Monday 5 January 2015

PENCIPTAAN MANUSIA

Di tengah malam yang gelap, aku duduk di halaman sebuah rumah, melakukan percakapan dengan alam yang diselimuti sunyi. Aku menatap langit yang jauh, tiba-tiba terlintas dalam benakku sebuah pertanyaan: “Kemanakah sesungguhnya hidupku tertuju? Apakah hidupku hanya seperti ini, sekedar menikmati keindahan dunia dan segala macam hiasannya?” Pertanyaan itu merasuk ke dalam pikiranku. Sesekali angin malam berhembus lembut, seperti terdengar berbisik memaksaku untuk mencari tau jawaban dari pertanyaan itu. Pada malam harinya, pertanyaan asing itu tidak mampu kujawab sendiri. Sehingga sampai di pagi hari, saat aku berada di hadapan guruku, pertanyaan itu masih memenuhi ruang hatiku. Dalam kegundahan itu, guruku sepertinya membaca keadaan hatiku. Sebelum aku melontarkan pertanyaan itu, ia lebih dulu menjawabnya dengan penuh bijaksana: “Manusia datang ke atas dunia ini, adalah karena kehendak-Nya. Dan pada akhirnya nanti, manusia akan kembali karena kehendak-Nya pula. Ia dilahirkan ke alam ini, sesungguhnya ditemani oleh pelukan takdir untuk kemudian mengejar tujuan hidupnya yang hakiki, yaitu untuk menyembah dengan tulus ikhlas hanya kepada-Nya. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna penciptaannya. Manusia telah diberikan bentuk raga yang begitu indah, disertai panca indra serta nafsu dan akal. Dengan semuanya itu, manusia bisa menikmati kehidupannya di alam semesta ini. Sejatinya, manusia itu juga sangat lemah tak berdaya, jika akan dibandingkan dengan kebesaran Kuasa Tuhannya. Alangkah mulia dirinya jika ia selalu tunduk di hadapan Tuhan, dengan selalu berjalan penuh kerelaan menaati segala hukum kehidupan. Orang yang seperti ini, adalah orang yang menyadari kelemahan dirinya, sehingga ia selalu merasa kecil dan senantiasa berserah diri kepada Dzat yang menciptakannya. Dan alangkah hinanya manusia jika ia menjadi penentang Tuhan. Dengan sedikit kelebihan yang diberikan, ia menjadi makhluk yang congkak dan sombong, tanpa mau tunduk terhadap perintah dan larangan tuhannya. Bahkan ia hidup di dunia ini hanya untuk menikmati keindahan dunia dan segala macam hiasannya. Sehingga ia menjadi manusia yang hidup dalam kegelapan tipu daya dunia sepanjang umurnya. Manusia seperti ini, dalam waktu yang tidak panjang, sesungguhnya akan binasa bersama kelemahan dan kesombongannya. Kemanakah sesungguhnya hidup ini tertuju? Apakah hidupku hanya seperti ini, sekedar menikmati keindahan dunia dan segala macam hiasannya?” Aku terkejut mendengar pertanyaan hatiku semalam tiba-tiba diucapkan kembali oleh guruku. Di tengah keterkejutan itu, guruku melanjutkan pembicaannya: “Kita adalah salah satu makhluk ciptaan-Nya, makhluk yang diciptakan tiada yang lebih sempurna selain diri kita. Maka menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk senantiasa memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan yang telah Menciptakan. Bersyukur adalah ketika hati sanubari kita yakin bahwa segala karunia yang menyertai kita merupakan pemberian-Nya. Bersyukur adalah tatkala lisan kita tiada pernah berhenti memuji Asma-Nya yang Indah, lebih-lebih kala karunia itu tengah berlimpah di hadapan kita. Bersyukur adalah kala segala limpahan karunia-Nya kita memfungsikannya hanya untuk kebaikan, memfungsikannya hanya untuk perkara yang akan membawa kita untuk semakin dekat kepada-Nya. Dan orang-orang yang sudah bersyukur, mereka adalah yang sepanjang tarikan nafasnya selalu tulus ikhlas menyembah Tuhannya. Mereka yang selalu tunduk dan patuh terhadap hukum Tuhan yang disampaikan lewat Muhammad Nabi-Nya yang mulia. Hukum itu kemudian mereka jadikan undang-undang sejati yang harus ditegakkan di atas muka bumi ini. Itulah tujuan sejati dari penciptaan manusia.

Monday 11 November 2013

Thariqat Cinta (Persembahan buat hati yang terluka)

Siang yang garang dengan panas yang menyengat memaksa butiran bening keluar berjatuhan bersama cekikan rasa haus yang mendera tenggorokan. Suasana udara yang lumrah kita akan jumpai di tanah yang dijuluki dengan ‘kebun surgawi’ – Anjani – suatu Desa kecil di bagian timur Pulau Lombok. Desa yang merupakan salah satu kiblat pendidikan agama di Nusa Tenggara Barat. Karena di sini berdiri dengan megah salah satu Pondok Pesantren terbesar dengan jumlah santri hampir mencapai angka sepuluh ribuan. Suatu julukan yang kadang bertolak belakang dengan dzahirnya. Oya! Tapi mungkin yang menjuluki memandang dari sisi makna. Maklumlah kawasan ini memang selalu penuh dengan nuansa religius, dengan santri yang senantiasa bersamangat dalam menuntut ilmu sambil menenteng kitab-kitab. Santri yang bersemangat mempelajari kitab-kitab keagamaan klasik, dari kitab kecil semacam al-Jurumiyyah, matnul bina’ wal asas, sampai kitab-kitab besar semacam tafsir, hadits, fiqih, usul fiqh dan lain sebagainya. Dalam panas yang menggerutukan rasa, tiba-tiba aku terpikir akan eksistensi Tuhan yang mulai lenyap dalam alam pikiran manusia. Tak heran hati sering bertanya apa arti penciptaan makhluk di dunia ini? Apa makhluk yang semakin lupa dengan eksistensi Tuhannya. Ataukah Tuhan yang memang sengaja mengurangi eksistensi diri-Nya? Aku juga sering bertanya dalam hati “Siapakah yang menciptakan Tuhan? Apakah makhluk dengan pencipta saling menciptakan?”. Ah, pertanyaan konyol. Karenanya harus dijawab dengan kekonyolan juga. Setelah pikiran ini puas berbicara sendiri, aku putuskan mengambil air wudu lalu membaca kitab suci Al Qur’an. Alangkah kaget rasa dan pikiran ini saat mata ini harus bertemu dengan surat Al Ikhlas. Tepatnya di jus Amma (juz terakhir Al Qur’an). Kebetulan akhir-akhir ini aku memang sedang berusaha memfasihkan bacaaan surah-surah pendek. Berhubungan bulan suci Ramadhan akan segera tiba. Ayat yang mampu menceritakan dan menjawab apa yang ditanyakan pikiranku tadi. Bahwa Allah itu Esa yang tiada satupun yang menyamai-Nya. Apalagi hendak menciptakan-Nya. Maha suci Allah yang maha benar dengan segala firman-Nya. Selanjutnya setiap napas yang jatuh terasa seakan berzikir akan keagungan Tuhan yang begitu murah menghargakan nikmat. Aku berusaha mengiringi langkah kakiku memasuki masjid Darul Qur’an Wal Hadits dengan terus bersyukur dan bertasbih. Ya Allah alangkah besar anugerah yang senantiasa Engkau karuniakan. *** Arloji di tanganku menunjukkan pukul 15.00 Wita. Aku mulai berkemas untuk pergi kuliah. Kebetulan ada mata kuliah tambahan dari dosen Pengantar Ilmu Filsafat. Ilmu yang menurutku sering membodohkan akal! Kuliah yang membosankan. Dengan dosen-dosen yang aneh. Dengan gaya mereka yang sok benar dan sok pintar. Dengan intensitas subjektifitas tingkat tinggi. Bahkan lebih aneh ketika nilaiku harus anjlok ketika aku berani menyanggah pendapat dosen dan memberikan masukan. Malah bisa-bisanya aku dikatakan tidak tau etika dan sok tahu. Ditambah lagi dengan fasilitas belajar yang tak menunjang. Perpustakaan yang yang buku-bukunya bisa dihitung jari, dengan suasana yang tidak nyaman dan kotor dengan karyawan perpustakaan yang selalu cemberut. Berlanjut dengan rektor yang berkapasitas dewa yang semua ucapannya bak sabda pandita ratu. Saat kita berani angkat bicara maka kita akan dijajani dengan doktrin ta’limul muta’allim yang saya rasa merekapun sebenarnya tidak mengerti dengan konsep ta’lim yang sering mereka jadikan tempat berlindung dari kritikan mahasiswa. Dan yang terparah kita akan diancam kena Drof Out! Ternyata reformasi belum berhasil mengengkat doktrin kebebasan. Barangkali salah satu faktor penyebab kaki ini masih mau melangkah menuju kampus ini adalah seorang gadis yang mampu membuat pikiran ini menari dan bernyanyi. Telinga ini rindu, mata ini tawakkal dan mulut ini akan senantiasa bertasbih bila bertemu dengannya. Dialah yang seakan selalu membuat bebanku selama ini pudar dengan kehadirannya di antara hayal dan mimpi malam dalam lelap tidurku. Baiq Musliha Nuri Qomara Hayati Binti TGH. Lalu Amin Nurullah yang akrab dipanggil “Mara”. Seorang bije (anak, red.) Tuan Guru terkemuka sekaligus seorang putri bangsawan asli sasak. Mara begitu ayu dan anggun dengan wajah lugu yang nyaris tidak pernah tersentuh make up. Wajah alami yang senantiasa diiringi segala sikap kesederhanaanya. Mara merupakan salah satu juniorku di Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Aku mengenalnya pertama kali ketika dia mendaftar ikut LDK. Kami semakin akrab seiring dengan intensitas pertemuan kami dalam halaqah mingguan ataupun dalam liqa’ rutin yang diadakan LDK. Alangkah mata ini tidak berhenti kagum akan kekuasaan Allah yang telah menciptakan wanita yang begitu ayu dan mampu membuat jiwa manusia bermimpi dan bertasbih jika melihatnya. Tidak mengherankan jika ia dijuluki kembang kampus sehingga mungkin setiap pria di kampus ini berhayal untuk menanam bunga jiwa dalam hatinya dan bermimpi memilikinya. Tak terkecuali aku........ subhanallah. Mara merupakan gadis yang memegang pprinsip dan taat dalam beribadah. Kalau kita pernah melihat bidadari dunia mungkin Mara merupakan salah satu jelmaan diantara bidadari dunia. Pujianku bagaikan Sang Amir yang memuji Zaida dalam cerita “Rembulan Di Langit Hatiku”. Karena dia memang seindah purnama. Matanya bening laksana kaca. Dan wajahnya bersih bercahaya – mungkin karena air wudu yang menyiraminya. Akhlaknya baik, tutur katanya sopan, tegas dan tertata. Maklumlah keturunan Tuan Guru dan bangsawan. Jilbabnya rapi, dan dia selalu menjaga diri dari bersentuhan dengan laki-laki bukan mahram. Dia jarang keluar malam hari. Keluarganya benar-benar, menjaganya bagaikan menyimpan mutiara di dalam kerang. Kemudian kerang itu diletakkan jauh di kedalaman samudera. Seandainya kita berharap memiliki istri yang anggun dan sholihah, maka Mara yang memiliki keanggunan dan sifat itu. Bila kita berharap memiliki seorang istri yang akan menjadi pelita dalam rumah tangga maka Mara-lah yang memiliki cahaya yang berpendar di dirinya. Bila kita merindukan bunga yang jelita, yang akan menebarkan harum di setiap sudut taman hati setelah menikah kelak, Mara-lah sekuntum bunga yang pantas untuk dirindu dan dipuja. Bila kita mengharapkan keteduhan mewarnai perjalanan di masa depan. Mara merupakan telaga berair jernih yang tak pernah kering, yang akan melepaskan dahaga jiwa. Bila kita berharap istri pemalu dan sederhana bagaikan Fatimah Az Zahra putri Baginda Nabi, Kita akan menemukan sikap mulia itu bersemayam dalam diri Mara. Bila berharap istri yang cerdas, mampu mengurai dan memaknai hari laksana Aisyah istri Baginda Nabi kitapun akan menemukan kecerdasan itu menjadi bagian dari keseharian Mara. Pujian ini pantas akan tersenandungkan kepada sosoknya yang akan menghabiskan setiap kata puitis untuk menggambarkan kelebihannya. Dan saya seperti seorang melayu yang tengah rindu bersyair ketika melihat suka. Melihat keindahan mara, aku selalu jadi teringat dengan ungkapan seorang yang dianggap akrab dengan dunia Eksak, yang seringkali memiliki bakat sastra yang menakjubkan, seorang Albert Einstein sang penemu teori relativitas pun – ketika kesadaran tentang Tuhan bersemayam di hatinya – pernah berkata dengan indah “Tuhan tidak pernah bermain dadu dalam penciptaan semesta raya ini”. Hari-hari semakin penuh dengan harapan akan mimpi sang pecundang untuk mendapat gadis raja membuat sudut jiwaku selalu berbisik ‘hari ini aku sadari aku telah jatuh cinta – dari hatiku terdalam sungguh aku cinta padamu – cintaku bukanlah cinta biasa,- jika kau yang memiliki dan kamu yang telah menemaniku seumur hidupku”. Mungkin potongan syair ini adalah salah satu dari kata penyair yang mampu mewakili rasaku saat ini. Akupun kian gundah karena aku harus terkultus menjadi seorang pengecut yang tidak berani menerima kenyataan. Kalau cintanya tidak bersambut. “Alangkah bodoh diri ini Tuhan” yang selalu mengharapkan imbalan dari sesuatu di dunia ini. Apakah rasa ikhlas untuk mencintai sudah tidak ada lagi di dunia ini? Bukankah cinta yang tulus adalah ketika meneteskan air mata karena telah disakiti tapi kita masih peduli terhadapnya. Cinta yang tulus adalah ketika orang yang kita cintai tidak memperdulikan kita namun kita masih menunggu dengan setia. Cinta yang tulus bukan berarti cinta yang sesaat dan terus sirna!. Cinta yang tulus adalah ketika orang yang kita sayang mencintai orang lain namun kita masih sempat tersenyum. Ketika kita mampu berkata untuk orang yang kita cintai ‘aku bahagia untukmu’, walau itu sangat menyakitkan. Setelah merenung berhari-hari, kepercayaan dihatiku mulai tumbuh untuk berjuang kembali. Cinta ini seakan tangisan sang Qais. Seakan seperti kerinduan karang. Cinta yang seakan harapan fata... Akupun semakin meyakini keimananku tentang cinta ini sambil aku tetap mempertanyakan keinginan Tuhan. Moga apa yang kurasakan bukan teguran dari Tuhan. Akhirnya kesempatan yang kunantikan sekaligus kutakutkan datang juga. Ahad 6 Juli 2012 merupakan hari yang sangat bersejarah dalam cerita hidupku. Hari ini ada acara halaqah mingguan Lembaga Dakwah Kampus. Dan ini artinya kesempatan untuk bertemu dengan Mara dan mengatakan rasa yang tersembunyikan hati sejak lama. Rasa yang membuat banyak waktu dalam hidupku terisi dengan mimpi-mimpi dan harapan. Rasa yang selama ini membuatku seakan seperti sang Qais yang tertusuk asmaraloka. Seperti Amir yang merindukan Zaida. Setelah selesai diskusi aku langsung menyapa dan mengajaknya bicara sebentar. Dengan nada yang berat dia menerima ajakanku. “Ada apa kak, kok kedengarannya penting sekali ?” “Eeeeeeeeeeeeee...aaaaaaaaaaaaanu!! bagaimana