat dimanfaatkan bagi kebesaran dan kemakmuran bangsa.(Muh. Yamin, Ibid : 2009) Secara kasat mata dapat kita simpulkan bahwa inti konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara amatlah simpel. Yaitu menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme, membela tanah air dari kolonialisasi fisik maupun psikis, dan menjaga semua aset bangsa untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama segenap elemen bangsa. Sudah saatnya para pengambil kebijakan negeri ini merenungkan kembali ciri esensial pendidikan. Gagasan yang ditelurkan oleh Ki Hadjar Dewantara sebenarnya sudah cukup untuk menjadi semacam problem solving dari carut-marutnya dunia pendidikan negeri ini. R.M. Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak pendidikan Indonesia telah merumuskan konsep yang jelas yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh Indonesia yang notabene memegang teguh norma-norma ketimuran. Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara memiliki arti dan makna mendalam sebagai pemelihara dan pengembang benih-benih persatuan dan kesatuan bangsa yang telah dirintis oleh para pendahulu bangsa Indonesia menuju negara yang besar, berdaulat, berharkat dan bermartabat. (Muharrir Alwan, Moralitas Pendidikan :2007) Menurut beliau pendidikan bertujuan menanamkan nilai-nilai hidup rukun dan damai di antara semua elemen bangsa, tanpa memandang kelas sosial apapun, baik ras, suku, agama, adat dan lain seterusnya. Sehingga menurut Ki Hadjar Dewantara konsep pendidikan yang dibangun dan dikerjakan oleh barat yang lebih menekankan pada akal semata, namun menegasikan akal budi guna mempertajam kepekaan sosial terhadap sesama anak-anak bangsa, merupakan suatu hal yang harus ditinggalkan karena konsep pendidikan seperti itu merusak kehidupan berbangsa di negeri ini. Ki Hadjar menyampaikan bahwa konsep pendidikan yang sesuai dengan budaya Indonesia adalah pendidikan yang dapat memanusiakan manusia indonesia seutuhnya. Bukan sekedar membentuk otak-otak cerdas dan berintelektual tinggi tetapi untuk membentuk insan-insan yang disamping pintar juga selalu mengutamakan kebenaran. Orientasi pendidikan seharusnya bukan pada peringkat dan juara pada berbagai kompetisi dan kejuaraan. Sehingga seharusnya kita tidak meributkan soal rendahnya nilai-nilai yang diperoleh sisiwa dalam ujian tetapi tidak pernah ribut kalau ada siswa yang suka mencontek, guru tidak mendidik dengan kasih sayang atau dosen tidak mengajar secara ikhlas dan lain sebagainya. Yang terpenting dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah memperkuat penanaman nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa sendiri secara masip dalam kehidupan anak didik yang beliau sebut sebagai sistem among, yakni suatu sistem pendidikan yang berlangsung dalam suasana kekeluargaan dengan pendidik sebagai orang tua dan peserta didik sebagai anak. Pendidikan itu dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerelly), kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual) dan suasana kekeluargaan (family atmosphere). Moral pendidik bukanlah sebagai atasan kepada bawahan atau seorang raja kepada para prajutitnya. Semestinyalah rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan dan kekeluargaan itulah yang kita ributkan karena kini telah hilang. (Ki Supriyoko, Mengembalikan Roh Pendidikan :2009) Sistem among ini mengemukakan dua prinsip dasar yaitu kemerdekaan dan kodrat alam. Kemerdekaan menjadi syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan bathin sehingga hidup selalu merasa merdeka dan lepas dari tekanan-tekanan dari siapapun. Kemerdekaan inilah yang menjadi ruh dari rasa kasih sayang dan suasana kekeluargaan dalam sistem among. Sedang kodrat alam adalah syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya tanpa meninggalkan jati diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi etika dan tata krama. Kodrat alam inilah yang menjiwai rasa keikhlasan, kejujuran, dan nilai-nilai keagamaan. Ada juga hal yang cukup menarik yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara yang merupakan sumbangsih besar beliau pada dunia pendidikan terkait Taman Siswa yang beliau dirikan sebagai bagian dari perjuangan pendidikan negeri ini, yaitu apa yang disebut sebagai Panca Dharma yang merupakan lima poin penting yang disusun pada 1947 yang kemudian lebih dikenal dengan ”Asas-Asas 1922”, yang berisi : asas kemerdekaan yang mencirikan bangsa yang memiliki keinginan kuat untuk merdeka dan mengisi kemerdekaan, asas kodrat alam yang mencirikan bangsa yang memegang teguh nilai-nilai alamiah dan fitrah alam untuk selalu dijaga dan dipelihara, asas kebudayaan yang mencirikan bangsa yang berpegang teguh pada nilai-nilai budaya untuk tetap dilestarikan tanpa terpengaruh