cara ngomongnya ya ?” “Emang ada apa sich kak ???” “Dik...!” suaraku seakan tersedak. “Ya..!” “Kakak sebenarnya ingin jujur sama adek.” “Emang kakak sudah bohong ma adek?” tanya Mara. “Ndak sich. Cuma kakak ingin memberikan pengakuan sama adik?” “Pengakuan???” Mira mengerutkan kening penuh tanya. “Iya pengakuan kalau kakak saat ini lagi merasakan sesuatu yang selama ini jarang terasakan hati. Rasa yang selama ini menjadi keimanan tersendiri dalam relung hati kakak. Rasa yang menjadi naluri seorang lelaki.” Aku mulai menjelaskan. “Maksud kakak?” kulihat wajah Mara serius. “Kakak lagi merasakan rasa yang dirasakan Adam ketika bertemu dengan Hawa. Rasa kerinduan yang dirasakan Adam ketika berpisah dengan Hawa. Rasa kehilangan ketika ketiadaannya.” Jelasku. “Ooo! Jadi...” “Iya, kakak lagi suka sama seorang Muslimah. Tapi...” kalimatku menggantung. “Siapa sih yang beruntung sekali dicintai ma kakak....?” “”Jadi adik belum mengerti...?” “Mengerti apa?” Mara malah balik bertanya. “Maksud kakak....?” “Bagaimana kalau gadis itu adalah adik...?” kataku menegaskan. “Apa kak?” Mara tampak terkejut. “Iya, memang adiklah yang kakak maksud.” Tegasku lebih meyakinkan. “Assalamualaikum...” Mara langsung berlalu dari hadapanku dengan muka yang bersemu merah. Aku bagaikan terdakwa di ruang sidang yang diponis hukuman penjara seumur hidup. Hatiku terasa remuk redam dengan segala macam pertanyaan. Apakah ini tanda titik atau tanda koma dari apa yang kurasakan selama ini? Rasa yang tertata terporak-porandakan oleh rasa bersalah. Jiwaku makin terpuruk dengan keimanan akan cintaku yang kian memburuk. Rasa bersalahku kian sempurna ketika aku harus diberi tahu bahwa Mara sudah satu minggu tidak masuk kuliah. Hal yang sangat menyakitkan sekali ketika kita harus mencintai seseorang yang pada hakikatnya kita ingin melihatnya bahagia justru harus tergoreskan warna lain. Ketika kita ingin mencintai setulus hati namun harus terkandaskan. Astagfirullahalazhim!! *** Dua minggu sudah aku tidak bertemu dengan Mara. Hari ini ada mata kuliah Psikologi Sastra. Kebetulan agak sorean. Jadi aku bisa Sholat Ashar dulu di kamar cost. Karena biasanya aku Sholat Ashar di aula kampus. Entah mengapa setelah sholat, rasa kangen kepada Mara seakan mengejawantah dan membuncah-buncah dengan begitu kuatnya. Tapi batin ini berusaha kuat menahannya. Setelah bersiap-siap aku segera pergi kuliah. Aku berusaha menyibukkan diri supaya rasa kangen itu tidak semakin mendalam. Tapi entah mengapa setiba di kampus, hati ini sangat berharap bisa melihat Mara kendati tanpa harus menyapanya. Aku tersentak kaget ketika pikiran ini berkelana tiba-tiba ada suara yang memanggil dari belakang yang suaranya sangat mirip dengan Mara. Dan ternyata suara itu adalah milik Farida. Teman yang sangat akrab sekali dengan Mara. Kebetulan Mara sering menceritakannya dulu. Farida merupakan sahabat sejak kecil Mara. Dan secara kebetulan mereka selalu di tempat yang sama mengenyam pendidikan sampai sekarang. Farida menghampiriku sambil melemparkan senyuman tipis dengan sket wajah dipenuhi beribu tanya. Setelah tepat berada di depanku, Farida langsung memberikan sepucuk surat dengan amplop putih polos. Setelah ku ambil dari tangannya, Farida langsung melontarkan kata-kata usil. “Ye orang yang dapat surat” “Da pa ya...kok main surat-suratan segala...? “Jadi curiga??!” “Iya ndak ada pa-pa kok!” “Oya kata Mara kalo kak Aby sudi menjawab tulisan ini tolong lewat saya! Ndak boleh lewat yang lain!” “Insya Allah. Terus kenapa Mara tidak pernah masuk kuliah?” Tanyaku “Kalau itu adek kurang tau kak! Karena adek juga tumben bertemu Mara tadi pagi. Kebetulan dia yang datang ke rumah. Dan dia tidak bilang apa-apa.” “Mang ada apa kak? Sepertinya ada yang kalian sembunyikan?” “Memang Mara tidak pernah cerita?” “Kan adek dah bilang adek dak pernah ketemu minggu-minggu ini.” “Oya dik, udahan dulu ya. Dosen kakak dah masuk. Nanti kita lanjutkan,..” Pamitku. “Iya dah, kebetulan adek juga mau ke perpustakaan ngembaliin buku yang adek pinjam minggu kemarin.” ‘Assalamualaikum” “Waalaikumussalam..” Di dalam ruangan aku kepikiran terus dengan surat yang diberikan Farida tadi. Aku mencoba mereka-reka apa gerangan isinya. Namun semakin kutebak rasa penasaranku semakin bertambah. Dalam ruangan kelas ku rasakan seperti di kemah penantian. Mata kuliah Psikologi Sastra biasanya sangat kunikmati, hari ini seakan seperti mendengarkan pidato presiden yang hilang tanpa makna dengan segala kebosanan. Alangkah aku ingin cepat pulang dan membuka surat yang ada di dalam tasku ini. Setiba di kost aku langsung masuk kamar lalu mengunci pintu dari dalam dengan terlebih dahulu membaca basmalah. Aku mulai mengeluarkan kertas yang memakai amplop warna putih.... lalu mulai membacanya kalimat demi kalimat. Atas nama sekeping hati yang rindu dengan hakikat cinta. Ku tulis sura ini bersama dengan sepenuh harapanku. semoga kecintaanku terhadap Tuhan tidak akan memudar dan berkurang. Sungguh yang ingin ku pertanyakan pertama kali dalam tulisan ini adalah kenapa hati kakak tertuju sama adik?. Dan semoga kakak tidak menjual nama Allah dalam menggapai sebuah tujuan. Hingga saat adek menulis surat ini, adek belum berfikir untuk membagi cintaku terhadap Tuhanku!! Jika Tuhan menghendaki semua ini dengan apa yang kakak buktikan mungkin kerangka berfikir tentang cinta ini akan berbeda. Dan mudah-mudahan semua terjawab dengan kesungguhan kakak. Tapi adek juga tidak bisa pungkiri bahwa adek juga memiliki tabi’at dan naluri seperti perempuan biasanya. Seandainya kakak serius dengan kata-kata kakak kemarin, adek ingin melihat keseriusan itu dengan melihat kakak menghafal Al Qur’an tiga puluh juz dalam jangka enam bulan, dan ini adalah syarat yang pertama. Syarat yang kedua, kakak juga biasakan puasa senin-kamis. Terakhir, kakak harus menguasai bahasa inggris. Ketiga syarat ini adalah kata taukid dan keteguhan bagi adik. Tidak ada yang tidak mungki selama kita berkeinginan. Semoga kakak mengerti dengan tujuan semua ini. Dan terakhir, syarat ini ada kalau kita mengerti akan makna sejatinya cinta. Dan adek minta kakak jangan pernah mengungkapkan rasa itu lagi kalau kakak belum memenuhi ketiga syarat yang adik ajukan. Ketahuilah kak, Kalau kita ingin mengerti dengan kata cinta, carilah apa yang harus dimengerti oleh rasa. Pikirkan apa yang dipikirkan pikiran dan maknakan apa yang harus termaknakan dari makna kehidupan dengan mencari arti dari setiap detak waktu yang berputar. Adek nanti perubahan kakak, enam bulan kedepan!!! Ttd Mara *** Kedatangan surat Mara memberikan angin baru pada harapanku yang seakan mulai layu. Perasaan ini bercampur aduk, mulai dari perasaan yang patah hingga perasaan yang tumbuh hingga bercampur menjadi kebingungan. Rasa patah karena syarat yang diajukan Mara merupakan hal yang sulit terpenuhi oleh diriku. Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran yang sangat ku benci sejak SD. Dan menghapal merupakan pekerjaan yang paling membosankan bagiku. Sedangkan kalau puasa senin-kamis merupakan hal yang biasa ku lakukan sekalipun mungkin tidak terlalu intens. Sedangkan rasa tumbuh bagi Mara akan berbalas dengan terpenuhinya syarat ini berarti aku masih punya harapan. aku teringat dengan firman Allah yang artinya “Di balik kesusahan ada kemudahan.” Di dalam firman-Nya yang lain, artinya “Bahwa Allah tidak akan menguji hamba-Nya kecuali berdasarkan kemampuannya.” Bahkan bandowoso mampu menciptakan seribu Candi Prambanan dalam jangka satu malam dengan dasar cintanya terhadap sang Roro Jonggrang. Seorang Sangkuriang mampu membendung Sungai Citarum karena kebesaran cintanya kepada Dayang Sumbi yang merupakan ibunya sendiri. Lalu atas alasan apakah aku harus mundur untuk memperjuangkan cinta ini?” Kalau mereka bisa lenapa aku tidak?!”gumamku dalam hati. *** Satu minggu pertama aku berusaha memformat ulang jadwal-jadwalku untuk enam bulan kedepan dan berusaha menyesuaikannya agar tidak ada terbengkalai dan tumbang tindih. Jadwal untuk menghafal yang paling banyak porsinya untuk tiga bulan kedepannya. Sedangkan untuk menguasai bahasa inggris saya putuskan untuk mengikuti kursus dan privat pada teman dekat costku yang kebetulan mengambil jurusan Bahasa Inggris. Malam ini aku mencoba menulis balasan surat Mara yang kemarin. Berisi kesanggupan dan janji hati untuk memenuhi semua syarat yang diajukannya. Lalu keesokan harinya aku langsung menitipkan balasannya lewat Farida lagi dalam surat itu menyampaikan bagaimana aku akan tetap memperjuangkan apa yang menjadi keyakinanku dan dengan apa yang aku katakan. *** Waktu tersa berlalu dengan cepatnya. Tanpa terasa tiga bulan telah berlalu dari sejak Mara memberikan surat itu. aku berusaha mengevaluasi pencapaianku selama empat minggu ini. Aku berusaha melihat penguasaan Bahasa Inggrisku dan menyuruh teman kostku menyimak hafalan Al-Qur’anku. Aku berusaha keras dalam jangka tiga bulan ini semua syarat itu dapat aku penuhi. Alangkah kecewanya diri ini dengan pencapaian yang kudapatkan. Semangat ini tiba-tiba mengendor secara drastis 180 derajat kemiringan. Karena dalam tiga bulan ini, aku balum mancapai satu juz pun. Secara logika matematika, kalau dalam jangka tiga bulan saja hafalanku belum sampai satu jus, bagaimana dengan yang dua puluh sembilan juz dengan sisa waktu yang tinggal tiga bulan. sedangkan untuk Bahasa Inggris kendati lidah ini masih sedikit gagu, tapi paling tidak banyak vokabulari dan struktur bahasa yang sudah kuhapal dan kukuasai. Dan waktunya masih cukup panjang. Pikiran semakin berkecamukdan pesimis melihat realitas bulan-bulan ini, di mana akhir bulan ini aku harus menghadapi semester Ma’had DQH dan berlanjut dengan semester kuliahku yang akan diadakan awal bulan depan. Alangkah sulitnya keadaan bagiku. Tapi aku berusaha menyelamatkan harapan yang mulai rapuh ini dengan berusaha menenangkannya dengan keyakinan bahwa setiap gelap pasti akan terang dan masalah yang akan mengajarkan kita makna pengharapan dan kedewasaan. *** Akhirnya hari minggu ini aku putuskan melakukan konsultasi kepada salah seorang ustadz tempat mudzakarah (mengaji) dulu. Dia adalah seorang juara tahfidz Al-Qur’an 30 juz MTQ tingkat Nasional. Pagi-pagi sekali aku berangkat kerumah beliau. Kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dari komplek pondok pesantren. Tok......tok.....tok.... “Assalamualaikum ...”......tok.....tok.....”Assalamualaikum..” “Wa’alaikumussalam” yang menyambut istri beliau. “Ee nak Aby,,,,,” silahkan masuk! “Gih terima kasih Ummi” “Ada apa sih nak, pasti ada yang penting kok tumben datangnya pagi –pagi sekali” “Nggih Ummi ada yang mau tiang konsultasikan sama Abah, apa beliau ada?” “Tunggu sebentar, Ummi panggilkan dulu” “Tapi kalau Abah tengah sibuk, Aby tunggu saja umm,i ndak enak mengganggu Abah” “Ndak apa-apa kok . Malah Abah akan sangat marah kalau hajat tamunya tidak segera dipenuhi”. Ummi menjawab sambil berlalu memanggil Abah. “Assalamualaikum” ”Wa’alaikumussalam” Aku segera berdidri dan mencium tangan beliau penuh ta’dzim. “Sudah lama nak” “Ndak kok Bah, baru saja”. “Nak Aby ada perlu apa kok pagi-pagi sekali?”. “Alhamdulillah nakda ingin datang silaturrahmi dan meminta nasihat dari Abah” “ Bagaimana keadaan kuliah dan dirosah nak Aby di Ma’had?” “Alhamdulillah lancar Ustadz”. Akupun diam beberapa saat untuk berfikir harus mulai darimana menceritakan masalahku. “Oya begini ustazd? nakda minta saran atau nasihat, bagaimana cara cepat untuk menghafal Al-qur’an ?”. “Alhamdulillah kalau nak Aby ingin menghafal Al-Qur’an, paling tidak niat nak Aby sudah tercatat di sisi Allah sebagai amal ibadah, apa nak Aby sudah mulai menghafal?”. “Nggih baru tiga bulan terakhir ini ustadz”. “Berapa juz sudah di hafal?”. “Baru hampir satu juz ustadz, justeru itulah nakda menghadap dan mohon saran bagaimana supaya nanda cepat menghafal?”. “Perlu nak Aby ingat bahwa Al-Qur’an merupakan sesuatu yang suci, sehingga kalau kita ingin menuju kepada suatu yang suci harus dengan kesucian, suci raga, suci jiwa, dan tentunya kita melakukannya dengan rasa ikhlas. Selanjutnya kalau mau cepat hafal, usahakan dibarengi dengan puasa dan menghafal di waktu-waktu yang ijabah, Misalnya seperti sepertiga malam atau di tempat-tempat suci, serta tentu juga dengan banyak mengulang. Oya usahakanlah momentum Ramadhan kali ini sebagai wadah nakda menghafal Al-Qur’an, apalagi di bulan Ramadhan merupakan bulan tempat di turunkannya Al-Qur’an. “Nggih Bah!! Insya Allah!”. “Oya abah mungkin hal-hal lain sebagai penantang kita?”. “Hindari dari pekerjaan maksiat,memakan barang haram, dan hindari pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan dosa, agar nak Aby selalu dekat dengan Allah, dan kalau bisa kurangi intensitas bersama wanita yang bukan muhrim”. “Ya Bah, kalau begitu nakda tunas pamit nanti telat berangkat ke Ma’had .” “Ya sudah kalau begitu, nakda rajin belajar ya?. Dan jangan sia-siakan waktu”. “Ummi, Aby mau pulang!!”. “Eee kok cepat sekali nak?” tampaknya ummi sedang menyiapkan sarapan di dapur , “Sarapan saja dulu nak baru pulang!!”. “Lain kali dah ummi, nakda harus pergi ma’had dan takut telat,”. “Oya dah hati-hati ya nak?” pesan ummi. “Assalamualaikum” “Wa’alaikumussalam” Sepulang dari rumah Ustadz, aku banyak merenungi kata-kata beliau, aku kian merasa terlalu banyak noda selama ini, banyak kealfaan dan kehilafan yang aku lakukan. Aku bertekad untuk merevarasi diri kembali dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. *** Tanpa terasa bulan Ramadhan pun telah tiba. Bulan yang sangat di nanti-nanti kaum muslimin yang beriman. bulan yang merupakan tempat penghapusan dosa, bulan yang penuh dengan kebarokahan. Di bulan Ramadhan ini aku berusaha memformat ulang waktuku dengan memperbanyak komposisi waktu untuk menghafal. Intensitas waktu banyak ku pergunakan juga untuk mengulang hafalan. Aku berusaha memanfaatkan momentum Ramadhan kali ini dengan sebaik mungkin sesuai pesan Ustadz. Apalagi Ma’had DQH libur total selama bulan Ramadhan, sedang kan jadwal perkuliahan hanya masuk akhir bulan, dan itu pun dosennya tidak terlalu aktif, maklum puasa selalu itu yang jadi alasan meski aku sendiri tidak akan pernah sepakat kalau puasa di jadikan tameng bermalas-malasan. Ramadahan berjalan begitu indahnya, hari-hari pergi dengan begitu cepat seakan berlalu melalui batas mimpi. Badan ini semakin kurus, hari-hari berjalan mengejar mimpi yang seakan sebagai narapidana. Alhamdulillah dalam tiga minggu Ramadhan berjalan, hafalanku mencapai 17 juz, pencapain yang prestisius bagi penghapal dadakan sepertiku. Aku mulai terbiasa bangun malam dan Sholat Tahajjud, sedangkan untuk penguasaan Bahasa Inggris, aku kian lancar dan mulai terbiasa bercakap-cakap dalam Bahasa Inggris sehingga banyak teman-teman seakan-akan tidak percaya kalau aku bisa berbicara dengan Bahasa Inggris, karena biasanya aku adalah orang yang paling anti dengan bahasa tersebut, sewaktu Aliyah saja aku sering mengejek teman-teman sekelas jika ada yang berbicara memakai bahasa tersebut, aku sering mengatakannya dengan bahasa neraka, bahasa penjajah, bahasa syetan, dan lain sebagainya. Ini merupakan minggu terakhir bulan Ramadhan. Banyak sekali pelajaran yang di dapati untuk Ramadhan kali ini aku berharap dapat mengahafal dua pertiga Al-Qur’an dan bisa mengulanginya kembali dengan baik. *** Hari rayapun tiba. Hari ini merupakan puncak kemenangan bagi kaum Muslimin yang telah berperang melawan hawa nafsunya. Di hari kenangan ini kenangan tetang Mara memanggil dengan begitu kuatnya, rasa rindu yang mendera kian membara menjadi kesakitan yang luar biasa, tapi komitmen jiwa ini terpatri dengan begitu kokohnya, harapan dalam jiwa jangan sampai menawar rindu sebelum bertemu janji. Janji yang harus dilunasi bagi seorang kesatria sejati Aku sangat bersyukur sekali karena bulan Ramadhan kali ini aku sudah mampu menghafal hingga juz ke-21, sehingga menurutku untuk bulan selanjutnya akan lebih mudah bagiku. Ramadhan berganti Syawal, bulan yang menjadi ajang pembuktian bagiku, Rindu yag menggunung ingin bertumpah, rasa yang berharap ingin terasa, mimpi yang tertunda ingin terwujud, kata yang terputus ingin tersambung, segala bermuara pada bulan ini. Aku sangat bersyukur dengan nikmat Allah yang sangat luar biasa bagiku. Aku di berikan cinta yang luar biasa sekali yang mampu merubah ritme’ dalam perjalanan waktu yang selama ini harus aku jalani. Tuhan mengajarkan tentang kebermaknaan cinta yang sangat berharga. Bagaimana sang pencipta memberi sentuhan pada mimpinya untuk menjadi nyata. Tanpa terasa waktu yang ku nantikan akan segera menyapaku dengan begitu indahnya. Satu minggu lagi waktu terakhir dari batas waktu yang di tawarkan Mara akan datang. Mimpiku seakan di depan mata. Hafalanku sudah hampir rampung. Aku tinggal lebih banyak mengulangi saja, hatiku terpenuhi dengan bunga, yang di siram telaga wangi, jiwaku terhias harapan, yang mampu embelah bumi. Harapan seakan kian berbunga, hafalanku kian ku mantapkan. Kata-kata pertama yang akan aku ucapkan pertama kali nanti mulai aku persiapkan. Aku seakan bermimpi bagai Adam yang bertemu pertama kali dengan sang Hawa di padang Arafah. *** Hari ini aku sangat kagum dengan salah seoarang masyaikh (Dosen di Ma’had DQH) yang baru pulang dari Madrasah As-Shaulatiyah Makkah. Bahasa–bahasanya sangat menyejukkan hati. Beliau seorang hafidz (penghapal al-Qur’an) yang sangat tekun sekali menggali Al-Qur’an. Sifat beliau yang tawaddu’ menjadi keindahan yang melengkapi wajah tampannya. Saat mengajar beliau menceritakan bagaimana riwayat hidupnya, ternyata beliau merupakan salah satu putra masyaikh senior di Ma’had ini. Beliau banyak menceritakan kelebihan-kelebihan orang yang banyak menghafal Al-qur’an dan bagaimana kiat-kiat hafal. Dalam hatiku aku sangat kagum dengan masyaikh ku ini. *** Mentari yang cerah yang menyinari kulit yang terbius kedinginan. mentari yang tak pernah bosan memberikan kehangatan kepada bumi. Pagi ini aku berusaha berangkat pagi-pagi sekali, ke kampus Ma’had. Aku berusaha bisa duduk di shaf paling depan di pagi ini. Aku juga ingin mengulangi hafalan sambil i’tikaf di masjid Ma’had. Udara pagi ini begitu menyejukkan hati, sepanjang perjalanan menuju kampus seakan semua tumbuhan dan benda lain berdzikir memuji zat yang Maha Kuasa. Sampai di kampus aku mengambil shaf paling depan agar fatwa-fatwa masyaikh lebih jelas terdengar, kebetulan yang mengisi pengajian kali ini adalah TGH. Mahmud Yasin QH. Sebelum pengajian pagi seperti biasanya diawali dengan do’a dan membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an dan beberapa nadzam, sebelum mulai mengaji pagi. Ketua Senat Mahasiswa Ma’had DQH mengumumkan agar kami tidak bubar dulu setelah pengajian pagi selesai, berhubung salah seorang masyaikh akan mengadakan akad nikah. Hal-hal yang sering kami jumpai di kampus yang identik dengan kampus putih tetapi yang menjadi hal yang fenomenal ketika yang melakukan prosesi tersebut adalah salah satu dari Masyaikhul Ma’had. Setelah ngaji pagi berakhir, prosesi akad nikahpun dilakukan, nampak kedua mempelai bejalan dari kejauhan. Pertama kali masuk adalah mempelai laki-laki yang berjalan tawaddu’ bertahta bahagia di altar terakhir pengujung mimpi para musafir cinta. Pria tersebut ternyata Masyaikhul Ma’had yang sangat ku kagumi karena kesalehannya dan juga beliau penghafal Al-Qur’an, “alangkah beruntungnya wanita yang disuntingnya” . Gumamku dalam hati. Selang beberapa menit, mempelai perempuan datang dengan diiringi keluarganya. Sang Dewi Cinta yang berjalan bersama alunan takdir yang sangat di rindukan para kaum hawa di muka jagad raya ini. Tuhan ,,,,!! Alangkah terkejutnya aku. Aku merasa tersambar petir menghampiri nyawaku dengan sambaran kilat ketidakpercayaan. Ketika yang kulihat adalah sosok yang selama ini menjadi dambaan hati. Alangkah diriku berada diantara sadar dan tidak ketika kutenemukan harapan yang hendak teraih namun waktu mempertemukanku dengan harapan yang berbeda. Mataku mencoba memastikan bahwa yang memakai hiasan pengantin adalah dewi yang selama ini menjadi mimpi hati. Alangkah kejam dunia ini Tuhan. Mata hati kian membanjiri pusara jiwa. Harapan yang kuat terbagun pun roboh. Mimpi yang hamper menjadi kenyataan sirna. Yang tersisa di jiwa hanya nada-nada bernada kesedihan. Prosesi akadpun berjalan dengan begitu sakralnya. Mara hanya menunduk khusu’ seakan di lembah pemujaan. Mata seakan melihat pendeta yang mengeroyoki nasib gibran, aku seakan petapa yang dipermainkan dewa. Telinga ini seakan mendengar kemunafikan dari tetesan cerita sejarah, fikiran ini seakan berada di masa Nurbaya, seakan bernafas di masa Gibran, berharap bersama Bondowoso dan merintih bersama Romeo. Cintaku menjelma sebuah pemberontakan bersama tangisan kehidupan. Hidupku bagai suatu yang tidak penting yang harus tenggelam kedalam samudera rasa. Sekuat apapun aku menolak nasib, nasib tetap berjalan seakan mengejek pemujaan diriku tentang cinta ini. Aku perlahan menyadari kesalahanku selama ini yang mendewakan rasa. Akupun menyadari bahwa kuasa hanya milik dan kita hanya bisa merencanakan sekuat apapun kita berusaha titik akhirnya hanya pada Tuhan. Hari ini Mara telah banyak mengajarkan aku tentang banyak hal: tentang muara cinta yang ada pada mulut Tuhan, tentang Tuhan yang merupakan kekasih yang pantas dicintai, tentang nikmat hidup bersama Al-Qur’an. Meskipun batin ini kecewa akupun tidak merasa kerugian yang mendalam karna aku lebih dekat lagi sama Tuhan dan semoga aku dapatkan cinta-Nya.amien. Bumi Santri Anjani, Oktober 2009

Sunday 10 November 2013

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ Pidato Arab: Keutamaan Ilmu, Ulama' dan Pelajar أُحَيِّكُمْ بِتَحِيَّةِ الْإِسْلاَمْ,تَحِيَّةًمُبَارَكَةً طَيِّبَةً وَمُفَارَقَةً بَيْنَ الْإِسْلاَمِ وَبَيْنَ غَيْرِهِ مِنَ الْأَدْيَانِ. السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ جَعَلَ فَضْلَ الْعِلْمِ مَشْهُوْرًا, وَلِوَاءَ أَهْلِهِ فِى الدَّارَيْنِ مَنْشُوْرًا, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً تَوَصَّلْنَاإِلَى جَنَّاتِ النَّعِيْمِ, وَتَكُوْنُ سَبَبًا للِنَّظْرِ إِلَى وَجْهِهِ الْكَرِيْمِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا وَقُدْوَتَنَا وَمُعَلِّمَنَامُحَمَّدًالَّذِيْ حَثَّنَاعَلَى التَّعَلُّمِ وَالتَّعْلِيْمِ, وَأَوْضَحَ لَنَاشَرَفَ ذَلِكَ وَفَضْلُهُ الْعَظِيْمِ. عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْغُرِّ الْمَيَامِيْنِ, وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَعَلَيْنَامَعَهُمْ وَفِيْهِمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. آمِيْنَ! اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أُمَّةَ مُحَمَّدٍصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَفَرِّجْ عَنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَارْحَمْ أُمَّةَ مُحَمَّدٍصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَانْشُرْ وَاحْفَظْ وَأَيِّدْ نَهْضَةَ الْوَطَنِ فِى الْعَالَمِيْنَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. أَمَّابَعْدُ! الْمُحْتَرَامُوْنَ رَئِيْسُ إِدَارَةِ وَزِيْرَةِ شُؤُوْنِ الدِّيْنِيَّةْ نُوْسَا تعكاراالْغَرْبِيَّةْ الْمُحْتَرَامُوْنَ هَيْئَةُ تَحْكِيْمِ الْمُسَابَقَةْ وَالْمَحْبُوْبُوْنَ زُمَلاَئِيَ النَّاشِئِيْنَ وَشُبَّانُ الْمُسْلِمِيْنَ حَفِظَكُمُ اللهُ! فِى هَذِهِ الْفُرْصَةِ الثَّمِيْنَةْ, قُمْتُ لَدَى حَضْرِتِكُمْ بَيْنَ السُّرُوْرِ وَالْمُسَامَحَةْ, فَاسْمَحُوْا لِيْ أَنْ أُقَدِّمَ إِلَيْكُمُ الْخُطْبَةَ الْعَرَبِيَّةْ تَذْكِرَةً لِنَفْسِى وَإِيَّاكُمْ وَلِمَنْ لَهُ رَجَاءٌ عَلَى النَّجَاةِ وَالسَّلاَمَةْ بِتَحْتَ مَوْضُوْعْ : فَضْلُ الْعِلْمِ وَالْعُلَمَاءِ وَالْمُتَعَلِّمِيْنَ أَيُهَاالْحَاضِرُوْنَ الْكِرِامْ! فَإِنَّ شَرَفَ الْعِلْمِ وَأَهْلِهِ وَحَمْلَتِهِ لاَيَخْفَى, وَإِنَّ الْإِشْتِغَالَ بِهِ سَبَبٌ لِنَيْلِ دَرَجَةِ الْقُرْبَى, فَهُوَ أَسْنَى سَائِرِ الْأَعْمَالْ, وَبِهِ النَّجَاةُ فِى الْحَالِ وَالْمَئَآلِ, كَمَاقَالَ بَعْضُهُمْ : وَالْعِلْمُ أَسْنَى سَائِرِ الْأَعْمَالِ # وَهُوَ دَلِيْلُ الْخَيْرِ وَالْإِفْضَالِ وَيَكْفِى فِى كَمَالِ شَرَفِهِ وَفَضْلِهِ, وَعُلُوِّ شَأْنِ طَالِبِيْهِ وَأَهْلِهِ, أَنَّ اللهَ تَعَالَى لَمْ يَأْمُرْ نَبِيَّهُ وَمُصْطَفَاهُ وَحَبِيْبَهُ وَمُجْتَبَاهُ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًاصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَلَبِ الْإِزْدِيَادِ مِنْ شَيْئٍ مِنَ الْأَشْيَاءِ سِوَاهُ. قَالَ عَزَّوَجَلَّ : "وَقُلْ رَبِّ زِدْنِى عِلْمًا". وَقَدْذَكَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَضْلَ الْعِلْمِ وَالْعُلَمَاءِ وَالْمُتَعَلِّمِيْنَ فِى مَوَاضِعِ كَثِيْرَةٍ مِنْهَا قَوْلُهُ تَعَالَى : "شَهِدَاللهُ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُولُوْاالْعِلْمِ قَائِمًا بِاالْقِسْطِ"- وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا : "يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْامِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُواالْعِلْمَ دَرَجَاتٍ"- وَقَالَ عَزَّ مِنْ قَائِلٍ : " إِنَّمَايَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ " – وَقَالَ أَيْضًا وَهُوَ أَصْدَقُ الْقَائِلِيْنَ :" بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِى صُدُوْرِالَّذِيْنَ أُوْتُواالْعِلْمَ" –وَكَذَاقَالَ :" وَمَايَعْقِلُهَاإِلاَّالْعَالِمُوْنَ ". وَأَمَّاالْأَحَادِيْثُ فِى فَضْلِ أَهْلِ الْعِلْمِ فَكَثِيْرَةٌ لاَ يُمْكِنُ إِحْصَاؤُهَا. فَنَذْكُرُ بَعْضًامِنْهَاإِرْشَادًا لَنَاوَلِلْمُتَقَاعِدِيْنَ عَنْ سُلُوْكِ مَسْلَكِهِمْ وَالْغَافِلِيْنَ عَنْ فَضْلِهِمْ, وَاللهُ يُوَفِّقُ الْجَمِيْعَ لِمَافِيْهِ رِضَاهُ تَعَالَى.- قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًاسَلَكَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ, وَإِنَّ االْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَارِضًابِمَايَصْنَعُ, وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمواتِ وَالْأَرْضِ وَالْحَيْتَانِ فِى جَوْفِ الْمَاءِ, وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ, وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ, وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوْرِثُوْادِيْنَارًاوَلاَدِرْهَمًا, وَإِنَّمَا وَرَّثُواالْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ". (رواه الإمام أحمد وأبوداودوالترمذى وابن ماجه) وَقَدْ أَخْرَجَ الطَّبْرَانِى بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ : عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَرَّ بِسُوْقِ الْمَدِيْنَةْ فَوَفَقَ عَلَيْهِ فَقَالَ :"يَا أَهْلَ السُّوْقِ مَاأَعْجَزَكُمْ؟ قَالُوْاوَمَاذَالِكَ يَاأَبَاهُرَيْرةْ , قَالَ : ذَاكَ مِيْرَاثَ رَسُوْلَ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْسَمُ وَأَنْتُمْ ههُنَا, أَلاَ تَذْهَبُوْنَ فَتَأْخُذُوْنَ نَصِيْبَكُمْ مِنْهُ؟ وَأَيْنَ هُوَ؟ قَالَ فِى الْمَسْجِدِ, فَخَرَجُوْاسِرَاعًا وَوَفَقَ أَبُوهُرَيْرَةَ لَهُمْ حَتَّى رَجَعُوْا, فَقَالَ لَهُمْ : مَالَكُمْ ؟ فَقَالُوا : يَاأَبَاهُرَيْرَةَ, قَدْ أَتَيْنَاالْمَسْجِدَ فَدَخَلْنَافِيْهِ فَلَمْ نَرَ شَيْئًايُقْسَمُ, فَقَالَ لَهُمْ أَبُوهُرَيْرَةَ: وَمَا رَأَيْتُمْ فِى الْمَسْجِدِ أَحَدًا؟ قَالُوْا: بَلَى, رَأَيْنَا قَوْمًايُصَلُّوْنَ وَقَوْمًايَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنَ وَقَوْمًايَتَذَاكَرُوْنَ الْحَلاَلَ وَالْحَرَامَ, فَقَالَ لَهُمْ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: وَيْحَكُمْ! فَذَاكَ مِيْرَاثُ مُحَمَّدٍصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. أَيُهَاالْحَاضِرُوْنَ الْكِرِامْ! وَعُلَمَاءُالْمُسْلِمِيْنَ الْعَامِلُوْنَ كُلُّهُمْ أُوْلِيَاءُالرَّحْمَانِ بِلاَ شَكٍّ وَلاَ رَيْبٍ, قَالَ الْإِمَامَانِ الْجَلِيْلاَنِ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَالشَّافِعِى رَحِمَهُمَااللهُ تَعَالَى وَرَضِيَ عَنْهُمَا : إِنْ لَمْ يَكُنِ الْعُلَمَاءُ أَوْلِيَاءُاللهِ فَلَيْسَ للهِ وَلِيٌّ. وَلَقَدْ أَحْسَنُ مَنْ قَالَ فِى شَرَفِ الْعِلْمِ وَفَضْلِ أَهْلِهِ: قَدْ أَوْجَبَ اللهُ عَنْ بَثِّ الْعُلُوْمِ فَلاَ # تَفْعَلْ وَلاَ تُفْسِدَنْ أَوْقَاتَكَ الْمُثْمَنَا لاَتَنْسَ عَنْ حَرْضِهِ قَبْلَ الْخُرُوْجِ مِنَا # الدُّنْيَا فَنَا حَرْضَهَ بَثًّا وَلَوْ فِى صِنَا هذَادَلِيْلٌ عَلَى شَرْفِ الْعُلُوْمِ فَلاَ # تَتْرُكْ نَصِيْبًامِنَ الشَّرْفِ الْعُلَى كَاالْمُنَى أَيُهَاالْحَاضِرُوْنَ رَحِمَنَاوَإِيَّاكُمُ اللهُ! فَفِيْ هَذِهِ الْفُرْصَةِ الْجَيِّدَةِ, بِالْخُصُوْصِ أُرِيْدُ أَنْ أُلْقِيَ الرَّجَاءَ إِلَى النَّاشِئِيْنَ وَشُبَّانِ الْمُسْلِمِيْنَ مِثْلِى. فَإِيَّاكُمْ ثُمَّ إِيَّاكُمْ أَنْ تُذَمَّ مَقَامَ الْعِلْمِ وَتُقْدِحُ بِضَاعَتَهُ بِسُوْءِ فِعَالِكُمْ, بَلْ كُوْنُوْا بِحَيْثُ إِذَارَأَيْتُمْ عُظِّمَ الْعِلْمُ فِى الْقُلُوْبِ. وَإِذَاتَحَدَّتُمْ حُبِّبَتْ حَلِقُهُ للِنُّفُوْسِ, وَإِذَا تَعَامَلْتُمْ تَأَسَّفَ النَّاسُ عَلَى فَاتَهُمْ. أَيُهَاالْحَاضِرُوْنَ وَالْحَاضِرَاتِ رَحِمَكُمُ اللهُ! وَكَفَى إِلَى هُنَاقُدْرَتِى, وَأَخْتِمُ هَذِهِ الْخِطَابَةَ بِقَوْلِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "كُنْ عَالِمًا أَوْمُتَعَلِّمًا أَوْمُسْتَمِعًاأَوْمُحِبًّاصَادِقًا وَلاَ تَكُنْ خَامِسًا فَتَهْلِكُ". وَأَقُوْلُ شُكْرًا جَزِيْلاً عَلَى اهْتِمَامِكُمْ وَاسْتِمَاعِكُمْ وَأَطْلُبُ الْعَفْوَمِنْكُمْ, وَأَخِيْرًا أَقُوْلُ لَكُمْ : وَاللهُ الْمُوَفِّقُ وَالْهَادِى إِلَى سَبِيْلِ الرَّشِادْ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