oleh budaya-budaya bangsa asing yang dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara., asas kebangsaan yang mencirikan bangsa yang mengutamakan persatuan dan kesatuan demi tetap utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan asas kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme tanpa membedakan suku, agama, ras dan adat-istiadat. Ki Hadjar Dewantara yang memiliki latar belakang dan kelahiran Indonesia sebagaimana ditulis Muh.Yamin dalam Pendidikan di Ujung Tanduk Kekuasaan (2007), beliau sangat menginginkan bahwa pendidikan Indonesia harus mencerminkan nilai-nilai kebangsaan sendiri, jangan meniru bangsa-bangsa lain karena berbeda perspektif dan kultur budaya. Dengan kata lain, sistem dan pelaksanaan pendidikan harus bertumpu pada penguatan nalar berpikir yang bermoral, beradab dan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kepentingan bangsa di atas kepentingan individu dan golongan. Masih menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan Indonesia juga hendaknya melibatkan tiga kompenen penting pendidikan yang beliau istilahkan sebagai trilogi pendidikan yaitu keluarga (orang tua), sekolah (guru/pengelola sekolah) dan lingkungan (pemerintah/masyarakat). Ketiga unsur ini harus saling bahu membahu dalam menciptakan iklim pendidikan sesuai dengan yang diamanatkan dalam undang-undang dalam rangka mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Tidak kalah pentingnya dalam proses pendidikan adalah para guru yang harus melaksanakan sistem among tersebut. Para guru yang bisa memerankan fungsinya secara baik disebut pamong. Para pamong ini seharusnya memiliki tiga ajaran utama kepemimpinan menurut Ki Hadjar Dewantara yang populer di kalangan masyarakat dalam bahasa jawa yaitu ing ngarso sun tulodo, ing madyo ’mbangun karso, tut wuri handayani atau didepan mampu memberi suri tauladan, di tengah-tengah mampu memberikan motivasi dan semangat serta dari belakang mampu memberikan dorongan untuk maju. Secara tegas dalam pengertian ini, seorang pemimpin (guru/pamong) harus memiliki ketiga sifat tersebut agar bisa menjadi panutan bagi anak didiknya. Karena para guru memang berfungsi untuk digugu dan ditiru. Jadi, seorang pamong (guru) yang baik adalah yang tidak hanya dapat memberikan tauladan tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral agar anak didik bisa melakukan pembelajaran dan tanggung jawab sebagai siswa secara tulus dan tanpa paksaan, tanpa tekanan maupun ancaman dari siapapun. Menata Kembali Dunia Pendidikan Indonesia Pendidikan di Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa seiring perjalanan waktu dan pergantian resim yang berkuasa di negeri ini. Pada masa Orde Lama pendidikan di arahkan ke arah sistem sosialis, yang memberikan prinsip dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial baik kelas atas, menengah maupun kelas bawah. Di masa Orde Baru pendidikan di arahkan sebagai alat pembenaran terhadap segala kebijakan penguasa tanpa memberikan sedikitpun ruang untuk berpendapat dan mengekpresikan diri dengan kebebasan. Dan pada Era Reformasi ini pendidikan belum beranjak dari keterpurukan. Pendidikan diletakkan dalam paradigma kapitalis yang menganggap pendidikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan dengan harga yang sangat mahal yang pada akhirnya akan melahirkan komersialisasi pendidikan. Sehingga hanya akan dapat dikenyam oleh sebagian kecil orang dan golongan tertentu saja. Maka sudah saatnya dunia pendidikan melakukan pembenahan secara menyeluruh untuk kembali memajukan pendidikan. Bukankah konsep-konsep pendidikan sudah jelas. Bapak pendidikan Negeri ini telah memberikan satu konsep yang sangat cukup untuk memajukan pendidikan pertanyaannya hanya satu ; ”maukah kita untuk berubah ?”. Jika jawabannya ”iya” maka sudah selayaknya kita mulai sedikit-demi sedikit, mulai dari hal-hal yang kecil dan muali saat ini juga. Epilog ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya”, maka jika masih tersisa hati nurani sudah saatnya penghargaan kepada pahlawan pendidikan negeri ini kita persembahkan dengan menelisik kembali kearifan yang di wariskan menuju kehidupan berbangsa yang lebih baik pada hari esok. Penghargaan tersebut kita lakukan dengan menyampaikan cita-cita pendidikan yang beliau tinggalkan. Cita-cita untuk memajukan pendidikan sesuai dengan budaya dan karakter penduduk negeri ini yaitu pendidikan yang tidak hanya mengutamakan kecerdasan intelektualisme tetapi juga moral dan tata krama. Mengadopsi sistem pendidikan orang lain yang sesuai kiranya penting, namun kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan rasa kekeluargaan dalam pendidikan kiranya jauh lebih penting. Sudah saatnya kita kembali ke pendidikan indonesia!.

No comments:

Post a Comment