HARI RAYA IDUL FITRI DAN KOMITMEN KETAKWAAN KEPADA ALLAH SWT KHUTBAH IDUL FITRI 14342 H OLEH : HURNAWIJAYA AL-KHAIRY, QH., S.H.I., S.Pd Hadirin-Hadirat Jamaah Kaum Muslimin-Muslimat Yang Berbahagia! Pagi ini kita berkumpul ditempat yang penuh barokah ini untuk merayakan sebuah kemenangan. Kemenangan atas hawa nafsu dan syaitan setelaqh sebulan lamanya kita membuktikan kepatuhan kita kepada Allah SWT Sang Pencipta. Sungguh tak ada kemenangan kecuali dengan kepatuhan secara maksimal kepada Allah SWT. Maka cerita tentang manusia yang tidak patuh kepada Allah adalah cerita tentang manusia-manusia yang kalah atas hawa nafsunya. Hadirin, sebuah kemenangan hakiki telah kita capai hari ini, kemenangan atas godaan akan kesesatan maksiat. Ketika kita membaca Al-Qur’an di bulan suci ramadhan, melakukan qiyamullail, berdoa, berdzikir, dan mengisi hari-hari kita dengan ketaatan ibadah kepada Allah SWT maka itu adalah media untuk menjadikan kita manusia terbaik yang digelari manusia bertaqwa. Maka jika hari ini kita merasakan ketakwaan kita bertambah kepada Allah SWT maka itulah kemenangan yang hakiki. Jika hari ini kita meyakini bahwa dosa-dosa kita telah terampuni, maka itulah kemenangan yang sejati. Sebab itulah hakikat merayakan hari raya pada pagi hari ini: ليس العيد لمن لبس الجديد ولكن العيد لمن تقواه يزيد “Bukanlah namanya hari raya , dengan semata-mata mengenakan baju baru. Melainkan hari raya yang sesungguhnya ialah ketaqwaan yang kian meningkat didalam Qalbu. Bukanlah namanya hari raya dengan mengenakan pakaian, kendaraan, dan perhiasan yang serba indah. Melainkan hari raya yang sesunggunya adalah ketika dosa-dosa diampuni oleh Allah.” Hadirin-hadirat yang berbahagia. Allahu ‘akbar, Allahu akbar, allahu akbar walillahil hamdu. Setiap ibadah ritual dalam tujuannya adalah untuk membawa perubahan baik secara personal maupun secara sosial. Karena ia ibarat sebuah perdagangan yang senantiasa mengharapkan keuntungan. Sebab jika ia tidak mendapatkan keuntungan berarti ia gagal dalam perniagaannya. Namun sayang pemahaman seperti ini hanya berlaku di dalam bisnis dan perdagangan, sementara dalam urusan ibadah banyak orang yang tidak perduli. Betapa banyak orang yang merasa rugi ketika keuntungannya tidak bertambah dalam bisnisnya, betapa banyak orang yang merasa gagal ketika tidak berkembang perniagaannya, betapa banyak orang yang merasa merasa kecewa ketika tidak berkembang usahanya. Berbagai evaluasi dilakukan untuk mengetahui titik lemah usahanya tersebut. Sementara mereka tidak merasa rugi ketika pahalanya tidak bertambah, ketika amalnya tidak meningkat, dan ketika taqwa dan kepribadiannya tidak berubah menjadi lebih baik. Padahal hakikat ramadhan adalah membentuk manusia yang bertaqwa, sebagaimana dalam ayat al-Qur’an yang merupakan dasar hukum diwajibkannya puasa dalam surat al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi: يا ايهاالذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian supaya kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar Walillahil hamd. Sungguh, andaikata kita mencoba merenungkan hakikat puasa ramadhan niscaya kita akan mendapati bahwa puasa ramadhan adalah ibadah yang sangan unik. Cobalah kita tengok bahwa ada juga makhluk-makhluk Allah yang tidak berakal melakukan puasa tersebut dan berubah menjadi lebih baik. Seekor ular yang ‘berpuasa’ dengan tidak makan dan tidak minum ia merubah kulitnya yang semula keras dan kasar berubah menjadi lebih lembut, halus dan berwarna lebih indah. Seekor ayam yang ‘berpuasa’ atau mengeram selama 20 hari menghasilkan anak ayam yang cantik dan berharga. Begitu juga dengan seekor ulat yang menakutkan dalam kepompongnya mengeram selama 40 hari akhirnya keluar menjadi seekor kupu-kupu yang indah dan disenangi oleh semua orang. Maka, apatah lagi kita sebagai makhluk berakal yang dibekali oleh Allah dengan akal dan pikiran. Adakah alasan bagi kita untuk tidak menjelma menjadi lebih baik setelah dididik dalam bulan ramadhan selama satu bulan?. Adakah alasan bagi kita untuk tidak meningkatkan ketakwaan setelah selama ramadhan kita berlatih untuk rajin beribadah, berdzikir, menahan nafsu dan amarah, menahan godaan syaitan, dan menjaga lisan dan pandangan? Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamd. Hadirin-hadirat jamaah sholat ‘id yang berbahagia. Lalu siapakah orang-orang yang bertaqwa tersebut?. Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad Al-Gozali Rahimahullah menjawabnya dalam kitab Ihya’ Ulumiddin bahwa orang-orang yang bertaqwa memiliki tiga ciri sebagai berikut: Yang pertama adalah : الخوف الىالله Rasa takut kepada Allah yang menggetarkan jiwa. Tandanya adalah menjauhi segala macam maksiat dan larangan Allah SWT. Orang yang takut kepada Allah niscaya akan menjauhi segala larangan Allah SWT, sebab ia tahu bahwa kalau ia tidak menjauhi larangan Allah ia akan dilemparkan kedalam neraka jahannam. Jika Allah melarangnya untuk berzina, ia tinggalkan zina dengan penuh ketaatan. Jika allah melarangnya untuk korupsi, ia tidak berani melakukan korupsi dengan penuh keikhlasan. Jika allah melarangnya untuk mencuri, ia jauhi mencuri dengan penuh tunduk kepada Allah. Dan jika allah melarangnya untuk maksiat, ia tinggalkan seluruh maksiat dengan penuh ketundukan. Maka bagi merekalah syurga yang penuh kenikmatan kelak di Akhirat, sebagaimana digambarkan dalam firman Allah berikut: فاما من خاف مقا م ربه ونهى النفس عن الهوى فان الجنث هي الما وى “Adapun orang-orang yang takut kepada Tuhannya, dan menjauhi keinginan hawa nafsunya. Sesunggunya syurgalah tempat kembalinya.” Allahu akbar, allahu akbar, Allahu akbar walillahil hamd. Ciri orang yang bertaqwa yang kedua adalah: الرجاالى الله Perasaan harap kepada Allah. Tandanya ialah selalu ingin dan senang melakukan ketaatan. Orang yang takwa kepada Allah akan senantiasa melaksanakan segala perintah-perintah Allah SWT dan anjuran Rasulullah SAW. Jika Allah dan Rasul-Nya menyuruhnya untuk sholat, ia kerjakan sholatnya dengan penuh kekhusyu’an. Jika allah dan Rasulnya memerintahkannya untuk berpuasa, ia laksanakan puasanya dengan penuh keikhlasan dan mengharap ridho tuhannya. Jika Allah dan Rasulnya mewajibkan atasnya Zakat, ia keluarkan zakatnya dengan penuh kerelaan. Jika Allah dan Rasulnya mewajibkan hajji ketika ia mampu, ia laksanakan dengan penuh ketulusan. Dan jika allah dan rasul-Nya memerintahkan untuk melaksanakan ibadah, ia laksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab dan menghambakan diri kepada-Nya. Sungguh bulan ramadhan telah melatih kita untuk senantiasa taat kepada allah SWT dengan puasa pada siang harinya, sholat berjamaah, melakukan qiyamullail, sholat tarawih, sholat witir, tadarrus al-qur’an, berinfaq dan bersedekah, mengeluarkan zakat maupun dengan menjaga lisan dan pandangan. Maka kalau kita mampu mempeertahankan sampai diluar bulan ramadhan ini niscaya kita akan menjadi pribadi-pribadi yang luar biasa dan dirindukan oleh syurga. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Sesungguhnya syurga merasa rindu kepada empat golongan manusia: Orang yang senantiasa membaca al-qur’an, orang yang menjaga lisan, orang yang memberi makan orang yang kelaparan, dan orang-orang yang berpuasa pada bulan suci ramadhan.” Allahu akbar, Allahu akbar, allahu akbar walillahil hamd. Ciri yang ketiga dari orang yang bertaqwa menurut Imam Al-Ghozali adalah: المحبة فى الله Rasa cinta kepada allah. Tandanya ialah merasa rindu dan senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT. Orang yang bertaqwa akan betul-betul mencintai allah dan rasul-Nya dengan sepenuh jiwa dan raga. Adapun tanda-tanda orang yang mencintai sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab beliau “Raudhatul Muhibbin wa bustanul syauqin” bahwa tanda orang yang mencintai sesuatu ada dua yaitu: 1. Senantiasa mengingat dan menyebut nama orang yang dicintainya. Cinta kepada seorang kekasih akan membuat seseorang senantiasa menyebut nama kekasihnya. Cinta kepada harta akan membuat seseorang membangga-banggakan hartanya. Cinta kepada dunia kan senantiasa membuat seseorang sering menyebut urusan dunianya. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah SAW dalam sabda beliau yang mengatakan: من احب شيءا كثر من ذكره “Barangsiapa mencintai sesuatu niscaya ia akan banyak untuk menyebutnya.”(HR Bukhari) Begitu juga cinta kita kepada Allah haruslah kita buktikan dengan banyak berdzikir dan mengagungkan namanya setiap saat dengan takbir, tahmid, tahlil, dan lain sebaginya. Sebagaimana yang kita lakukan pada hari raya yang fitri ini: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha Illallah Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd. 2. Orang yang mencintai akan senantiasa mentaati orang yang dicintainya. Orang yang betul-betul mencintai dengan setulus hati akan senantiasa taat kepada orang yang dicintainya. Maka kecintaan kepada Allah haruslah membuat kita mentaati segala apa yang diperintahkannya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya atau al-imtitsalu awamirillahi wajtinabunnawahihi, itulah hakikat taqwa yang sesungguhnya. Hal ini telah ditegaskan oleh allah SWT dalam firmannya: “Katakanlah wahai Muhammad, jika kalian betul-betul mencintai Allah SWT. Maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian. Maka jika kita mengatakan cinta kepada Allah tapi syariatnya kita injak-injak, sungguh itu adalah omong kosong belaka. Hal ini telah ditegaskan oleh Imam Syafi’i Radiallahu ‘anhu dalam syairnya sebagaimana tertulis dalam kitab Diwanusysyafi’i halaman 82 yang mengatakan: “Engkau senantiasa bermaksiat kepada Allah, padahal engkau katakan bahwa engkau mencintainya. Sungguh itu adalah suatu kiasan yang sangat tidak masuk akal. Sebab kalau engkau betul-betul mencintai-Nya setulus hati niscaya kau akan mentaati-Nya. Sesungguhnya orang yang mencintai akan senantiasa mentaati oarng yang dicintainya.” Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar Walillahil Hamd. Hadirin-hadirat jamaah sholat idul fithri yang berbahagia. Sungguh ketika ibadah kita lakukan sementara kemaksiatan tetap dikerjakan, itu ibarat (accu) aki yang soak. Bila setiap hari kita tegakkan sholat sementara di saat yang sama mencuri tetap kita lakukan maka berarti ada yang salah dalam sholat kita. Bila setiap tahun kita pergi haji sementara haram senantiasa kita nikmati, itu berarti ada yang salah dalam haji kita. Bila setiap ramadhan kita berpuasa dan meningkatkan ibadah lainnya sementara perzinaan, perjudian dan minuman keras semakin merajalela, itu juga bukti bahwa ibadah puasa kita sia-sia. Ingatlah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga belaka.” Dengan kata lain, secara fiqih ibadahnya sah-sah saja, tetapi secara kualitas tidak berpahala, karena terhapus oleh kemaksiatan yang dilakukannya. Sungguh ibadah formalitas semacam ini tidak akan pernah mengantarkan ke titik fitrah yang hakiki. Maka bila kita berkumpul pada pagi hari ini sebenarnya adalah untuk merayakan hari kembali kita ke fitrah, maka setelah ini tidak pantas lagi dosa-dosa dikerjakan pun tidak layak lagi dosa-dosa dikerjakan. Lebih dari itu segala yang syaitan bisikkan tidak akan pernah diikuti kembali. Inilah sebenarnya yang kita rayakan hari ini. Sebagi hari komitment untuk istiqomah di atas tuntunan Allah kapan dan dimanapun kita berada. Inilah yang kita kenal dengan idul fitri artinya hari raya kembali ke fitrah. Maka marilah kita berdoa kepada allah SWT semoga kita adalah hamba-hamba-Nya yang terpilih sebagai orang yeng beruntung dengan gelar muttaqin setelah keluar dari bulan suci ramadahan yang penuh barakah ini. Dan Ia memperkenankan kita kembali bersua dengan ramadhan kembali untuk tahun-tahun berikutnya.
السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته KHUTBAH IDUL FITRI 1433 H Membangun Rumah Iman dan Islam Menuju Kesejahteraan Dunia Akhirat Oleh: Hurnawijaya Al-Khairy, QH., S.H.I., S.Pd. الله اكبر3x . الله اكبر كبيرا والحمد الله كثيرا, وسبحن الله بكرة واصيلا, لااله الا الله وحده لا شريك له الله اكبر والله الحمد, الله اكبر كُلّمَا اَوْرَقَ عُوْدٌ وَاَثْمَرْ, وَهَلَّلَ مُهَلِّلٌ وَكَبَّرَ وَصَامَ صَائِمٌ وَفِي مِثْلِ هَذَا اليَوْمِ الْظِيْمِ اَفْطَرْ, الله اكبر مَا صُلِّيَتِ التَّرَاوِيْحِ , وَاَضَاءَتِ اْلمَسَاجِدُ بِا الْمَصَابِيْحِ, وَذَكَرَ اللهَ بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ فَصِيْحِ, وَتَجَنَّبَ الصَّائِمُوْنَ فِي مِثْلِ هَذَا الْيَوْمِ الْعَظِيْمِ كَلَّ فِعْلٍ قَبِيْحِ, الله اكبر مَا اَعْقَبَ الْفِطْرُ الصَّوْمَ, وَذَهَبَ يَوْمٌ وَاَقْبَلَ يَوْمٌ, وَاَيْقَظَ اللهُ الْغَافِلِيْنَ مِنَ السَّنَةِ وَالنَّوْمِ, وَغَفَرَ اللهُ لَهُمُ الْخَطَيَا يَوْمًا بَعْدَ يَوْمٍ, الله اكبر. الحمدلله اَلْمَلِكِ اْلقَادِرِ, اَلْحَلِيْمِ اْلسَّا تِرِ, اَلَّذِي لَيْسَ لِابْتِدَئِهِ اَوَّلٌ وَلاَ لِانْتِحَائِهِ آخِرٌ, سَبْحَانَهَ وَتَعَلَى وَهُوَ اْلمَلِكُ اْلقَادِرِ, واشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له, شَهَادَةً تُنْجِي قَائِلَهَا مِنْ هَوْلِ اْلمَقَابِرِ, واشهد ان سيدنا ونبينا محمدا عبده ورسوله , اَلَّذِى اتَّخَذَهُ اللهَ مِنْ اَفْصَحِ اْلقَبَا ئِلِ وَاَحْسَنِ اْلعَنَاصِيْرِ, صلى الله عليه واصحابه صلاة وسلاما دَا ئِمَيْنِ مُتَلاَ زِمَيْنِ اِلَى يَوْمِ الأخِرِ, وسلم تسليما كثيرا. ايها الناس اتق االله حق تقاته ولا تموتن الا وانتم مسامون. Pada pagi hari yang hidmat dan sakral ini, seiring dengan semburatnya sinar mentari pagi, yang memancarkan kebesaran dan keagungan ilahi Rabbi, marilah kita panjatkan puji syukur yang sedalam-dalamnya kehadirat-Nya. Yang telah menghantarkan kita pada puncak kemenangan dan kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan yang didasarkan atas argumentasi agama, sebuah kebahagiaan dan kemenangan yang didasarkan pada keimanan. Selanjutnya marilah kita terus pertahankan dan tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT dalam arti sebenarnya dengan menjalankan seluruh perintah-perintah-Nya dan menjauhi segenap larangan-Nya. Kesucian diri yang telah kita capai di bulan Ramadhan terus kita pertahankan sekuat-kuatnya sehingga tiba saatnya kita bertemu dengan Allah SWT dalam keadaan Ridho dan diridhoi. amin. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Satu bulan penuh kita berpuasa, melakukan jihad besar, bertempur melawan hawa nafsu, dengan berpuasa di siang hari, melakukan shalat tarawih di malam harinya, bertadarrus al-Qur’an, berzikir, membaca shalawat, memperbanyak amal dan sedekah, mengeluarkan zakat fitrah, zakat mal, dan amalan-amalan lainnya sejak matahari tenggelam di kaki langit sebelah barat. Kini telah sampailah kita pada puncak kemenangan dari serentetan perjuangan itu yaitu Idul Fitri. Sungguh merupakan kemenangan yang membanggakan dan sangat menggembirakan, terutama yang dapat merasakan kebahagiaan itu adalah mereka yang secara aktif mengikuti proses tahapan demi tahapan dari perjuangan tersebut. Dan bagi mereka inilah yang sesungguhnya mendapatkan predikat Idul Fitri (kembali pada kesucian), terbebas dari dosa dan noda. Bahkan dengan bangga Allah memproklamirkan pada penghuni langit dan para malaikat. Sebagaimana yang tertuang dalam kitab Al-Aqidatul Islamiyyah karangan Assyaikh Muhammad Al-Ghazali RA bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim RA: اذا كان يَوْمَ اْلِفْطْرِ يُبْعَثُ اللهُ اْلمَلَئِكَةَ فَيَهْبِطُوْنَ اِلَى اْلأَرْضِ فِي كُلِّ الْبِلَادِ فَيَقُولُوْنَ يَا اُمَّةَ مُحَمَّدٍ اَخْرَجُوْااِلَى رَبِّ كَرِيْمِ. فَإِذَا بَرَزُوااِلَى مُصَلاَّهُمْ يَقُولُ اللهِ . اِشْهَدُ يَا مَلَئِكَةِ اِنِّي قَدْ جَعَلْتُ ثَوَابَهُمْ عَلَى صِيَاِمهِمْ رِضَاى وَمَغْفِرَتِي. “Apabila hari raya fitri tiba, Allah SWT mengutus para Malaikat turun ke bumi di setiap daerah, mereka berkata, ‘Hai umat Muhammad! Keluarlah kamu semua menuju Tuhan yang Maha Mulia!’. Ketika mereka sudah tanpak keluar(dari rumah) menuju tempat shalat idul fitri, Allah SWT berfirman, “Wahai para malaikat-Ku, saksikanlah, bahwa sesungguhnya Aku telah menyempurnakan pahala puasa mereka dengan mendapatkan keridhaan dan ampunan-Ku’” Namun demikian, kita tidak boleh lengah dan harus tetap waspada karena pada saat ini, panglima iblis memekik histeris mengumpulkan prajurit-rajuritnya, memberikan komando agar bekerja ekstra keras, membalas kekalahannya dengan menjerumuskan ummat Muhammad ke dalam kenistaan. Dengan menggoda mereka agar melakukan pesta lebaran dengan budaya-budaya yang tidak islami dan memperturutkan hawa nafsu mereka. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah SAW dalam sabda Beliau yang termaktub dalam kitab Khasa’isul Ummatil Muhammadiyyah karangan As-Syaikh As-Sayyid Muhammad bin Alawy bin Abbas Al-Makki Al-Maliki al-Hasani RA sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdullah bin Mas’ud bahwa beliau bersabda: اِنَّ اِبْلِيْسَ عَلَيْهِ اللَّعْنَةَ يَصِيْحُ فِي كُلِّ يَوْمِ عِيْدٍ فَيَجْتَمِعُ اَهْلُهُ عِنْدَهُ فَيَقُوْلًوْنَ : يَا سَيِّدِنَا مَنْ اَغْضَبَكَ اِنَّا نُكَثِّرُهُ- فَيَقُوْلُ: لاَ شَيْئَ , وَلَكِنِّ اللهَ تَعَلَى قَدْ غَفَرَ لِهَذِهِ الأُمَّةِ فِي هَذِهِ اْليَوْمِ فَعَلَيْكُمْ اَنْ تَشْغَلُوْهُمْ بِاللَّذَاتِ وَالشَّهَوَاتِ وَشُرْبِ اْلخَمْرِ حَتَّى يَبْغَضَهُمُ اللهُ. “Sesungguhnya iblis terlaknat berteriak histeris pada setiap hari raya, lalu gologannya berkumpul di sisinya seraya bertanya: ‘Wahai pemimpin kami, siapakah gerangan yang telah membuat paduka iblis murka? Biarlah kami akan hancurkan’. Iblis berkata: bukan siapa-siapa, hanya saja Allah SWT pada hari ini telah memberikan ampunan kepada umat Muhammad, oleh sebab itu, hendaklah kalian bekerja keras, sibukkan mereka dengan kenikmatan-kenikmatan dan kesenangan syahwat, sehinga Allah SWT menjadi murka kepada mereka. Allahu akbar 3x Walillahil hamd! Karena itulah hari raya janganlah sebagai ajang untuk melampiaskan hawa nafsu syahwat yang telah mampu kita redam selama sebulan lamanya. Haruslah kita sadari bahwa ceremoni ritual idul fitri mengandung muatan ibadah baik secara vertikal maupun horizontal. Ibadah sosial pada idul fitri tidak hanya terbatas pada solidaritas sosial, juga harus bermurah hati dalam aspek moral dan spiritual dengan bersilaturrahmi dan saling maaf memaafkan. Tindakan moral dan spiritual inilah yang oleh masyarakat lombok pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya dijadikan sebagai ritual pokok dalam berhari raya idul fitri. Setelah dosa secara vertikal terampuni, maka dosa horizontalpun harus diupayakan dapat terampuni pula, sehingga kita benar-benar dalam kondisi fitrah dari dosa-dosa secara vertikal maupun horizontal. Dari sinilah maka budaya sling maaf memaafkan menjadi melembaga di dalam merayakan Idul fitri di kalangan masyarakat kita yang lebih populer dikenal dengan istilah halal bihaal. Pada kesempatan yang berbahagia ini, sebagai parcel atau bingkisan lebaran izinkan saya untuk menguraikan sedikit tentang hakikat iman dan taqwa dalam membangun kebahagiaan yang hakiki bagi kaum muslimin. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Karunia dan kenikmatan terbesar yang dianugerahkan oleh Allah, kepada kita berupa iman dan islam. Keimanan merupakan kenikamatan yang paling besar, yang diberikan Allah kepada kita, kita telah diberi petunjuk oleh Allah sehingga menjadi orang yang beriman dan memeluk agama yang benar yaitu islam, hal itu merupakan kenikmatan yang paling tinggi dan tiada bandingannya. Barangkali selama ini kita kurang merasakan akan hal itu, dan menganggap bahwa apa yang kita yakini sebagai kebenaran itu merupakan suatu hal yang biasa yang tidak istimewa. Padahal dengan keimanan dan keislaman akan menghantarkan seorang kepada kebahagiaan hidup di dunia, utamanya di akhirat kelak. Untuk sampai pada kesadaran akan besarnya kenikmatan iman yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT Marilah kita perhatikan firman Allah SWT: فَمَنْ يُرِدِاللهُ اَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَهْ صَدْرَهُ لِلْلاِسْلاَمِ وَمَنْ يُرِدْ اَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَّيقًا حَرَجًا كَاَنَّمَا يَصَّعَّدُ فَى السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ. “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya di melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah berada dalam kesesatan niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpahkan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Al-An’am: 125) Dari ayat tersebut, kita mendapatkan pemahaman dengan jelas bahwa nilai-nilai keimanan yang kemudian diiringi dengan keislaman akan membawa dampak kejiwaan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Keimanan yang benar merupakan kunci kelapangan dada didalam menjalankan kehidupan menuju kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan dengan keimanan yang benar kepada Allah, ketakutan maupun kekhawatiran seorang menjadi sirna dan kehidupan menjadi terbimbing dan terarah sehingar terhindar dari perbuatan dosa. Kualitas iman seseorang dapat diukur dengan komitmennya terhadap penegakan ajaran islam secara menyeluruh baik secara vertika maupun horizontal, yang terkait deng kehidupan pribadi, keluarga maupun sosial masyarakat. Untuk itu, pada kesempatan yang mulia dan berbahagia ini saya ingin mengajak untuk sama-sama kita membuka hati dan merenungi keagungan nikmat ini. Dengan begitu, kita berharap agar menjadi golongan hamba Allah yang mendapat pertolongan-Nya dalam pertahankan akidah dan keimanan dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun. Dengan keimanan, sesungghnya Allah telah membuka pertalian dan menjaga setiap gerak-gerik, serta tindakan kita agar selalu berada dijalan yang lurus dan benar. Dan keimanan itu pula yang akan dapat menyelamatkan kita setelah mati untuk menghadap kehadirat Allah SWT dan melaporkan amal perbuatan kita masing-masing. Oleh sebab itu, maka nikmat iman ini harus selalu dijaga, dirawat dan dikembangkan agar semakin kuat dan berkualitas. Agar keimanan kita tetap terpelihara dan terjaga serta terus mengalami peningkatan kualitas ada beberapa hal yang patut untuk kita tanamkan dalam jiwa kita masing-masing. Dalam kitab Mukhtaral Ahaditsin-Nabawiyyah karangan As-Syaikh As-Sayyid Ahmad Al-Hasyimi Beik halaman 73, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Anas Bin Malik RA: ثلاث من كنا فيه وجد حلاوة الايمان ان يكون الله ورسوله احب اليه مما سواهما وان يحب المرء لايحبه الا لله وان يكره ان يعود فى الكفر بعد ان انقذه الله منه كما يكره ان يلقى فى النار. “Ada tiga hal dimana barang siapa ketiganya itu berada padanya, maka ia akan memperoleh kenikmatan iman. Pertama, apabila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain. Kedua, apabila ia mencintai seseorang semata-mata karena Allah. Dan ketiga, apabila ia membenci kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan dari itu, sebagaimana kebenciannya untuk dimasukkan ke neraka. Kaum Muslimin-Muslimat Rahimakumullah Kalau kita perhatikan, sebenarnya Ramadhan serta segala aktifitas ibadah di dalamnya telah mendidik kita untuk memiliki ketiga hal tersebut. Perhatikanlah bagaimana kita telah digembleng selama satu bulan penuh dengan Qiyamullail, dengan tadarrus al-Qur’an, dengan dzikir, tahlil, takbir, dan tahmid, dengan sholawat, dengan sholat ajama’ah tarawih dan witir, dengan sahur serta yag tterpenting dengan menahan diri dari lapar dan dahaga pada siang hari. Semuanya seakan mendidik dan mentarbiyah kita untuk mencintai Allah dan Rasulnya di atas segala-galanya sebab hanya orang yang beriman yang didasari dengan cinta yang tulus-ikhlaslah yang akan secara sempurna mengisi ramadhan dengan seluruh aktifitas ibadah-ibadah tersebut. Kemudian kecintaan kepada sesama yang dilandasi kecintaan kepada Allah dan Rasulnya telah kita buktikan dengan kebersamaan dalam ukhuwah yang indah, dengan berbagi kebahagiaan kepada sesama, serta dengan saling maaf mema’afkan pada hari nan fitri ini. Hanya saja yang menjadi pertanyaan akankah kita mampu untuk mempertahankan hal tersebut setelah bulan suci ramadhan ini? Akankah kita benci untuk kembali kepada amalan-amalan ahi neraka setelah kita diselamatkan oleh Allah SWT? Akankah spirit Ramadhan mampu mampu untuk kita pertahankan selama 11 bulan ke depan? Semuanya hanya masing-masing dari diri kitalah yang mampu menjawabnya dengan ucapan serta dengan perbuatan dan amalan-amalan kita. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa memelihara dan meningkatkan keimanan menjadi sebuah keharusan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan iman, manusia terbimbing ke jalan kebenaran. Dengan islam , manusia akan terbimbing untuk mencari jalan lurus yang akan mengantarnya menuju syurga. Sebaliknya, keimanan yang rapuh akan berpengaruh sangat buruk pada jiwa seseorang, jiwanya akan menjadi gelap, batinnya terasa sesak oleh beban-beban kehidupan yang seharusnya tidak menjadi prioritas. Disinilah letak perbedaan kualitas manusia. manusia yang memiliki iman yang kuat akan selalu sadar kemana arah kehidupan yang seharusnya menjadi tujuannya. Sementara orang yang tidak memilikinya, akan selalu didominasi oleh hawa nafsu, dan keinginan-keinginan yang tak menentu. Oleh sebab itu, disamping hal tersebut di atas dalam rangka untuk mempersubur dan memperkuat keimanan, kami simpulkan beberapa hal dengan mengutip Wasiat Renungan Masa TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid: Pertama: Terus menerus berusaha memantapkan dan meningkatkan keimanan, bahwasanya tidak ada yang patut di sembah melainkan Allah swt. Dari tauhid serta keyakinan yang semakin mantap inilah kemudian tumbuh kesadaran yang tinggi untuk senentiasa beribadah, memperbanyak amal sholih demi mengabdi kepada Allah dengan penuh keikhlasan, dan menghindari diri dari prilaku syetan. “Wahai ananda hidupkan taqwa, matikan syaitan matikan hawa Karena taqwa pembuka syurga, syaitan dan hawa pintu neraka Wahai anakku janganlah lilus, cahaya imanmu nyalakan terus Jangan padamkan lantaran pulus, berkat hilang hubungan putus. Teguhkan hatimu kepada Tuhan, hidupkan taqwa hidupkan iman Janganlah sampai takut bayangan, dan kadal geresek di tepi jalan.” Kedua: memelihara keimanan dan keislaman dalam arti tetap berpijak dan berpegang pada jalan yang benar yang telah disyari’atkan oleh Allah melalui para Nabi dan utusan-Nya dengan penuh kesungguhan dalam segala aspeknya sebab Islam tidak terbatas pada ritual ibadah tetapi juga pada seluruh aspek kehidupan. “Agama bukan sekedar ibadah, puasa sembahyang di atas sujadah Tapi agama mencakup syari’ah, mencakup aqidah mencakup hukumah.” Kalaulah ingin dapat faidah, Tuluskan hati rapikan lidah Pandai bergaul secara hikmah, empa’ bau tunjung tilah.” Ketiga: suka menhadiri majelis ta’lim dan ulama. Karena ulama’ adalah pewaris para Nabi, yang memancarkan sinar keimanan dan keikhlasan. Para ulama ibarat lampu yang menerangi kegulitaan, seandainya tidak ada ulama,tentu manusia akan hidup dalam pekatnya kegelapan, karena ulama’ adalah sebagai pewaris dan penyambung lidah perjuangan Rasulullah SAW. “Tetap bersama kaum mukhlisin, tetap beserta kaum sholihin Teguhkan hubungan dengan muhibbin, putuskan hubungan dengan mufsidin. Karena insan dijadikan Tuhan, mengabdikan diri sepanjang zaman Bukan pokoknya makan dan makan, tapi pokoknya bersihkan iman.” Keempat: menjaga dan membentengi iman dari emosi dan kerusakan yang ditimbulkan oleh gemerlapnya kesenangan dan kemewahan kehidupan duniawi, sebab tidak sedikit kita jumpai orang-orang yang karena keadaan kehidupannya serba terkecukupi, serba indah dan manis, akhirnya hanyut kelembah angkara murka, terjerembab dalam kemaksiatan, seinga imannya menjadi merosot dan keropos bahkan terlepas dati padanya. Demikian pula tidak sedikit orang yang hidupnya serba kekurangan dan kesulitan, tergoda oleh kemanisan semu kehidupan dunia sehingga rela melepaskan keimanannya, demi harta dan kenikmatan dunia yang bersifat semu dengan karaktenya yang menipu. “Auliya’ullah berkata selalu, zaman sekarang maupun dahulu Iman taqwa hidupkan olehmu, kemudian baru mencari sangu. Sangat durhaka seorang hamba, menjual iman melelang taqwa Membuang diri dan ibu bapa , mengejar bayangan kursi dunia.” Dengan demikian jelaslah bagi kita, bahwa keimanan harus dijaga dan dirawat serta ditingkatkan kualitasnya dengan sikap ketulusan kepada Allah. Atu menjadikan Allah sebagai orientasi dan tujuan hidup. Indikasinya adalah apapun yang dilakukan semata-mata kerena dilandasi oleh tujuan untuk mendapatkan keridhoan-Nya bukan dilandasi oleh kepentingan-kepentingan yang lainnya. Dengan demikian batin kita akan menjadi tersinari dan terang di dalam menjalani realitas kehidupan. Menilai diri kiranya sangat diperlukan untuk mengetahui sampai dimanakah kadar keimanan kita kepada Allah. Masihkan keimanan kita disertai ini disertai oleh keterpaksaan yang justru berlawanan dengan nilai-nilai keimanan tersebut? Ataukah keimanan itu telah bersemayam di lubuk hati yang dalam sehingga dapat membawa kita kepada nilai-nilai luhurnya?. Tentu hal itu,hanya dari diri kita masing-masing yang mengetahui. Yang jelas sampai dimanapun kadar keimanan kita sekarang, jika selama ini kita bina dan kembangkan dengan baik, maka semakin lama keimanan itu akan semakin subur dan kokoh dalam jiwa kita. .بارك الله لي ولكم في القران العظيم ونفعني واياكم بما فيه من الايات والذ كر الحكيم. وتقبل منى ومنكم تلا وته انه هو السميع العليم. اقول قولى هذا واستغفرالله العظيم لي ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات فاستغفروه انه هو الغفورالرحيم.   KHUTBAH KEDUA IDUL FITRI 1433 H الله اكبر الله اكبر كبيرا والحمد لله كثير وسبحان الله بكرة واصيلا لااله الا الله والله اكبر ولله الحمد. الحمد لله الذي جعل الأعياد بالأفراح والسرور. وضاعف للمتقين جزيل الأجور. وكمل الضيافة في يوم العيد لعموم المؤمنين بسعيهم المشكور. اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له العفو الغفور. واشهد ان سيدنا ومولانا محمدا عبده ورسوله الذي نال من ربه ما لم ينله مقرب ولا رسول مطهر مبرور. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد النبي الأمي وعلى آله واصحبه الذين كانوا يرجونا تجارة لن تبور. وسلم تسليما كثيرا. اما بعد: فيا ايها الإخوان, اتقو الله! وعلموا يا اخواني رحيمكم الله اَنَّ يومَكم هذا يوم عظيم يتجلى الله فيه على عباده من كل مقيم ومسافر. فيباهى لكم ملئكته وانتم مكبرون فيه اظهارا لشعائره في كل مكان طاهر. فقال الله تعلى ولم يزل قا ئلا عليما. ان الله وملائكته يصلون على النبي يآيها الذين امنوا صلوا عليه وسلم تسليما. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والتبعين. وارض عنهم برحمتك يا ارحم الراحمين. اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات. اللهم ادفع عنا الغلاء والبلاء والفحشاء والمنكر والقحط والوباء والسيوف المختلفة والشدائد والأمراض والمحان والفتن ما ظهر منها وما بطن من بلدنا هذا خا صة ومن بلدان المسلمين عا مة انك على كل سيئ قدير. ربنا اغفرلنا ولإخواننا الذي سبقونا بالإمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين امنوا ربنا انك رءوف رحيم. عباد الله! ان الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاءذى القربى وينها عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون. اذكرواالله العظيم يذكركم واسئلوه من فضله يعطكم ويهدكم ولذكرالله اكبر.

Saturday 9 November 2013

AWAL PERKEMBANGAN TRADISI KAJIAN HUKUM ISLAM AHLUL HADITS DAN AHLI RA’YI Oleh: HURNAWIJAYA, S.HI 1. Prolog Periode tabi’in merupakan priode kedua setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Pada priode ini, kondisi wilayah kekuasaan Islam semakin luas, sehingga para generasi pasca sahabat mulai tersebar ke beberapa wilayah di luar kota madinah. Pada priode ini juga dinamika umat islam kian beragam dalam segala aspek kehidupan mereka. Dinamika ummat islam sebenarnya dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW. Banyak factor yang mengakibatkan munculnya beberapa faksi ditubuh ummat islam ketika itu. Kondisi perpolitikan dimana terjadi konflik internal, khususnya periode kekhalifaan Usman bin Affan RA, karena dianggap terjadi nepotisme dengan banyak melibatkan keluarga Bani Umaiyah dalam pemerintahannya dianggap oleh sebagian ulama’ sebagai pemicu awal perbedaan pandangan di antara para sahabat. Konflik tersebut mengakibatkan terbunuhnya Usman, kemudian selanjutnya Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai penggantinya. Pengangkatan Ali sebagai Khalifah banyak diperotes oleh kalangan sahabat termasuk isteri Nabi “Aisyah”. Sehingga kondisi politik pada saat sangat memanas sampai terjadi “Mauqi’atul Jamal (Perang Unta)” dan “Mauqi’atu Shiffin” (Perang Shiffin). Konflik ini melahirkan sekte-sekte yang dikenal dengan golongan Khawarij dan Syi’ah. Golongan Khawarij adalah mereka yang keluar dari kelompoknya Ali, karena menganggap gencatan senjata yang dilakukan dengan tentara Muawiyah adalah perbuatan dosa besar. Kelompok ini juga memunculkan masalah-masalah fiqh (di antaranya fiqh politik; hukum pidana, seperti syarat seorang untuk menjadi kahlifah; sanksi perzinahan; peencurian dsb). Golongan Syi’ah adalah pengikut setia Ali Bin Abi Thalib, mereka mengagungkan Ali, termasuk dalam posisinya sebagai khalifah bahkan cenderung mengkultuskan Ali. Pada priode ini muncul pula dua kecenderungan dalam metode pelegislasian hukum Islam, pertama adalah aliran yang cenderung memberikan kelonggaran ketika menetapkan hukum suatu masalah dan metode ijtihadnya banyak berorientasi kepada penalaran (ra’yi), qiyas serta kajian terhadap maksud dan tujuan diturunkannya syari’at Islam. Kedua adalah aliran yang cenderung bersifat ketat ketika menetapkan hukum suatu masalah sebab lebih mengedepankan Hadits ketimbang penalaran. Kedua kelompok yang berbeda ini dikenal dengan ahlul ra’yi dan ahlul Hadits. 2. Ahli Ra’yi a. Pengertian Ahlu Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber Ra’yi atau ijtihad ketimbang Hadits. Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah. Menurut bahasa Ar-Ra’yi artinya pemahaman dan akal budi. Manusia dikaruniai oleh Allah dengan diberikan akal budi, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang mempunyai akal. Dengan akal itulah manusia wajib berpikir tentang segala sesuatu, termasuk berpikir tentang persoalan hukum yang tidak terdapat dalam nash Al Qur’an dan As Sunnah. Madzhab ahlur ra’yi ialah golongan yang berpendapat bahwa hukum hukum syari’at dapat difahamkan maknanya dan mempunyai beberapa dasar yang harus menjadi pegangan . Golongan ini dapat menetapkan hukum berdasarkan ra’yu (qiyas) apabila dalam suatu masalah yang dihadapi tidak didapati nash-nash Al-Qur’an atau Hadits. Mereka menfatwakan hukum menurut ijtihadnya dikala tidak terdapat baginya dalil yang terang dan tegas. Juga mereka menyelidiki ‘illat hukum dan makna-makna yang maksudkan dari padanya. Golongan ini tidak keberatan menolak Hadits yang disampaikan orang kepadanya, bila menurut mereka Hadits itu berlawanan dengan dasar-dasar syari’at, ataupun apabila berlawanan dengan Hadits-Hadits lain. Aliran Ra’yi adalah mereka para fuqaha’ Irak dan sekitarnya yang dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode berfikir sahabat Umar bin Khattab RA dan Abdullah bin Mas’ud RA, yang keduanya terkenal sebagai sahabat yang banyak menggunakan Ra’yi sebagai dasar penentuan hukum syariat. Di kuffah muncullah pemuka hukum dari golongan tabi’in yang terkenal ialah Alqamah Ibnu qais dan alQadhi Suraih beserta murid-murid mereka yang termasyhur adalah an-Nakha’i . b. Latar Belakang Sosio Historis Ahlur Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber Ra’yi atau ijtihad ketimbang Hadits . Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah. Menurut Muhammad Ali as-Sayis bahwa munculnya aliran sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni : 1) Keterikatan yang sangat kuat terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud RA yang dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab RA yang sering menggunakan Ra’yi. 2) Minimnya mereka menerima Hadits nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya memadakan Hadits yang disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Iraq seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga meinim menggunakan Hadits sehingga mendorong mereka untuk menggunakan Ra’yi juga dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap Hadits dengan cara memberikan kriteria-kriteria yang sangat sulit. Seleksi yang sungguh ketat yang mereka terapkan berpengaruh terhadap minimnya Hadits yang dapat diterima sebagai dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka lakukan ini termotivasi oleh munculnya pemalsu-pemalsu Hadits yang kala itu jumlahnya yang tidak sedikit. 3) Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi hukum. Masalah-masalah ini muncul dikarenakan pesatnya perkembangan budaya yang terjadi di Iraq kala itu, terutama yang berasal dari Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan ketika budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus dicari solusi hukumnya. Minimnya Hadits yang mereka peroleh menggiring mereka untuk menggunakan Ra’yi. Dalam beberapa referensi lain, munculnya dua fakultas atau aliran tersebut (Ahlu Hadits dan Ahlu Ra`yi) lebih disebabkan adanya desakan-desakan warisan struktural dan kultural sekaligus. Dimensi struktural yang mengakibatkan lahirnya dua aliran itu menurut Muhammad bin Hasan As-Saibany dan Muhammad Az-Zuhri yaitu: 1) Pengaruh metodologi para sahabat Metodologi yang dipakai oleh Ahlu Hadits adalah sikap mereka yang mempertahankan ketentuan nash yang dhohiriyah sekalipun, tidak mau melakuakan intervensi terhadap Hadits atau nash kecuali dalam keadaaan terdesak. Mereka tidak menghendaki rasionalisasi hukum. 2) Irak notabene wilayahnya merupakan wilayah yang sering terjadi konflik, banyak munculnya penyelewengan Hadits dan kebohongan periwayatannya, sedangkan di Hijaz dan Madinah masih banyak Hadits dan fatwa sahabat, sehingga mereka tidak perlu melakukan ijtihad dan menggunakan rasio. c. Tokoh-Tokoh Tokoh-tokoh ahlur ra’yi adalah para pengikut pola pikir sahabat Umar dan Abdullah bin Mas’ud . Tokoh dari kalangan Sahabat: 1. Umar bin Khatthab; 2. Zaed bin Tsabit; 3. Abdullah bin Mas’ud; dan 4. Aisya RA. Tokoh dari kalangan Tabi’in: 1. Sa’ed bin Al-Musayab; 2. Sulaiman bin Yasar; 3. Al-Qasim Bin Muhammad bin Abu Bakar As-Shidiq; 5. Abu Bakar bin Abdurrahman Al-Harits; 6. Urwah bin Zubair bin ‘Awwam; 7. Ubaid bin Abdullah bin Utbah; 8. Kharijah bin Zed bin Tsabit. Pada perkembangan selanjutnya Ibnu Mas’ud yang pada dasarnya beraliran ra’yi karena berpatokan pada Umar bin Khattab RA menjabat sebagai gubernur di Iraq. Pada masa itu Iraq sudah mengalami perkembangan dalam kebudayaan melampaui kemajuan yang terjadi di Madinah. Karena itulah Ibnu mas’ud dituntut untuk memberikan hukum terhadap banyak permasalahan yang dihadapi umat islam di Iraq pada masa itu. Secara otomatis hukum-hukum yang beliau sampaikan tidak jauh dengan pola pikir sayyidina Umar sebagai patokan beliau. Karena itulah kemudian rata-rata ulama’ di Iraq kemudian mengikuti alur pemikiran Ibnu Mas’ud. Diantara murid beliau yang terkenal adalah An-Nakha’I yang kemudian diteruskan oleh Ibnu Sulaiman dan diteruskan oleh muridnya Imam Abu Hanifah. Pada masa Imam Abu hanifah muncullah banyak perbedaan signifikan dikalangan ahlurra’yi dan ahlulhadits. Ahlul hadits di Madinah betul-betul selektif dalam memilih hadits sebagai sumber hukum islam sedangkan mujtahid Irak, yakni Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, berhujjah dengan Hadits-Hadits mutawatir dan masyhur, serta merajihkan Hadits-Hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang terpercaya dari kalangan ahli fiqih . Salah satu Konsep yang di utarakan oleh hanifah bahwa beliau tidak harus menerima rumusan hukum dari para tabi’in atau dari muridnya sahabat, dia memandang bahwa dirinya setara dengan para tabi’in dan melakukan atau menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri . 3. Ahlul Hadits a. Pengertian Banyak ulama yang telah menyebutkan definisi Ahlul Hadits. Mungkin bisa sebagaimana dikumpulkan dan disimpulkan oleh Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimisyqy sebagai berikut: “Ahlul Hadits adalah mereka yang mempunyai perhatian terhadap Hadits baik riwayat maupun dirayah, mereka bersungguh-sungguh dalam mempelajari Hadits-Hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan menyampaikannya serta mengamalkannya, mereka iltizam (komitmen) dengan As-Sunnah, menjauhi bid’ah dan ahli bid’ah serta sangat berbeda dengan para pengikut hawa nafsu yang mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan mendahulukan akal-akal mereka yang rusak yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah”. Singkatnya Ahlul Hadits adalah para fuqaha’ yang dalam mengistinbath (mengeluarkan) hukum lebih mengedepankan teks-teks hadits daripada penalaran dan qiyas. Mereka lebih mendahulukan hadits meski hadits ahad, marfu’ atau bahkan dhaif daripada penalaran semata. Sehingga mereka lebih berhati-hati dalam mengeluarkan suatu hukum. b. Latar Belakang Sosiologis Munculnya pemikiran Fiqh Madinah yang disebut sebagai “Sekolah Ahli Hadits” (Madrasah Ahl Al-Hadits) tidak lepas dari posisi Kota Madinah yang merupakan tempat turunnya al-Quran dan Hadits Nabi baik Hadits itu sebagai ucapan, perilaku dan keputusan Nabi. Madinah juga merupakan pusat penyebaran Agama Islam. Nabi Muhammad Saw mendidik dan mengajar para sahabatnya tentang keislaman, sehingga praktik-praktik keislaman secara langsung dicontohkan Rasulullah kepada para sahabatnya. Selain Nabi, Khulafa’ Ar-Rasyidin juga menjalankan pemerintahannya di kota Madinah. Kota Madinah sebagai pusat penyebaran Islam banyak didatangi dan dikunjungi oleh para ulama untuk memperdalam ilmu pengetahuannya. Di samping itu faktor-faktor penyebab kemunculan aliran Ahlu Hadits, diantaranya komitmen para Ulama Madinah terhadap sunnah dan tidak mengambil logika (Ra’yi) yang kemudian melahirkan madrasah Ahlu Hadits disebabkan oleh beberapa factor: diantaranya sebagai berikut: 2) Banyaknya para sahabat yang menghafal Hadits Rasulullah SAW di Madinah dikarenakan yang menetap di kota ini ternyata lebih banyak daripada yang berhijrah ke negeri orang lain. Dengan demikian sangat mudah untuk mendapat Hadits Nabi SAW. Di negeri Hijaz selain di situ juga menetapnya tiga khalifah yang menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahan, fatwa dan qhada mereka sangat terkenal, mereka juga bebas dari fitnah khawarij dan syiah, serta kelompok radikal. Oleh sebab itu, tidak ada pemalsuan Hadits di kota Madinah yang kemudian di nisbatkan kepada Rasulullah SAW. Semua ini memudahkan mereka untuk menguasai Hadits sehingga tidak perlu mengambil pendapat pribadi. 3) Sedikitnya problematika yang muncul, karena syariat turun di negeri ini selama 23 tahun sehingga semua bisa diberikan corak islam yang murni. 4) Para Tabi’in yang ikut dengan gaya guru-gurunya dari kalangan sahabat seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Aisyah. Mereka ini sangat terkenal berkomitmen tinggi dengan sunnah dan tidak memakai pendapat pribadi. c. Tokoh-tokoh Adapun tokoh-tokoh yang berperan penting dari kalangan ahlul hadits adalah sebagai berikut. Dari kalangan sahabat: 1. Abullah bin Umar; 2. Sa’d bin Abi Waqash; 3. Abu Musa Al-Asy’ari; 4. Al-Mughirah bin Syu’bah, dan 5. Malik bin Anas Sedangkan dari kalangan tabi’in Tokoh dari kalangan Tabi’in: 1. Anas bin Malik 2. Al-Qamah bin Qais 3. Al-Aswad bin Yazid 4. Masruq bin Al-Ajda’ Al-Hamdani 5. Suraikh bin Al-Harits Al-Qadhi Para tokoh-tokoh ini telah mengambil peran yang sangat penting dalam pengembangan pemikiran fiqh Madinah (Ahl al-Hadits). Sedangkan Mujtahid Madinah yakni Imam Malik dan sahabat-sahabatnya merajihkan apa yang menjadi pendapat penduduk madinah dan meninggalkan semua Hadits Ahad yang berbeda dengannya sementara mujtahid yang lain berhujjah dengan segala macam Hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang adil dan terpercaya, baik dari kalangan ahli fiqih atau yang lainnya. Imam Malik adalah seorang tokoh di hijaz dalam segala hal, baik fiqh, al-Quran dan Haditst, Imam Malik tumbuh besar di kalangan ulama Ahlu Hadits . 4. Pola Pikir dan Contoh Pemikiran Masing-Masing a. Ahli Ra’yi Metodologi yang digunakan Pemikir Fiqh di Irak lebih banyak didasarkan atas pemikiran rasional, mereka jarang masuk dalam wilayah penafsiran Al-Quran selain yang berkaitan dengan masalah-masalah fiqh; sebagaimana mereka juga banyak menukil pendapat para seniornya dari kalangan sahabat; Mereka tidak banyak memiliki narasi dari koleksi Hadits dan riwayat sahabat seperti yang ada di Madinah, sehingga berdampak terhadap upaya mereka untuk memaksimal daya nalar dengan ijtihad. Sedangkan metodologi yang dipakai oleh Ahlu Ra`yu adalah rasio (pemikiran) yang dipelopori oleh Ibnu Mas`ud. Dia sangat terpengaruh oleh pemikiran Umar bin Khattab. Ibnu Mas`ud sangat menagagumi kecemerlangan pemikiran Umar, sebagaimana janji dia yang akan tetap membela Umar walaupun semua orang di bumi menentangnya. Ibnu Mas`ud berkata: “jika semua orang memilih jalan dan Umar memilih jalan yang lain niscaya saya akan memilih jalan Umar” . Kejadian-kejadian dan pristiwa-pristiwa yang terjadi di Irak lebih beragam dari Madinah Masyrakat Madinah merupakan masyarakat badawi yang jauh dari polemik dan retorika filsafat dan logika (mantiq) seperti yang terjadi di Irak; Sebagai pusat kekuasan Islam pasca Madinah, mempunyai konsekwensi munculnya berbagai oersoalan dan fitnah; khususnya pertikaian antara kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib (Khawarij dan Syi’ah) Berikut adalah beberapa contoh perbedaan pendapat ahlu Hadits dan ahlu ra`yi : a. Kasus: Zakat 40 ekor kambing adalah 1 ekor kambing: o Pendapat Ahlu Hadits (fuqaha Hijaz) : harus membayar zakatnya dengan wujud 1 ekor kambing sesuai yang diterangkan Hadits dan dianggap belum menjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. o Pendapat Ahlu Ra’yi (Fuqaha Irak) : muzakki wajib membayar zakatnya itu dengan 1 ekor kambing atau dengan harga yang senilai dengan seekor kambing. b. Kasus: Zakat fitrah itu 1 sha` tamar (kurma) atau syair (gandum) o Pendapat Ahlu Hadits (fuqaha Hijaz) : harus membayar zakatnya dengan 1 sha` tamar sesuai yang diterangkan Hadits dan dianggap belum menjalankan kewajiban apabiala dibayar dengan harga yang senilai. o Pendapat Ahlu Ra`yu (fuqaha Irak) : muzakki wajib membayar zakat fitrah itu dengan 1 sha` tamar atau denagn harga senilai 1 sha` tamar tersebut. c. Mengembalikan kambing yang terlanjur diperas air susunya harus dikembalikan dengan 1 sha` tamar. o Pendapat Ahlu Hadits (fuquha Hijaz): harus menggantinya dengan membayar 1 sha` tamar sesuai yang diterangka Hadits dan dianggap belum menjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. o Pendapat Ahlu Ra`yu (fuqaha Irak) : menggantinya dengan harga yang senilai dengan ukuran air susu yang diperas berati telah menunaikan kewajiban. d. Tentang Wajibnya Wali Nikah bagi perempuan baik anak-anak maupun dewasa o Ahlul Hadits berpendapat wajib wali nikah berdasarkan beberapa hadits meski hadits-haditsnya menurut mereka marfu’ o Ahlur ra’yi berpendapat bahwa hanya hadits-hadits yang betul-betul sohih yang bisa dijadikan hujjah sehingga mereka membolehkan perempuan dewasa menikahkan dirinya. Hadits-hadits tentang wali nikah bagi perempuan dewasa dianggap dhaif e. Syarat Hadits yang dapat diterima sebagai hujjah. o Ahlul Hadits menganggap setiap hadits baik hadits ahad, marfu’ bahkan dhaif lebih uutama dijadikan hujjah daripada perkataan dan pendapat ulama’-ulama’ belakangan. o Ahlur ra’yi mensyaratkan bahwa hadits yang dijadikan hujjah haruslah mutawatir, diamalkan oleh ahli fiqh yang masyhur, dan betul-betul diriwayatkan oleh sahabat dan tidak ada sahabat lain yang menyanggahnya. Dari beberapa contoh di atas kita dapat mengetahui ahli Hadits dari nash-nash ini menurut apa yang ditunjuk oleh ibarat-ibaratnya secara lahiri, dan mereka tidak membahas illat tasyrik (sebab disyariatkan). Sedangkan ahli ra`yi memahami nas-nash tersebut menurut maknanya dan maksud disyariatkannya suatu hukum oleh sang pembuat syariat, Allah SWT dan Rasul-Nya. 5. Analisis Kritis Pada abad ke-2 hijriyah, perkembangan pemikiran hukum islam cenderung semakin liberal seiring dengan semakin liberal seiring dengan semakin pesatnya perkembangan pemikiran filsafat memasuki dunia Islam ketika itu. Kalau ditelisik lebih jauh, perkembangan pemikiran tersebut dimulai jauh sebelum abad tersebut. Perkembangan itu dimulai dengan wafatnya Rasulullah SAW. Hal itu ditandai dengan banyaknya terjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat. Bahkan diantara para sahabat senior seperti Abu Bakar dan Umar Bin Khattab. Hanya saja pada masa-masa awal tersebut perbedaan-perbedaan yang timbul masih bisa diselesaikan dengan cara konsensus oleh para sahabat. Namun perbedaan itu mencapai awal klimaksnya pada masa tabi’in yang diperkirakan mulai sejak awal dinasti umayah. Pada masa ini islam sudah mulai tersebar ke berbagai wilayah. Dari beberapa uraian di atas, dapat ditarik beberapa poin antara lain: a. Dimensi kultural yang mengakibatkan lahirnya dua aliran adalah: 1) Irak jauh dari bumi Nabi dan Hadits, irak merupakan negara yang terbuka untuk semua kebudayaan dan peradaban lain. Dengan adanya alasan tersebut maka para fuqaha yang dihadapkan pada problematika permasalahan hukum dituntut untuk menyelesaikannya secara cepat, maka secara terpaksa mereka mengerahkan kemampuan yang mereka miliki dengan pemilahan mereka sendiri yang dasarnya bersumber pada al-Qur`an dan Hadits. Dengan selalu menggunakan rasionya fuqaha Irak mendapatkan keistimewaan sendiri, yaitu mereka bisa memprediksikan suatu peristiwa yang akan terjadi sekaliagus menetapkan hukumnya. Contohnya pada zaman itu belum ada yang namanya memindah anggota tubuh (diantaranya cangkok paru-paru atau yang lainnya) tapi mereka suadah memberikan rambu-rambu hukum tentang permasalahan tersebut. 2) Madinah dan Hijaz adalah gudang ilmu Islam, di sana banayak para ulama. Madinah dan Hijaz juga suasana wilayahnya sama seperti pada masa Nabi SAW. Jadi untuk mengatasinya permasalahan cukup permasalahan dengan mengandalkan literatur Al Qur`an dan Hadits serta ijma` sahabat. b. Perbedaan yang ada antara Ahlu Hadits dan Ahlu Ra`yu Masing-masing dari kedua madzhab fiqh tersebut mempunyai pandangan yang berbeda dalam metode penggalian hukum. Meskipun demikian kedua belah pihak sepakat bahwa sumber hukum utama adalah al-Kitab dan al-Sunah. Semua hukum yang bertentangan dengan kedua sumber tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan. Dengan adanya perbedaan faktor yang memunculkan dua alirannya tersebut diatas, maka dalam memutuskan hukumnya akan sangat berbeda. Akan tetapi pada dasarnya tidak berarti bahwa fuqaha Irak tidak manggunakan Hadits dalam pembentukan hukum, dan juga tidak berarti bahwa fuqaha hijaz tidak berijtihad dan menggunakan ra`yu karena kedua kelompok ini pada dasarnya sepakat bahwa Hadits adalah hujjah syar`iyyah yang menentukan dan ijtihad dengan Ra`yu yakni dengan Qiyas, adalah juga hujjah syar’iyyah bagi hal-hal yang tidak ada nashnya. Sebab terpenting yang membawa ikhtilaf dua pengaruh kelompok tersebut adalah realita yang dihadapi ahlu Hadits yang memiliki kekayaan atsar-atsar (Hadits dan fatwa sahabat)yang dapat digunakan dalam membentuk hukum-hukum dan dijadikan sandaran. Dalam hal ini ahlu hadits menghadapi realita masyarakat yang cenderung homogen tanpa terjadinya hal-hal yang berpengaruh pada sumber-sumber tasyrik. Begitu pula dalam hal-hal yang berkaitan dengan muamalat. Aturan, dan tata tertib yang berada di Hijaz sangat dipengaruhi oleh generasi-generasi Islam yang memang tinggal di daerah tersebut. Sedangkan Realita yang dihadapi Ahlu Ra`yu adalah mereka tidak memiliki kekayaan atsar sehingga berpegangan atas akal mereka, berijtihad memahami untuk memahami ma`kulnya nash dan sebab-sebab pembentukan hukum. Dalam hal ini mereka mengikuti guru mereka Abdullah Ibnu Mas`ud ra. Bagi ahlu Ra’yi mereka menghadapi realita terjadinya fitnah yang membawa pada pemalsuan dan pengubahan Hadits-Hadits. Karenanya mereka sangat hati-hati dalam menerima riwayat Hadits. Mereka menetapakan bahwa Hadits haruslah masyhur di kalangan fuqaha`. Disamping itu kekuasaan Persia banyak meninggalkan aneka ragam bentuk muamalat dan adat istiadat, serta aturan tata tertib, maka lapangan ijtihad menjadi demikian luas di Irak. Para ulama bisa melakukan pembahasan dan menuangkan pemikiran. Kemampuan mereka untuk bisa mengadaptasikan hukum islam dengan adat istiadat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat menjadi sangat pendting. 6. Epilog Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW merupakan dua sumber utama dalam pemikiran hukum islam. Apabila di dalam al-Qur’an ditemukan ketentuan hukum yang jelas, maka ketentuan hukum itulah yang harus diambil. Namun bila tidak ditemukan, maka dicari dalam sunnah. Jika keduanya tidak memberikan ketentuan hukum, atau hanya disinggung secara samar, maka pencarian hukumnya melaui ijtihad atau qiyas (analogi). Pada tataran ijtihad inilah para fuqaha’ berbeda pandangan sebagian berpegang dengan sangat kuat pada teks-teks hadits dan sebagian lagi berpegang lebih kuat pada pemikiran akal sehingga cenderung melakukan qiyas. Keduanya kemudian masing disebut sebagai ahli hadits dan ahli ra’yi. Pada perkembangan selanjutnya, keduanya secara bersamaan diakui sebagai sumber hukum islam. Hanya saja bentuk qiyas selanjutnya diberi nama berbeda-beda seperti al-qiyas, al-istihsan, dan al-istishlah. Qiyas dengan beberapa bentuknya tersebut, dipraktikkan baik oleh ulama’ ahlu ra’yi di Iraq maupun ulama’ ahlul hadits di Madinah. Hanya saja intensitas penggunaannya yang berbeda. Perbedaan itu disebabkan oleh kondisi sosio-kultural yang berbeda. Kondisi sosio cultural masyarakat Madinah mendorong Imam malik bin anas dan yang sealiran dengannya lebih banyak menggunakan hadits sebagai rujukan utama. Kondisi sosio-kultural Masyarakat Iraq mendorong Imam abu Hanifah dan yang sealiran dengannya lebih banyak menggunakan ra’yi sebagai rujukan utama dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain pemikiran masing-masing ulama’ dan fuqaha’ merupakan hasil refleksi kritis masing-masing terhadap kondisi sosio cultural yang dihadapi. Sehingga produk pemikiran baik ahlur ra’yi ataupun ahli hadits harus dipahami dalam, dan tidak dapat dilepaskan dari, konteks sosio cultural masing-masing. Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam bisshawab. DAFTAR RUJUKAN: 1. Abdurrahman, 2000. Perbandingan Madzhab. Bandung: Sinar Baru Algessindo 2. Ahmad Asyurbasi, 2011. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali, Jakarta: Penerbit Amzah. 3. Harun Nasution, 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jil. II. Cet. 5. Jakarta: UIPress. 4. Huzaemah Tahido Yanggo. 1997. Pengantar Perbandingan Madzhab. Yogyakarta: Logos Wacana Ilmu 5. Jurnal Istinbath No. 1 Vol. 2 Mataram Desember 2004. Fakultas Syari’ah IAIN Mataram 6. Jurnal Qawwam Vol. 1 No. 2 tahun 2007. Mataram: Pusat Study Wanita (PSW) Institut Agama Islam Negeri Mataram. 7. Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimisyqy, 2004. Fiqih Empat Mazhab Rahmatul ummah Fikhtilafil A’immah, Bandung: Hasyimi Press 8. Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dan Muhammad Zuhri, 1996. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT. Raya Grafindo Persada 9. Muhammad Ali Sayis, t.th. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Mesir: Matba’ah Ali Shabih wa Auladuh. 10. http://sastra-indonesia.com/2011/06/hukum-islam-pada-masa-tabi%E2%80%99in/ 11. http://blogpribadisaya.wordpress.com/2011/03/30/sebab-sebab-ikhtilaf-antara-ahlul-hadits-dan-ahlul-ra%E2%80%99yi/ 12. http://www.ikpmkairo.org/artikel/menyikapi-perbedaan-dalam-perspektif-historis/

HUKUM KELUARGA ISLAM TENTANG PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN Di Indonesia, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk. Sampai saat ini terdapat 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW) . Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu. Padahal seharusnya sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat. Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam , maka umat islam di Indonesia tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan. Hal ini tentu saja karena dalam islam, ketentuan adat juga bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Terlebih apabila hukum adat itu tidak bertentangan secara substansi dengan hukum Islam itu sendiri. Bahkan pada beberapa sisi hukum Islam akan menjadi semakin kaya dan sesuai dengan keadaan, situasi dan kondisi. B. PEMBAHASAN TENTANG HUKUM WARIS ISLAM Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia dalam Islam memiliki implikasi hukum wajib, sunat, haram, mubah atau makruh. Di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti (clear and fix statement), sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan pasti. Padahal sudah menjadi sifat alami manusia untuk senantiasa bertanya dan menggemari hal-hal yang bisa membuat pikirannya menjadi terpuaskan termasuk dengan mengetahui hikmah dan motif hukum tersebut. Seringkali manusia mengalami kegelisahan intelektual termasuk dengan pemberontakan kepada ajaran agama . Maka sebagian ulama’ juga mencoba untuk menjelaskan hikmah-hikmah dan motif tersebut. Para mujtahid telah menerangkan kemuslihatan-kemuslihatan hukum yang merupakan ttujuan-tujuan hukum, kemudian para muhakkiki menyajikan hikmah-hikmah hukum yang terkadang tidak dijelaskan secara ekplisit oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Hal yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkemmbangan kemajuannya. Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadapi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (lelaki atu perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan juga hak bagiannya masing-masing. Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan. Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka . Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan. Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris adalah cukup banyak. Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni : 1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda; dan 2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda. Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat. Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut . Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya . Namun beliau juga menolak dengan alasan bahwa setiap tempat memiliki fatwa tersendiri terhadap permasalahan syari’at Islam. Meski demikian, beberapa Negara Islam telah mencoba merumuskan hukum keluarga secara nasional. Turki adalah Negara Islam yang dapat dipandang sebagai pelopor dalam menyusun UU Hukum Keluarga (1326 H) yang berlaku secara nasional, dan materinya kebanyakan diambil dari maznab Hanafi, yang dianut oleh kebanyakan penduduk Turki. Di Mesir, pemerintah membentuk sebuah badan resmi terdiri dari para ulama dan ahli hukum yang bertugas menyusun rancangan berbagai undang-undang yang diambil dari hukum fiqh Islam tanpa terikat suatu mazhab dengan memperhatikan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Maka dapat dikeluarkan UU Nomor 26 tahun 1920, UU Nomor 56 tahun 1923, dan UU Nomor 25 Tahun 1929, ketiga UU tersebut mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, nafkah, idah, nasab, mahar, pemeliharaan anak dan sebagainya. Hanya UU pertama yang masih diambil dari mazhab empat, sedangkan UU kedua dan ketiga sudah tidak terikat sama sekali dengan mazhab empat. Misal pasal tentang batas minimal usia kawin dan menjatuhkan talak tiga kali sekaligus hanya diputus jatuh sekali. Kemudian tahun 1926 sidang kabinet atau usul Menteri Kehakiman (Wazirul ‘Adl menurut istilah disana) membentuk sebuah badan yang bertugas menyusun rancangan UU tentang Al-Akhwal al-Syakhsiyyah, UU wakaf, waris, wasiat dan sebagainya. Maka keluarnya UU Nomor 77 Tahun 1942 tentang waris secara lengkap. Di dalam UU waris ini terdapat beberapa ketentuan yang mengubah praktek selama ini. Misalnya saudara si mati (lelaki atau permpuan) tidak terhalang oleh kakek, tetapi mereka bisa mewarisi bersama dengan kakek. Demikian pula pembunuhan yang tak sengaja menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris. Di Indonesia hingga kini belum pernah tersusun Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap tentang Al-Akhwal al-Syakhsyiyah termasuk hukum waris, yang tidak berorientasi dengan mazhab, tetapi berorientasi dengan kemaslahatan dan kemajuan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik penyusunannya itu dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta ataupun olah perorangan (seorang ulama). C. PRINSIP-PRINSIP KEWARISAN ISLAM Hukum islam telah menerangkan dan mengatur hal-hal ketentuan yang berkaitan dengan pembagian harta warisan dengan aturan yang sangat adil sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadist, dalam hukum waris ini telah ditetapkan dengan rinci bagian masing-masing ahli waris baik laki-laki ataupun perempuan mulai dari bapak, ibu, kakek , nenek, suami, istri, anak, saudara, dan seterusnya. Adapun ketetapan mawaris dijelaskan pula dalam hadist. hanya hukum warislah yang dijelaskan secara terperinci bagian-bagiannya serta kaifiyat pelaksanaannya dalam al-Quran sebab waris merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dalam islam ataupun dalam negara serta di benarkan adanya oleh Allah swt. Adapun sumber hukum ilmu mawaris adalah al-Quran dan Hadist atau Sunnah Rasul kemudian ijtihad para ulama, bukan bersumber kepada pendapat seseorang yang terlepas dari jiwa al-Quran maupun Sunah Rasul. Karena merupakan hukum yang berkaitan dengan hak seorang yang berkaitan dengan hak orang lain maka hukum waris dalam islam didasarkan pada lima asas (prinsip-prinsip) utama sebagai berikut: 1. Asas Ijbari Asas ini berarti bersifat mengikat bagi setiap umat islam. Yakni tidak memberikan kebebasan secara mutlak kepada pewaris untuk memindahkan harta peninggalannya kepada orang lain baik melalui wasiat atau hibah . 2. Asas Bilateral Asas bilateral berarti hanya mengakui pewarisan dengan sebab hubungan kerabat, zawjiyah dan al-wala’ 3. Asas Individual Asas individual berarti harta mawaris diberikan secara individual dengan ketentuan bagian masing-masing sesuai dengan ketentuan dalam ilmu faraidl . 4. Asas Keadilan Berimbang Asas keadilan berimbang maksudnya pewarisan dalam islam harus berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan yang berimbang. Bagi setiap orang mendapatkan bagiannya secara berimbang . 5. Asas Semata Akibat Kematian Asas ini berarti pewarisan dalam islam hanya bisa tterjadi setelah pewaris meninggal dunia . Yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah yang ditinggalkan meninggal dunia walau hanya beberapa saat saja. D. PELAKSANAAN HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA Sejak berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama. Di Jawa dan Madura pada tahun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf. Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas. Pada tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan. Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957 yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah, dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku. Menurut Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic Courts in Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan kekuasaanya atas perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih tetap menyelesaikan perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Hal ini terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri. Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa waris Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu. Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor Agraria. Pada tahun 1977/1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengadakan penelitian di lima daerah, yakni D.I. Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut : 1. Masyarakat Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65% 2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama 77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5% . Kemudian kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun 1978/1979 di Sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram dan sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut : 1. Masyakarat Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya 11,7% 2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%. Karena itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum faraid (hukum waris Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, patut disesalkan apabila kasus-kasus warisan keluarga Muslim seperti kasus warisan H. Subhan Z.E. diputus oleh Pengadilan Negeri menurut hukum adat pada tanggal 16 Maret 1973 (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan pertimbangan antara lain, “Walupun pewaris/almarhum H. Mas Subhan adalah seorang tokoh Islam di Indonesia tidak berarti dapat diberlakukan hukum waris Islam oleh karena almarhum/pewaris berasal dan tempat tinggal di Jawa”. Jelaslah, bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E. tersebut masih menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945 sebagai konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische Staatsregeling sebagai konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu . Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori resepsi telah ditinggalkan, ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di dalamnya terdapat beberapa pasal dan penjelasannya yang menunjukkan peranan agama untuk sahnya perkawinan dan perjanjian perkawinan dan sebagainya tanpa ada embel-embel “yang telah diterima oleh hukum adat”. E. PLURALISME HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA Hukum perdata yang berlaku di Indonesia, termasuk di dalamnya masalah pewarisan, sampai sekarang masih beraneka ragam, masih belum mempunyai kesatuan hukum yang dapat diterapkan untuk seluruh warga Indonesia. Keanekaragaman hukum waris tersebut dapat dilihat dari adanya pembagian hukum waris kepada: 1. Hukum waris yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata (KUHPt/BW), Buku I Bab XII sampai dengan XVII dari pasal 830 sampai pasal 1130. 2. Hukum waris yang terdapat dalam Hukum Adat, yaitu dalam bagian hukum waris adat. 3. Hukum waris yang terdapa dalam hukum waris Islam, yaitu ketentuan dalam hukum waris Islam yang disebut Mawarits atau Ilmu Faraidl. Hukum waris BW berlaku bagi orang-orang Tionghoa dan Eropa, hukum waris adat berlaku bagi orang-orang Indonesia asli, sedangkan hukum waris Islam berlaku bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam dan orang-orang Arab. Diambil dari pendapat Hazairin, bahwa di Indonesia terdapat tiga sistem kewarisan, yakni sebagai berikut: 1. Sistem kewarisan individual yang cirinya adalah bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan pemilikannya di antara ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa dan dalam masyarakat patrilineal di Batak. 2. Sistem kewarisan kolektif yang cirinya adalah bahwa harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang merupakan semacam badan hukum di mana harta tersebut yang disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagikan pemilikannya di antara ahli waris, dan hanya boleh di bagi-bagikan pemakaiannya kepada mereka itu, seperti dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau. 3. Sistem kewarisan mayorat dimana anak yang tertua pada saat matinya para pewaris berhak tunggal untuk mewarisi seluruh harta peninggalan, atau berhak tunggal untuk mewarisi sejumlah harta pokok dari satu keluarga, seperti dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih di Bali (hak mayorat dimiliki oleh anak laki-laki yang tertua) dan Tanah Semendo. F. HUKUM KEWARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia yang merupakan proyek Pembangunan Hukum Islam di Indonesia, dimulai sejak tahun 1985. Rancangan kompilasi tersebut disusun oleh tim yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Agama dan Mahkamah Agung. Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia untuk pertama kali diumumkan oleh Menteri Agama RI pada waktu itu yaitu Munawir Sadzali, MA pada bulan Februari 1985 dalam ceramahnya di depan para Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Semenjak itu ide ini menggelinding dan mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Hukum kewarisan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada dasarnya merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur Fuqaha’ (terutama Syafi’iyah karena merupakan aliran mayoritas di Indonesia). Beberapa ketentuan hukum kewarisan yang merupakan pengecualian dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia antara lain adalah: a. Mengenai anak dan orang tua angkat Dalam ketentuan hukum waris, menurut jumhur fuqaha, anak angkat tidak saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Sedangkan dalam KHI, perihal anak dengan orang tua angkat ini diatur bagiannya sebagaimana ahli waris lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam pasal-pasal sebagai berikut: - Pasal 171 (h): Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asala kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. - Pasal 209 (1): Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya . - Pasal 209 (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya . b. Mengenai Bagian Bapak Bagian bapak menurut jumhur adalah 1/6 bagian apabila pewaris meninggalkan far’ul warits, 1/6 ditambah sisa jika meninggalkan far’ul warits tapi tidak ada far’ul warits laki-laki dan menerima ashabah jika tidak ada far’ul warits. Sedangkan dalam KHI, bagian bapak apabila pewaris tidak meninggalkan far’ul warits adalah 1/3 bagian. Hal ini sebagaimana termaktun dalam pasala di bawah ini: - Pasal 177: Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak ayah mendapat seperenam bagian . c. Mengenai Dzawul Arham Pasal-pasal dalam KHI tidak menjelaskan tentang keberadaan dan bagian penerimaan ahli waris Dzawul Arham. Mungkin pertimbangannya karena dalam kehidupan sekarang ini keberadaannya jarang terjadi atau tidak sejalan dengan ide dasar hukum warisan. Padahal mengenai pewarisan dzawul arham ini sudah menjadi kesepakatan para fuqaha. d. Mengenai Radd Dalam masalah radd ini KHI mengikuti pendapat Usman bin Affan yang menyatakan bahwa apabila dalam pembagian terjadi kelebihan harta, maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada ahli waris, tanpa terkecuali. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam pasal berikut: - Pasal 193: Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris dzawul furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut. Sedangkan jika tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedangkkan sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka. Hal ini berbeda dengan pendapat jumhur yang berpendapat bahwa suami atau istri tidak berhak menerima radd. Hal ini karena suami/istri dianggap jalur kesamping dalam hal pewarisan. f. Mengenai Ahli Waris Pengganti Mengenai wasiat wajibah kepada ahli waris yang orangtuanya telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, pada hakikatnya diatur dalam KHI. Sebagaimana dalam pasal sebagai berikut: - Pasal 185 (1): Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173 - Pasal 185 (2): Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. G. PENUTUP Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa hukum Islam khususnya hukum keluarga, termasuk hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Namun demikian akibat politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang hendak mengikis habis pengaruh Islam dari negara jajahannya – Indonesia, maka secara sistematis step by step Belanda mencabut hukum Islam dari lingkungan tata-hukum Hindia Belanda. Dan akibat politik hukum Belanda yang sadis itu masih dirasakan oleh umat Islam Indonesia sampai sekarang. Akibatnya di Indonesia hingga kini belum ada kitab/himpunan Hukum Islam yang lengkap terutama mengenai Hukum Keluarga Islam termasuk Hukum Waris Islam Indonesia, baik yang tradisional maupun yang modern sehingga para ulama’ dan cendekiawan Muslim perlu segera menyusun Himpunan Hukum Islam tersebut tanpa terikat dengan suatu madzhab tertentu, tetapi hukum Islam tersebut harus bisa memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan kemaslahatan umat, dan kemajuan zaman. Khusus hukum waris Islam yang ternyata diterima dan dikehendaki berlakunya oleh umat Islam di semua daerah yang telah diteliti oleh BPHN dan Fakultas Hukum UI pada tahun 1977-1979, dan praktek-praktek Pengadilan Agama dalam hukum waris Islam yang sangat mengesankan; maka sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama disejajarkan dengan Pengadilan Negeri. Sehingga UU tentang Struktur dan Yurisdiksi Pengadilan Agama benar-benar menempatkan kedudukan Pengadilan Agama sejajar dengan Pengadilan Negeri. Wallahu a’lam bisshawab   DAFTAR PUSTAKA 1. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007 2. Afandi, Mansur, Peradilan Agama Strategi dan Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama, Malang: Setara Press, 2009 3. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983 4. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984 5. Ash-Shobuni, Muhammad Ali, Ilmu Al-Mawaris terjemah: Muhyiddin. Surabaya: Usaha Anda. 1990 6. Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6. Cf. Tabel 9. 7. Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983. 8. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta: Bina Aksara, 1982 9. Forum Kalimasada Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, Kearifan Syariat menguak Rasionalitas Syariat Perspektif Filosofis, Medis, dan Sosiohistoris, Kediri: Lirboyo Press. 2009 10. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadits, Jakarta: Tintamas. 1992. 11. H.F Rahadian, Imam Maliki Ulama’ Cendekia, cet. 2, Jakarta: Salam Prima Media. 1998. 12. Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980. 13. Muhammad Sallam Madkur, Al-Madkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960 14. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. 15. Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya: Bina Ilmu, 1981. 16. ___________, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No. 2 Tahun I, 1983. 17. Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan Risalah, 1984. 18. Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A’immah, Jeddah: Al-Haramain lit-Thiba’ah wa an-nasya’ wat tawzi’. Tt. 19. Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: B.P. Gadjah Mada, 1963 20. Suparman Usman dan Yusuf Somawinata. Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam. cet.2 Jakarta: Gaya. 2002 21. Syaikh Zainuddin Abdul Madjid. Tuhfatussaniyyah Fi Syarhi Nahdlatuzzainiyyah. Pancor: Toko Kita. 1987